Sabtu, 03 Maret 2012

063.RELIGIUS BUNG KARNO

BUNG Karno kira-kira berkata begini, “Tubuh bisa ditiadakan, tetapi roh tidak”. Bung Karno telah tiada, tapi rohnya, bahasa dan spiritnya masih hidup, tidak bisa ditiadakan, bahkan tidak bisa dibiarkan berlalu tanpa tarikan empati, lebih-lebih masa sekarang. Di tengah krisis serba muka seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, roh Soekarno hidup kembali, seolah-olah berkata: “Katakanlah sekarang tentang apa yang telah saya katakan waktu dahulu”. Yang kita butuhkan sekarang adalah “kata” atau wacana, yang membawa proses penyadaran, pencerahan, dan membuat kita berpikir,berimajinasi.
Kiranya tak berlebihan apabila saya sebutkan bahwa Bambang Noorsena dengan tulisannya tentang Religi & Religiusitas Bung Karno (Institute for Syriac Christian Studies, Malang, Jawa Timur, 2000) telah menunjukkan kepekaannya untuk merespons ajakan untuk berkata-kata tentang roh yang hidup itu. Bambang Noorsena (BN) sebagai anak bangsa yang sadar tentang hari kemarin, tampak sadar pula bahwa sebuah keharusan sejarah, apabila ia mau berpikir tentang masa depan, dan harus mau bicara dengan “orang tua” yang telah turut melahirkan bangsanya. Bicara tentang atau dengan Bung Karno sebagai roh yang hidup, tak bisa tidak, kita akan bertemu dengan ratusan riwayat yang telah ditulis, baik oleh orang asing maupun oleh penulis dalam negeri.
Percakapan BN dengan Bung Karno dalam buku ini banyak didasarkan atas kajian yang dilakukan oleh para pengamat luar negeri, yang tak bisa disangkal banyak kali lebih jeli ketimbang penulis dalam negeri. Tetapi, dengan buku ini BN menunjukkan dengan terang bahwa sekalipun ia banyak memakai kajian-kajian dari para ahli di luar negeri, namun ia tetap ingin menemui Soekarno “dari dalam”, khususnya dari kepentingan yang didorong oleh kebutuhan masyarakat untuk mencari perspektif demi melihat hubungan antar-etnis dan antar-agama secara baru di negeri ini.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 1999, sebagaimana dikutip oleh BN, berkata, “Kita tengah didera oleh perbedaan faham yang sangat besar. Dan longgarnya ikatan-ikatan kita sebagai bangsa. Apa yang oleh Bung Karno diajarkan, … kita mempunyai alasan untuk menjadi satu bangsa…”. Dalam kutipan ini kita memperoleh titik tolak yang sungguh kena untuk berbicara tentang pikiran-pikiran utama Bung Karno tentang religi dan religiusitas. Adapun alasan utama yang tampak menggejala di masyarakat adalah bahwa perbedaan fahamyang besar itu juga terdapat dalam kehidupan beragama. Kenyataanini pula turut menyebabkan longgarnya ikatan kita sebagai bangsa.Apa yang dilakukan oleh BN bukan sekadar mengedepankan apayang dikatakan oleh Bung Karno, tetapi berusaha memakai umpan baru untuk memancing pemikiran Bung Karno tentang berbagai hal yang merisaukan dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang. BN melakukan “penggeseran-penggeseran” tertentu atas gagasangagasan Bung Karno, dan menamainya dengan term baru yang lebih kontemporer. Posisi spiritual Bung Karno dilapisi dengan kata-kata baru agar lebih tinggi supaya tampak oleh banyak orang. Ungkapanungkapan seperti passing over, etika global, holistic spirituality, panentheisme, sakramentalis, teologi kerukunan, dialog, dan lain-lain merupakan upaya untuk memperoleh roh yang hidup dari Bung Karno. Pemahaman yang dilakukan oleh BN memang dimungkinkan oleh posisi Bung Karno sendiri yang terbuka, dan seolah-olah berstatus selaku bahan yang belum “jadi”, serta tersedia bagi para pemikir kreatif generasi sesudahnya. Gagasan Bung Karno laksana bahan bangunan yang tersedia bagi para arsitek untuk membentuknya menjadi bangunan yang diingininya, baik fungsinyamaupun keindahannya.
***
Pada tataran pemikiran keagamaan yang begitu luas, kaya dan bermacam ragam, pilihan-pilihan untuk memahami religi dan religiusitas Bung Karno terbentang lebar. Lebih-lebih lagi bila pikiranpikiran Bung Karno didekati dari sisi spiritualitas. Akan segera tampak bahwa kehidupan spiritual Bung Karno dari sejak masih muda tidak hanya diilhami oleh agama-agama semitik yang dikenal sebagai Abrahamic faiths yang berciri monoteis, misioner, doktriner, eaksional, dan bercorak politis. Ternyata, religiusitas Soekarno juga dibentuk oleh pertemuannya dengan “agama-agama Timur” yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan agama-agama turunan Ibrahim atau Abraham, khususnya yang telah diperkembangkan di dunia Barat.
Latar belakang Kejawen, Hindu dan Buddhisme amat kuat mendasari spiritualitas Soekarno sehingga ia jauh dari sifat “ortodoksdogmatis” dalam pemikiran keagamaannya, dan tidak bercorak formal santri dalam keislamannya. Soe-karno menyenangi bentuk sufisme yang bebas, agama yang diperlukan sebagai “bahasa kasih sayang”, bahkan agama yang penuh pasi (passion). Sekalipun kita tahu bahwa kontroversi tentang hal itu juga masih terbuka untuk dijadikan diskursus yang kritis. Setidak-tidaknya posisi keagamaan Soekarno berbeda misalnya dengan Haji Agus Salim, A Hassan, dan Mohammad Natsir, yang dikenal sebagai pemikir-pemikir Islam yang bercorak ortodoks (rasional dan bercorak doktriner). Bernard Dahm dalam ke-”jerman”-annya bertindak terhadap Bung Karno seperti Karl May terhadap Winnetou. Menjadi jiwa yang menarik dan amat imajinatif; bukan hanya karena Dahm selama menulis tentang Soekarno belum pernah ke Indonesia, boro-boro ketemu dengan Bung Karno. Di bayangan Dahm Bung Karno total menjadi seorang tokoh dalam sebuah epos. Dari awal yang bersandar pada “local genius” yang amat diapresiasikan oleh Dahm, sampai kepada keyakinan Bung Karno yang tidak ada duanya, dan amat kategoris terhadap “nasionalisme, agama, dan marxisme”. Seolah-olah ketiganya merupakan doktrin trinitas dalam agama Kristen yang tak bakal ditinggalkan sampai kapan pun dunia akan berakhir.
Bung Karno tidak mau menyerahkan apa yang sudah dimilikinya, bahwa ketiga hal tersebut merupakan kenyataan substansial dan sekaligus pilar bagi eksistensi Indonesia. Menurut Dahm, Bung Karno tak mau mundur selangkah untuk mempertahankan keyakinan tentang “ketiga yang esa” tersebut. Seolah-olah Bung Karno rela mati demi “iman” yang telah ditemukannya, yaitu keyakinannya kepada “nasionalisme”, sosialisme, dan agama”. Ideologinya, bersama dengan Pancasila baginya merupakan sesuatu yang “ultimate” untuk Indonesia yang bersama Hatta ia proklamasikan. Bagaimanapun dalam kaitan ini, keadilan bagi Soekarno harus ditegakkan kembali, sebagai bapak bangsa yang punya pendirian teguh dan memiliki keyakinan. Di tengah padang spiritualitas yang mahaluas, dengan fungsinya yang khusus untuk mendukung perjuangan kemerdekaan lewat nasionalisme, Soekarno bertahan dan tidak mau bergeser sedikit pun dari tempatnya. Bung Karno menempatkan agama selaku kekuatan “revolusioner” untuk mendukung nasionalisme Indonesia.
Imajinasi Bung Karno tentang nasionalisme dan faham kebangsaan bukan sekadar olah intuisi dan imajinasi tanpa pijakan realitas. Peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan titik pusat dari keberhasilan menggalang nasionalisme sejak ia masih menjadi mahasiswa. Nasionalisme untuk melawan penjajahan, yang berupaya menemukan jati diri, “self-esteem”, dan kepribadian nasional.
Di masa Perang Dingin, ketika blok Barat berhadapan frontal dengan blok Timur, agaknya tantangan yang dihadapi Soekarno melebihi takaran yang bisa ia tanggung. Muatan konflik yang tak terdamaikan antara kubu kapitalisme dan sosialisme di tingkat internasional agaknya terlalu besar untuk dituang dalam mangkuk konteks kehidupan politik Soekarno yang hanya sebatas nasionalisme Indonesia. Alhasil, muatan itu meluap tumpah ruah, serta menimbulkan gejolak di dalam negeri yang tak terbendung, serta menimbulkan korban besar di sekitar tahun 1965. Akan tetapi, di masa pasca-Perang Dingin sekarang ini telah tiba momentum untuk memikirkan kembali relevansi pemikiran-pemikiran penting Soekarno, khususnya dalam soal hubungan agama.
Sekarang terbuka kemungkinan untuk mengurai pemikiran dari “local genius” pemikir politik Indonesia tanpa rasa minder. Kita tidak lagi menanggung beban psikologis, baik yang menggejala dalam bentuk xenophobia maupun dalam bentuk sikap ketergantungan kepada bangsa lain tanpa harga diri. Saatnya telah tiba untuk menggali
kembali pikiran-pikiran dari para bapak dan ibu bangsa. Yang terasa menyegarkan dari tulisan Bambang Noorsena adalah karena ia tidak hanya berhenti pada polemik tentang karya besar Clifford Geertz dari bukunya The Religion of Java, tetapi juga melanjutkan runutannya jauh ke belakang, dan sampai kepada karya Empu Tantular Sutasoma. Karya ini merupakan sebuah tradisi pemikiran yang menjadi cikal-bakal dari khazanah kebudayaan Jawa yang melahirkan Soekarno. Dari sanalah lahir pemikiran tentang hubungan antara negara dan agama, dan sekaligus hubungan antaragama di masyarakat. Tantularisme, di masa yang penuh krisis dan gejolak sekarang ini memberikan inspirasi yang luar biasa kuat untuk membingkai kembali keterpecahbelahan bangsa menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Adapun konsep Soekarno tentang “panteisme-monoteisme” oleh BN digeser menjadi “panentheisme”. Satu merupakan ekspresi dari yang lain, dan manusia tak mungkin mengenal Tuhan tanpa alam semesta, termasuk di dalamnya dunia manusia. Ungkapan lain yang barangkali akan lebih bisa diterima oleh tradisi pemikiran agama di Indonesia, adalah “panin-teisme”. Di dalam istilah ini alam semesta dimasukkan ke dalam sebuah kepercayaan theisme. Dengan kata lain, alam semesta itu berada dalam naungan Tuhan, implikasinya adalah bahwa Tuhan adalah yang pertama dan utama, lebih besar dari alam semesta; dan oleh sebab itu meliputi dan menguasai alam semesta sehingga secara eksplisit bisa dikatakan bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan, tetapi Tuhan, dalam bentuk tertentu yang bisa dikenal manusia berada di dalamnya. Alam semesta adalah “teks” yang melukiskan kebesaran Tuhan. Kehadiran-Nya di dalam alam semesta adalah tetap kehadiran yang harus dimaknai sebagai kehadiran sebagai pencipta. Konsep itu merupakan suatu wadah bagi kesadaran dan tanggung jawab akan alam, lingkungan, dan sesama manusia, dan sekaligus sebagai dasar bagi kesadaran akan pluralisme agama, dialog dan kerja sama antarpara pemeluk agama.
Para pengamat dan para ahli dengan penuh empati memberikan persetujuan terhadap berbagai gagasan Soekarno, tetapi baru sedikit yang benar-benar memberikan kajian yang cukup mendalam terhadap berbagai implikasi pemikiran Soekarno tentang religi yang ditawarkannya. Pada masa sekarang ini ketika religi dan seluruh bangsa dan negara Indonesia berada dalam krisis multidimensional, muncul sebuah kebutuhan baru untuk menggali kembali pikiranpikiran para founding fathers untuk memperdalam dan memperluas persepsi tentang persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan negara. Upaya-upaya serius digelar untuk memulai wacana baru dengan pijakan pemikiran yang telah ada dalam khazanah sejarah Indonesia.
Bambang Noorsena telah berusaha memulai tugas penggalian terhadap salah satu founding fathers yang terpenting yaitu Soekarno. Dengan suatu pendekatan “dari dalam”, dalam arti dengan penuh empati menelaah pemikiran Soekarno dan sekaligus berusaha untuk memanfaatkannya sebagai cermin untuk memahami dan mencari jalan keluar terhadap kemelut hubungan antar-etnis dan khususnya antar-agama di negeri ini, beberapa tahun terakhir ini. Menurut saya, Bambang Noorsena berhasil memetik beberapa puncak pemikiran Soekarno tentang religi dan religiusitas guna menjembatani konflik yang sekarang ini sedang terjadi. Dengan melacak jauh ke belakang kepada pemikiran-pemikiran Empu Tantular, “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrowa”, kita telah menemukan kearifan baru dari masa lampau yang lahir dari pengalaman dan refleksi lokal. Tatapan terhadap “Tantularisme” tersebut telah memberikan suatu basis “universal” bagi agamaagama, khususnya agama-agama dalam tradisi Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) untuk bercermin dalam suasana kehidupan yang penuh respek, toleransi, dialog, dan kerja sama demi mewujudkan masyarakat yang diingini bersama. Dengan konsep “panteismemonoteisme” yang dirumuskan oleh Soekarno sendiri, agama-agama dibuka untuk menghargai alam, baik alam maupun kehidupan manusia.
Keunggulan spiritualitas Bung Karno saya kira terletak pada kenyataan bahwa ia menyadari keterbatasan dari bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang menggejala (manifest) di masyarakat. Kelonggaran ini memberi peluang bagi para penganut agama yang berbeda untuk saling menghargai keunikan masing-masing keyakinan, serta membuka kemungkinan untuk saling memperkaya satu dengan yang lain, dan terutama untuk saling membuka kemungkinan untuk bekerja sama di masyarakat guna memecahkan soal-soal kemanusiaan bersama. Dalam buku BN, Soekarno muncul kembali sebagai “batu penjuru” yang bisa mengukur lurusnya bangunan sebuah bangsa.

062.REDUPYA CAHAYA PUTERA SANG FAJAR

Redupnya Cahaya Putera Sang Fajar
Jatuhnya Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi “mandat” kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno.
Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu merupakan mandat atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Menurut sumber itu pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang supersemar berkewajiban melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu.
Berikut ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku “Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara,” dimulai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Tanggal 11 Maret 1966
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar, yang isinya antara lain: “Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi.
Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas.”
16 Maret 1966
Pangkopkamtib —atas nama Presiden RI— mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.
27 Maret 1966
Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap kurang dekat dengan Presiden Soekarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik.
21 Juni 1966
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.
22 Juni 1966
Presiden Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.
6 Juli 1966
Sidang MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan, dan satu Resolusi. Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yang menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966
Presiden Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
1-3 Oktober 1966
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka. Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban.
22 Oktober 1966
Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
30 Nopember 1966
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya.
9-12 Desember 1966
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili.
20 Desember 1966
KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI
21 Desember 1966
ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara lain berbunyi butir ke-2), “ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun, Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS.”
31 Desember 1966
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu, khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 tersebut diatas, dan suara serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.
6 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan. Isinya antara lain: “Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah berlangsungnya Sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah timbul berbagai suara dan pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: – Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. – Tuntutan dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966.”
10 Januari 1967
Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya antara lain: “Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G-30.S, maka saya sendiri menyatakan:
G.30.S ada satu “complete overrompeling” bagi saya.
Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata “sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa “Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB”
Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi’radj di Istana Negara j.l., yang antara lain berbunyi:
“Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah “Gestok”"(Gestok: Gerakan Satu Oktober, istilah Soekarno, Red)
10 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato Nawaksara yang diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara tersebut berisikan, antara lain: (a) bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b) Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan Bersenjata”.
20 Januari 1967
MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point besar) antara lain (poin ke-4): “Perlu diterangkan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang sedang kita hadapi, soal Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan kehidupan konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan tindakan-tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR, Presiden Kabinet Khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya…”
21 Januari 1967
Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari tiga butir besar, antara lain (poin II), “Bahwa Presiden alpa memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka Romawi I: “Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang “cabang”. Pidato saya yang saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam “progress-report sukarela” tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu”. Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung-jawab pada MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara saja…” dst.
1 Februari 1967
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, dengan nomor surat R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua) berkas, serta perihal: Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan. Petikan laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain sebagai berikut: “Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk memperoleh bahan gambaran yang selengkap-lengkapnya terhadap PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN harus mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik terhadap peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah penyelesaian yang merupakan kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan pemerintahan negara dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan PRESIDEN, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya.”
9 Februari 1967
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi tentang Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya bulan Maret 1967, serta meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 untuk memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para Wakil Rakyat dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya dalam Sidang Istimewa MPRS.
9 Februari 1967
DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum mengenai Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan Persidangan Istimewa MPRS.
11 Februari 1967
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.
12 Februari 1967
Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu presiden meminta untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.
13 Februari 1967
Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden Soekarno tersebut. Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka sepakat untuk tidak lagi melakukan pertemuan selanjutnya.
16 Februari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./’67 TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa MPRS.
19 Februari 1967
Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.
20 Februari 1967
Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.” Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno.
23 Februari 1967
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR mengeluarkan Resolusi No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta penjelasan terhadap resolusi tersebut.
24 Februari 1967
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya antara lain, mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata akan mengamakan terselenggaranya Sidang Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman Presiden tanggal 20 Februaru 1967.
25 Februari 1967
Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya penyerahan kekuasaan pemerintahan negara oleh Soekarno kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.
7 Maret 1967
MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.

061.RAHASIA SANG DIPLOMAT

Rahasia Sang Diplomat
Tidak terlalu berlebihan bila saya menyebut Presiden Soekarno sebagai Presiden multi talenta. Soekarno seorang orator, Soekarno seorang seniman, Soekarno seorang perayu wanita dan Soekarno mampu menjadi seorang diplomat.
Diplomasi ala Bung Karno memiliki banyak cara, tergantung kapan dan dengan siapa Bung Karno berhadapan. Tapi siapapun lawan bicaranya Bung Karno selalu membuat kita bangga.
Kisah Pertama, terjadi pada saat rapat pimpinan antar negara dalam rangka membentuk aliansi dunia ketiga yakni aliansi bangsa-bangsa Asia-Afrika (belakangan oleh Bung Karno diperluas menjadi Asia, Afrika dan Amerika Latin). Pada sebuah sidang yang dihadiri oleh para pemimpin peserta, terjadi proses pengambilan keputusan yang panjang dan bertele-tele, tidak mengkerucut pada satu kesimpulan. Lalu, bung Karno mengambil inisiatif mendekati Nehru dan membisikkan sesuatu lalu ditanggap dengan anggukan oleh Nehru. Kemudian Bung Karno beranjak ke posisi Gamal Abulnasser, membisikkan sesuatu dan ditanggap dengan anggukan pula oleh si pemimpin negeri Mesir ini.
Tak lama setelah kedua aksi bisik oleh Bung Karno tersebut, ia pun meminta giliran untuk menyampaikan pendapat dan mengusulkan diselenggarkannya Konferensi Asia Afrika di Bandung. Usulan tersebut langsung ditanggapi setuju oleh para hadirin, baik yang berbeda maupun yang sama pendapat.
Rupanya, melihat perbedaan pendapat yang meruncing Bung Karno menggunakan figur Abdul Naser dan Gandi yang berpengaruh masing-masing di Afrika dan Asia. Konon, menurut pengakuan Bung Karno dalam buku yang saya baca tersebut sesungguhnya beliau tak membisikkan sesuatu pesan politik apapun ke telinga kedua pemimpin berpengaruh tersebut. Beliau hanya mengajak makan siang bareng sehabis pertemuan yang melelahkan, bertele-tele dan tak seia-sekata tersebut. Tapi ternyata anggukan kedua pemimpin berpengaruh tersebut dianggap sebagai persetujuan terhadap gagasan Bung Karno yang ia sampaikan beberapa saat setelah berbisik dan diangguki.
Kisah kedua. Kisah kedua ini mengenai kunjungan mendadak Menlu RRC saat sibuk-sibuknya pemerintahan Bung Karno mempersiapkan ajang Games Of New Emerging Forces (Ganefo), sebuah event tandingan terhadap Olimpiade yang diikuti oleh negara-negara Konferensi Asia, Afrika dan Amerika Latin. Konon, didapatkan informasi dari biro intelijen luar negeri bahwa Menlu RRC akan berkunjung ke Indonesia sekitar dua minggu ke depan.
Kunjungan mendadak dan tempo yang singkat antara informasi kunjungan dengan pelaksanaan kunjungan membuat para pemimpin Indonesia kelabakan. Kementrian luar negeri di bawah Soebandrio meminta informasi akurat dari kedutaan dan jejaring informasi luar negeri mengenai maksud kunjungan menlu RRC tersebut. Namun baru dua hari menjelang kunjungan menlu RRC tersebut barulah didapatkan informasi maksud kunjungan tersebut. Ternyata maksud kunjungan tersebut adalah mempertanyakan kebijakan pemerintahan Bung Karno yang membatasi ruang gerak bisnis etnis Tionghoa di Indonesia, hanya boleh di Kota Kabupaten, jadi etnis tionghoa tidak boleh berbisnis di kota kecamatan, apa lagi sampai ke desa.
Berhubung maksud kunjungan tersebut baru diterima dua hari menjelang kedatangan tamu kehormatan. Soebandrio dan jajaran Menlu RI gugup serta panik karena belum sempat mengumpulkan informasi untuk memberi jawaban yang memuaskan sang sahabat yang sangat diperlukan tersebut (sangat dibutuhkan karena RRC dan Rusia sangat dibutuhkan bantuannya dalam persiapan program Ganefo yang sedang dalam progres). Maka Soebandrio pun menghadap Bung Karno dan menyampaikan maksud kunjungan Perdana Menteri RRC dan berkonsultasi bagaimana cara menajawabnya. Lalu, Bung Karno dengan enteng menjawab: “sudah, nanti yang menyambut dan menemuinya oleh saya saja”, begitulah kira-kira jawaban Bung Karno kepada Soebandrio.
Ketika tamu kehormatan itu datang. Bung Karno dengan santai dan hangat menyambut tamu dengan hangat. Ketika sampai pada topik pembicaraan mengenai misi diplomasi Menlu RRC, Bung Karno menjelaskan bahwa RRC dan Indonesia adalah sesama negara sosialis. Dalam hubungan ideologis ini, RRC adalah saudara tua bagi Indonesia yang masih baru. Bung Karno menjelaskan pula bahwa di desa-desa Indonesia pada dasarnya sudah menganut sosialisme secara kultural. Sedangkan di perkotaan nafsu kapitalisme masih mengancam sosialisme Indonesia, oleh karena itu saudara-saudara kita yang etnis Tionghoa diminta berkonsentrasi melakukan peran ekonomi sosialismenya di perkotaan.
Penjelasan Bung Karno tersebut entah memuaskan atau membuat Menlu RRC mati kutu tak bisa menjawab, yang jelas Menlu RRC kemudian pulang ke negrinya dan hubungan RRC-Indonesia tetap baik-baik dan mesra sesudah pertemuan itu hingga berakhirnya masa kekuasaan Bung Karno.
Itulah sekelumit penggalan kisah Presiden Soekarno dalam malaksanakan diplomasinya, ringan, santai namun yang terpenting Presifen Soekarno selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi menghadapi siapa dan dalam kondisi apapun. Bagaimana dengan pemimpin kita saat ini ?