Rabu, 05 Oktober 2011

001.BUNG KARNO: PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT


BUNG KARNO
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
BAB I
Alasan Menulis Bab ini …
CARA yang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannya seorang yang maha‐pencinta. Ia mencintai negerinya, ia mencintai rakyatnya, ia mencintai wanita, ia mencintai seni dan melebihi daripada segala‐galanya ia cinta kepada dirinya sendiri. Sukarno adalah seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik napas panjang apabila menyaksikan pemandangan yang indah. Jiwanya bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia. Ia menangis dikala menyanyikan lagu spirituil orang negro. Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banyak memiliki darah seorang seniman. “Akan tetapi aku bersyukur kepada Yang Maha Pencipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 juta rakyat menyebutku? Kalau tidak demikian, bagairnana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak‐asasinya, setelah tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda? Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi di tahun 1945 dan menciptakan suatu Negara Indonesia yang bersatu, yang terdiri dari pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda? Irama suatu‐revolusi adalah menjebol dan membangun. Pernbangunan menghendaki jiwa seorang arsitek. Dan di dalam jiwa arsitek terdapatlah unsur‐unsur perasaan dan jiwa seni. Kepandaian memimpin suatu revolusi hanya dapat dicapai dengan rnencari ilham dalam segala sesuatu yang dilihat. Dapatkah orang memperoleh ilham dalam sesuatu, bilamana ia bukan seorang manusia‐perasaan dan bukan manusia‐seni barang sedikit ? Namun tidak setiap orang setuju dengan gambaran Sukarno tentang diri Sukarno. Tidak semua orang menyadari, bahwa jalan untuk mendekatiku adalah semata‐mata melalui hati jang ikhlas. Tidak semua orang menyadari, bahwa aku ini tak ubahnya seperti anak kecil. Berilah aku sebuah pisang dengan sedikit simpati yang keluar dari lubuk‐hatimu, tentu aku akan mencintaimu untuk selama‐lamanja. Akan tetapi berilah aku seribu juta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan umum, maka sekalipun ini nyawa tantangannya aku akan berkata kepadamu, “Persetan !” Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulatpanjang yang dinamai guling. Guling ini bagi kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam. Aku menjadi orang yang paling menyenangkan didunia ini, apabila aku merasakan arus persahabatan, sirnpati terhadap persoalan‐persoalanku, pengertian dan penghargaan datang menyambutku. Sekalipun ia tak diucapkan, ia dapat kurasakan. Dan sekalipun rasa‐tidak senang itu tidak diucapkan, aku juga dapat merasakannya. Dalam kedua hal itu aku bereaksi menurut instink. Dengan satu perkataan yang lembut, aku akan melebur. Aku bisa keras seperti baja, tapi akupun bisa sangat lunak. Seorang diplomat tinggi Inggris masih belum menyadari, bahwa kunci menuju Sukarno akan berputar dengan mudah, kalau ia diminyaki dengan perasaan kasih sayang. Dalam sebuah suratnya belum lama berselang yang ditujukan ke Downing Street 10 ia menulis, “Presiden Sukarno tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dikuasai. Dia seperti tikus yang terdesak. “Suatu ucapan yang sangat bagus bagi seseorang yang telah mempersembahkan seluruh hidupnya kepangkuan tanah airnya, orang yang 13 tahun lamanya meringkuk dalam penjara dan pembuangan, karena ia mengabdi kepada suatu cita‐cita. Mungkin aku tidak sependapat dan sependirian dengan dia tetapi seperti seekor tikus? Jantungku berhenti mendenyut ketika surat itu sampai ditanganku. Ia mengakhiri suratnya dengan mengatakan, bahwa ia telah mengusahakan agar Sukarno mendapat perlakuan yang paling buruk dalam surat‐surat kabar.
“Aku tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekejap. Kadang‐kadang, dilarut tengah malam, aku menelpon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, “Bandrio, datanglah ketempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, ma’afkanlah.” Aku membaca setiap malam, berpikir setiap malam dan aku sudah bangun lagi jam lima pagi. Untuk pertamakali dalam hidupku aku mulai makan obat‐tidur. Aku lelah. Terlalu lelah. Aku bukan manusia yang tidak mempunyai kesalahan. Setiap makhluk membuat kesalahan. Di hari‐hari keramat aku minta ma’af kepada rakyatku dimuka umum atas kesalahan yang kutahu telah kuperbuat, dan atas kekeliruan‐kekeliruan yang tidak kusadari. Barangkali suatu kesalahanku ialah, bahwa aku selalu mengejar suatu cita‐cita dan bukan persoalan‐persoalan yang dingin. Aku tetap mencoba untuk menundukkan keadaan atau menciptakan lagi keadaan‐keadaan, sehingga ia dapat dipakai sebagai jalan untuk mencapai apa yang sedang dikejar. Hasilnya, sekalipun aku berusaha begitu keras bagi rakyatku, aku menjadi korban dari serangan‐serangan yang jahat. Orang bertanya, “Sukarno, apakah engkau tidak merasa tersinggung bila orang mengeritikmu?” Sudah tentu aku merasa tersinggung. Aku benci dimaki orang. Bukankah aku bersifat manusia seperti juga setiap manusia lainnya? Bahkan kalau engkau melukai seorang Kepala Negara, ia akan lemah. Tentu aku ingin disenangi orang. Aku mempunyai ego. Itu kuakui. Tapi tak seorangpun tanpa ego dapat menyatukan 10.000 pulau‐pulau menjadi satu Kebangsaan. Dan aku angkuh. Siapa pula yang tidak angkuh? Bukankah setiap orang yang membaca buku ini ingin mendapat pujian?.
Aku teringat akan suatu hari, ketika aku menghadapi dua buah laporan yang bertentangan tentang diriku. Kadang‐kadang seorang Kepala Pemerintahan tidak tahu, mana yang harus dipercayainya. Yang pertama berasal dari majalah “Look”. “Look” menyatakan, bahwa rakyat Indonesia semua menentangku. Majalah ini memuat sebuah tulisan mengenai seorang tukang becak yang mengatakan seakan‐akan segala sesuatu di Indonesia sangat menyedihkan keadaannya dan orang‐orang kampung pun sekarang sudah muak terhadap Sukarno.
Kusudahi membaca artikel itu pada jam lima sore dan tepat pada waktu aku telah siap hendak berjalanjalan selama setengah djam, seperti biasanya kulakukan dalam lingkungan istana, inilah satu‐satunya macam gerak badan bagiku seorang pejabat polisi yang sangat gugup dibawa masuk. Sambil berjalan kutanyakan kepadanya, apa yang sedang dipikirkannya. “Ya, Pak,” ia memulai, “Sebenarnya kabar baik.” “Apa maksudmu dengan sebenarnya kabar baik?” tanyaku. “Ya,” katanya, “Rakyat sangat menghargai Bapak. Mereka mencintai Bapak. Dan terutama rakyat jelata. Saya mengetahui, karena saya baru menyaksikan sendiri suatu keadaan yang menunjukkan penghargaan terhadap Bapak. Kemudian ia berhenti. “Teruslah,” desakku, “Katakan padaku. Darimana engkau dan siapa yang kautemui dan apa yang mereka lakukan?” “Begini, Pak,” ia mulai lagi. “Kita mempunyai suatu daerah, dimana perempuan‐perempuan lacur semua ditempatkan secara berurutan. Kami memeriksa daerah itu dalam waktu‐waktu tertentu, karena sudah menjadi tugas kami untuk mengadakan pengawasan tetap. Kemarin suatu kelompok memeriksa keadaan mereka dan Bapak tahu apa yang mereka temui ‐Mereka menyaksikan potret Bapak, Pak. Digantungkan di dinding.” “Dimana aku digantungkan?” tanyaku kepadanya. “Ditiap kamar, Pak. Ditiap kamar terdapat, sudah barang tentu, sebuah tempat tidur. Dekat tiap ranjang ada meja dan tepat diatas meja itu disitulah gambar Bapak digantungkan. “Dengan gugup ia mengintai kepadaku sambil menunggu perintah. “Pak, kami merasa bahagia karena rakyat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu apakah wajar kalau gambar Presiden kita digantungkan di dinding rumah pelacuran. Apa yang harus kami kerdjakan? Apakah akan kami pindahkan gambar Bapak dari dinding‐dinding itu?” “Tidak,” djawabku. “Biarkanlah aku disana. Biarkan mataku yang tua dan letih itu memandangnya! “Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasasn pro dan kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai Dewa. Tidak jarang kakek‐kakek datang berkunjung kepadaku sebelum mereka mengakhiri hajatnya. Seorang nelayan yang sudah tua, yang tidak mengharapkan pujian atau keuntungan, berjalan kaki 23 hari lamanya sekedar hanya untuk sujud dihadapanku dan mencium kakiku. Ia menyatakan, bahwa ia telah berjanji pada dirinya sendiri, sebelum mati ia akan melihat wajah Presidennya dan menunjukkan kecintaan serta kesetiaan kepadanya. Banyak yang percaya bahwa aku seorang Dewa, mempunyai kekuatan‐kekuatan sakti yang menyembuhkan. Seorang petani kelapa yang anaknya sakit keras bermimpi, bahwa ia harus pergi kepada Bapak dan minta air untuk anaknya. Hanya air ledeng biasa dan yang diambil dari dapur. Ia yakin, bahwa air ini, yang kuambil sendiri, tentu mengandung zat‐zat yang menjembuhkan. Aku tidak bisa bersoal jawab dengan dia. karena orang Jawa adalah orang yang percaya kepada ilmu kebatinan, dan ia yakin bahwa ia akan kehilangan anaknya kalau tidak membawa obat ini dariku. Kuberikan air itu kepadanya. Dan seminggu kemudian anak itu sembuh kembali. Aku senantiasa mengadakan perjalanan ke pelbagai pelosok tanah air dari Sabang, negeri yang paling utara dari pulau Sumatra, sampai ke Merauke di Irian Barat dan yang paling timur. Beberapa tahun yang lalu aku mengunjungi sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Seorang perempuan dari desa itu mendatangi pelayanku dan membisikkan, “Jangan biarkan orang mengambil piring Presiden. Berikanlah kepada saya sisanya. Saya sedang mengandung dan saya ingin anak laki‐laki. Saya mengidamkan seorang anak seperti Bapak. Jadi tolonglah, biarlah saya memakan apa‐apa yang telah dijamah sendiri oleh Presidenku.” Di pulau Bali orang percaya, bahwa Sukarno adalah penjelmaan kembali dari Dewa Wishnu, Dewa Hujan dalam agama Hindu. Karena, bilamana sajapun Bapak datang ke tempat istirahat yang kecil, yang kurencanakan dan kubangun sendiri di luar Denpasar, bahkan sekalipun di tengah musim kemarau, kedatanganku bagi mereka berarti hujan. Orang Bali yakin, bahwa aku membawa pangestu kepada mereka. Dikala terakhir aku terbang ke Bali disana sedang berlangsung musim kering. Tepat setelah aku sampai disana, langit tercurah. Berbicara secara terus‐terang, aku memanjatkan‐do’a syukur kehadirat Yang Maha Pengasih manakala turun hujan selama aku berada di Tampaksiring. Karena, kalaulah ini tidak terjadi, sedikit banyak akan mengurangi pengaruhku.Namun, dunia hanya membaca tentang satu orang tukang becak. Dunia hanya tahu, bahwa Sukarno bukan ahli ekonomi. Itu memang benar. Aku bukan ahli ekonomi. Tapi apakah Kennedy ahli ekonorni? Apakah Johnson ahli ekonomi? Apakah itu suatu alas an bagi majalah‐majalah Barat untuk menulis bahwa negeriku sedang menuju kepada keruntuhan ekonomi? Atau bahwa kami adalah “bangsa yang bobrok”. Atau untuk menjuduli sebuah cerita: “Mari kita bergerak menentang Sukarno?” Kalau para wartawan membenci Jepang atau Filipina, mereka dapat menyebut suatu daerah di sana, dimana seluruh keluarga — ibu, bapak dan anak‐anaknya—bunuh diri, karena menderita kelaparan. Ini semua sudah diketahui orang. Tapi tidak! Hanya mengenai “Orang Jahat dari Asia” mereka membuat foto‐foto dari penderitaan rakyat, karena kekurangan makanan oleh musim kering dan hama tikus, sementara dilatarbelakangnya digambarkan hotelku yang indah. Lalu kepala karangannya: “Indonesia kepunyaan Sukarno”. Tapi itu BUKAN Indonesia kepunyaan Sukarno. Indonesia kepunyaan Sukarno sekarang adalah suatu bangsa yang 10051 bebas buta huruf di bawah umur 45 tahun.
Pada waktu Negara kami dilahirkan duapuluh tahun yang lalu hanya 6% dari kami yang pandai baca tulis. Indonesia kepunyaan Sukarno sekarang adalah suatu bangsa yang dua inci lebih tinggi daripada generasi terdahulu. Apakah masuk diakal, anak‐anak bisa tumbuh lebih subur dalam keadaan kelaparan?. Akan tetapi wartawan‐wartawan terus saja menulis, bahwa aku ini seorang “Budak Moskow”. Marilah kita perbaiki ini sekali dan untuk selama‐lamanya. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi seorang Komunis. Aku menyembah ke Moskow? Setiap orang yang pernah mendekati Sukarno mengetahui, bahwa egonya terlalu besar untuk bisa menjadi budak seseorang—kecuali menjadi budak dari rakyatnya. Namun para wartawan tidak menulis tentang apa‐apa yang baik dari Sukarno. Pokok pokok yang dibicarakan hanya tentang yang jelek dari Sukarno.Mereka suka memperlihatkan Hotel Indonesiaku yang penuh gairah dan di belakangnya gambar‐gambar daerah pinggiran yang miskin. Alasan dari “orang yang menghamburkan uang” mendirikan gedung itu ialah, untuk memperoleh devisa yang tidak dapat kami cari dengan jalan lain. Kami menghasilkan dua juta dollar Amerika setelah hotel itu berjalan selama setahun. Aku sadar, bahwa kami masih mempunyai daerah pinggiran yang miskin dekat itu. Akan tetapi negeri‐negeri yang kayapun punya hotel yang gemerlapan, empuk dari yang harganya jutaan dollar, sedang di sudutnya terdapat bangunan‐bangunan yang tercela penuh dengan kotoran, busuk dan jelek. Aku melihat orang‐orang kaya dengan segala kemegahannya berjalan dengan sedansedan yang mengkilap, akan tetapi aku juga melihat mereka‐mereka yang malang mencakar‐cakar dalam
tong sampah mencari kulit kentang. Memang ada daerah pinggiran yang miskin di seluruh kota di dunia. Bukan hanya di Jakarta kepunyaan Sukamo. Barat selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada Negara‐Negara Sosialis. “Ooohh,” kata mereka, “Lihatlah Sukarno lagi‐lagi bermain‐main sahabat dengan Blok Timur.” Yah, mengapa tidak? Negara‐Negara Sosialis tak pernah mengizinkan seorangpun mengejekku dalam pers mereka. Negara‐Negara Sosialis selalu memujiku. Mereka tidak membikin aku malu ke seluruh dunia ataupun tidak memperlakukanku di muka umum seperti seorang anak yang tercela dengan menolak memberikan lebih banjak jajan sampai aku menjadi anak yang manis. Negara‐Negara Sosialis selalu mencoba untuk merebut hati Sukarno. Krushchov mengirimi aku jam dan pudding dua minggu sekali dan memetikkan appel, gandum dan hasil tanaman lain dari panennya yang terbaik. Jadi, salahkah aku kalau berterima‐kasih kepadanya? Siapakah yang takkan ramah terhadap seseorang yang bersikap ramah kepadanya? Aku mengejar politik netral, ya! Akan tetapi dalam hati kecilnya siapa yang menyalahkanku, jika aku berkata, “Terimakasih rakyat‐rakyat Negara Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan.
Terima‐kasih rakyat‐rakyat Negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak menyakiti hatiku. Terimakasih, karena engkau telah menyampaikan kepada rakyatmu bahwa Sukamo setidak‐tidaknya mencoba sekuat tenaganya berbuat untak negerinya. Terima‐kasih atas pemberianmu.” Apa yang kuucapkan itu adalah tanda terima‐kasih, bukan Komunisme! Aku dicela dalam berbagai soal. Mengapa dia ‐terlalu banyak mengadakan perjalanan, musuh‐musuhku selalu bertanya. Di bulan Juni 1960, pada waktu aku mengadakan perlawatan selama dua bulan empat hari ke India, Hongaria, Austria, RPA, Guinea, Tunisia, Marokko, Portugal, Cuba, Puerto Rico, San Francisco, Hawaii dan Jepang, kepadaku ditujukan kata‐kata
baru yang dikarang buat diriku. Aku malahan tidak tahu apa maksud “Have 707 Will Travel” hingga seorang sahabat bangsa Amerika menerangkannya. Memang benar, bahwa aku adalah satu‐satunya Presiden yang mengadakan demikian banyak perlawatan. Aku sudah kemana‐mana kecuali ke London, sekalipun Ratu Inggris sudah dua kali mengundangku untuk berkunjung. Aku mengharapkan, di satu saat dapat menerima keramahannya itu. Ada sebabnya aku mengadakan perlawatan itu. Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menyampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan “Bangsa yang pandir” seperti orang Belanda berulang‐ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi “Inlander goblok hanya baik untuk diludahi” seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali‐kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing yang berjulan menyuruk nyuruk dengan memakai sarung dan ikat kepala, merangkak‐rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan‐majikan kolonial dimasa yang silam. Setelah Republik Rakyat Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa yang ke lima di dunia dalam hal jumlah penduduk. 3000 dari pulau‐pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banyak rakyat yang tidak mengetahui tentang Indonesia? Atau dimana letaknya? Atau tentang warna kulitnya, apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih?. Yang mereka ketahui hanya nama Sukarno. Dan mereka mengenal wajah Sukarno. Mereka tidak tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau yang terbesar di dunia. Bahwa negeri kami terhampar sepanjang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri‐negeri Eropa sejak dari pantai Barat benuanya sampai keperbatasan paling ujung di sebelah Timur. Mereka tidak tahu, bahwa kami sesudah Australia adalah negara keenam terbesar, dengan luas tanah sebesar dua juta mil persegi. Mereka umumnya tidak menyadari, bahwa kami terletak antara dua benua, benua Asia dan Australia, dan dua buah Samudra raksasa, Lautan Teduh dan Samudra Indonesia. Atau, bahwa kami menghasilkan kopi yang paling baik didunia; dari itu timbulnya ucapan: “A cup of Java”. Bahwa setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet maka Indonesialah penghasil minyak yang terbesar di Asia Tenggara dan penghasil timah yang kedua terbesar di dunia, negara terkaya di alam semesta dalam hal sumber alam. Atau, bahwa satu dari empat buah ban mobil, Amerika dibuat dari karet Indonesia. Namun apa yang mereka mau tahu hanya nama Sukarno.
Departemen Luar Negeri kami menyatakan kepadaku, bahwa satu kali kunjungan Sukarno sama artinya dengan sepuluh tahun pekerjaan Duta. Dan itulah alasan, mengapa aku mengadakan perlawatan dan mengapa aku selalu memberikan kenyataan‐kenyataan tentang tanah airku dalam setiap pidato yang kuucapkan di setiap penjuru dunia. Aku hendak mengajar orang‐orang asing dan memberikan pandangan pertama selintas lalu tentang negeriku, yang terhampar menghijau dan tercinta ini laksana untaian zamrud yang melingkar di sepanjang katulistiwa.Pada suatu hari sekretarisku menyerahkan sebuah surat yang beralamat singkat “Presiden Sukarno, Indonesia, Asia Tenggara”. Penulis surat ini berkata, ia mendengar bahwa aku ini mengekang kemerdekaan pers dan apakah itu benar dan kalau memang demikian alangkah kejamnya aku ini! Orang yang menulis surat picisan ini menamakan aku seorang yang
angkara. Dia mengejek kepadaku, tapi ini tidak kupedulikan. Tahukah engkau apa yang membuat aku gusar? Kenyataan bahwa dia menganggap kantor pos tidak tahu dimana letak Indonesia. Dan oleh sebab itu dia menambahkan kata‐kata “Asia Tenggara” pada alamatnya! Pendapat manusia berjalan bagai gelombang. Dalam tahun ’56 ketika aku pertamakali berkundjung ke Amerika Serikat, setiap orang menyukaiku. Sekarang arusnya menjadi terbalik, menentang Sukarno. Betapapun, aku telah dijadikan bulan‐bulanan.
Baru‐baru ini diserahkan kepadaku sebuah majalah remaja Amerika. Majalah itu memperlihatkan gadis striptease setengah telanjang, yang hanya memakai celana dalam dan berdiri di samping Sukarno berpakaian seragam militer lengkap. Ini adalah kombinasi yang ditempelkan menjadi satu supaya kelihatan seolah‐olah satu foto dari seorang gadis penari telanjang membuka pakaiannya dihadapan Presiden Republik Indonesia. Kedua foto ini ditempelkan satu dengan yang lain. Ini adalah perbuatan kotor yang dilakukan terhadap seorang Kepala Negara. Apakah aku harus mencintai Amerika, kalau ia melakukan perbuatan seperti itu terhadap diriku? Aku memperbincangkan muslihat semacam ini dengan Presiden Kennedy yang sangat kuhormati. John F. Kennedy dan aku saling menyukai pergaulan kami satu sama lain. Dia berkata, “Presiden Sukarno, saya sangat mengagumi Tuan. Seperti saya sendiri, Tuan mempunyai pikiran yang senantiasa menyelidiki dan bertanya‐tanya. Tuan membaca segala‐galanya. Tuan sangat banyak mengetahui.” Lalu dia membicarakan cita‐cita politik yang kupelopori dan mengutip bagian‐bagian dari pidato‐pidatoku. Kennedy mempunyai cara untuk mendekati seseorang melalui hati manusia. Kami banyak mempunyai persamaan. Kennedy adalah orang yang sangat ramah dan menunjukkan persahabatan terhadapku. Dia membawaku ke tingkat atas, ke kamar tidurnya sendiri dan disanalah kami bercakap‐cakap. Kukatakan kepadanya, “Tuan Kennedy, apakah Tuan tidak menyadari, bahwa sementara Tuan sendiri memadu hubungan persahabatan, seringkali Tuan dapat merusakkan hubungan dengan negara‐negara lain dengan membiarkan ejekan, serangan makian dan mengizinkan kritik‐kritik secara tetap terhadap pemimpin mereka dalam pers Tuan? Kadang‐kadang kami lebih condong untuk bertindak atau memberikan reaksi lebih keras, oleh karena kami dilukai atau dibikin marah. Sesungguhnya apakah pergaulan internasional itu bukan pergaulan antar manusia dalam hubungan yang lebih besar? Penggerogotan terus‐menerus semacam ini merobek‐robek keseimbangan dan mempertegang lebih hebat lagi hubungan yang sulit antara negara lain dengan negeri Tuan.” Saya setuju dengan Tuan, Presiden Sukarno. Sayapun telah mendapat kesukaran dengan para wartawan kami,” dia mengeluh. “Apakah kami beruntung atau tidak, namun kemerdekaan pers merupakan satu bagian dari pusaka peninggalan Amerika.” Ketika Alben Barkley menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat, ia mengunjungi tanah air saya,” kataku. Dan saya sendiri berdiri dekat beliau di waktu beliau dicium oleh serombongan anak‐anak gadis cantik remadja.” Saya yakin, tentu Wakil Presiden Barkley sangat bersenang hati,” kata Kennedy dengan ketawa yang disembunyikan. Sekalipun demikian tak satupun surat kabar Indonesia mau menyiarkannya.
Dan disamping itu mereka tak berani mengambil resiko untuk menimbulkan kesusahan terhadap seorang negarawan ke seluruh dunia. Barkley adalah seorang yang gembira dan barangkali tidak peduli bila gambarnya itu dimuat. Akan tetapi bukanlah itu soalnya. Yang pokok adalah bahwa kami berkeyakinan perlunya para pemimpin dunia dilindungi di negeri kami. “Kennedy sangat seperasaan denganku mengenai soal ini dan berkata kepadaku dengan penuh kepercayaan, “Tuan memang benar sekali, tapi apa yang dapat saya lakukan? Sedangkan saya dikutuk di negeri saya sendiri.” Karena itu kataku, “Ya, itulah sistem Tuan. Kalau Tuan dikutuk di rurnah sendiri, saya tidak dapat berbuat apa‐apa. Akan tetapi saya kira saya tidak perlu menderita penghinaan seperti itu di negeri Tuan, dimana Kepala Negaranya sendiri harus menderita sedemikian. Majalah Tuan “Time” dan “Life” terutama sangat kurang ajar terhadap saya. Coba pikir, “Time” menulis, “Sukarno tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu”. Selalu mereka menulis yang jelek‐jelek. Tidak pernah hal‐hal yang baik yang telah saya kerdjakan. “Sekalipun Presiden Kennedy dan aku telah mengadakan pertemuan pendapat, persetujuan dalam lingkungan kecil ini tidak pernah tersebar dalam pers Amerika Serikat. Masih saja, hari demi hari, mereka menggambarkanku sebagai pengejar cinta. Ya, ya, ya, aku mencintai wanita. Ya, itu kuakui. Akan tetapi aku bukanlah seorang anak pelesiran sebagaimana mereka tudukkan padaku. Di Tokyo aku telah pergi dengan kawan‐kawan ke suatu Rumah Geisha. Tiada sesuatu yang melanggar susila mengenai Rumah Geisha itu. Orang sekedar duduk, makan‐makan, bercakap‐cakap dan mendengarkan musik. Hanya itu. Akan tetapi dalam majalah‐majalah Barat digembar‐gemborkan seolaholah aku ini Le Grand Seducteur. Tanpa hiburan‐hiburan kecil ini aku akan mati. Aku mencintai hidup. Orang‐orang‐asing yang mengunjungi istanaku menyatakan, bahwa aku menyelenggarakan, “suatu istana yang menyenangkan.” Ajudan‐ajudanku mempunyai wajah‐wajah yang senyum. Aku berkelakar dengan mereka, menyanyi dengan mereka. Bila aku tidak memperoleh kegembiraan, nyanyian dan sedikit hiburan kadang‐kadang, aku akan dibinasakan oleh kehidupan ini. Umurku sudah 64 tahun. Menjadi Presiden adalah pekerjaan yang membikin orang lekas tua. Dan kalau orang menjadi tua, tentu tidak baik bagi seseorang. Karena itu, sesekali aku harus lari dari keadaan ini, supaya aku dapat hidup seterusnya. Banyak kesenangan‐kesenangan yang sederhana telah dirampas dariku. Misalnya, di masa kecilku aku telah mengelilingi pulau Jawa dengan sepeda. Sekarang perjalanan semacam itu tidak dapat kulakukan lagi, karena tentu tidak sedikit orang yang akan mengikutiku.
Di Hollywood aku diberi kesempatan untuk rnelihat‐lihat di sekitar studio‐studio film. Waktu meninggalkan halaman studio aku melihat seorang anak pengantar surat lewat dengan sepeda, lalu menghentikan sepedanya untuk sesaat. Tiba‐tiba aku merasa senang dan pikiranku terbuka, karena itu aku naik dan pergi. Aku bukan hendak memberi kesan kepada siapapun. Hanya karena merasa senang. Yah, gema dan gambarku ini tersebar ke seluruh dunia ini. Di negeriku sendiripun aku tak dapat lagi menikmati kesenangan yang paling memuaskan hati, yaitu menggeledahi toko‐toko kesenian, melihatlihat benda yang akan dikumpulkan, lalu menawarnya. Kemanapun aku pergi, rakyat berkumpul berbondong‐bondong. Dokterku telah memperhatikan, bahwa kegembiraan memang mutlak perlu buat menjaga kesehatanku. Dengan demikian aku bisa terlepas sedikit dari diriku sendiri dan dari penjaraku. Karena begitulah keadaanku. Seorang tawanan. Tawanan dari tata cara serba resmi. Tawanan dari tata cara kesopanan. Tawanan dari perilaku yang baik. Setiap orang harus mencari suatu kesenangan supaya terlepas dari segala tata laku ini. Presiden Ayub Khan main golf, Kennedy berperahu layar, Pangeran Norodom Sihanouk mengarang musik, Raja Muang Thai main saxophone, Lyndon Johnson mempunyai tempat peternakan. Akupun memerlukan kesenangan. Karena itu, bila aku mengadakan perjalanan, aku mengizinkan diriku sendiri dengan kesenangan menjalankan tugas dalam mengejar kebahagiaan. Sesuai dengan Undang‐Undang Dasar Amerika Serikat setiap orang berhak mengejarnja. Menjadi Presiden karena diperlukan menyebabkan orang menjadi terasing. Kecakapan dan sifat‐sifat yang memungkinkan orang menduduki jabatan Presiden itu adalah kecakapan dan sifat itu juga yang menyebabkan ia diasingkan. Akan tetapi, di mata orang luar aku selalu gembira. Pembawaanku adalah demikian, sehingga perasaan susah yang teramat sangat tidak pernah memperlihatkan diri. Sekalipun perasaanku hancur luluh di dalam, orang tak dapat menduganya. Bukankah Sukarno terkenal dengan “senjumnya”? Apapun juga persoalanku— Malaysia, kemiskinan, lagi‐lagi percobaan pembunuhan—Sukarno dari luar senantiasa gembira. Seringkali aku duduk‐duduk seorang diri di beranda Istana Merdeka. Beranda itu tidak begitu indah. Setengah tertutup dengan layar untuk menghambat panas dan cahaya matahari. Perabotnya terdiri dari korsi rotan yang tidak dilapis dan tidak dicat dan meja beralas kain batik halus buatan negeriku. Suatu keistimewaan yang kuperoleh karena jabatan tinggi adalah sebuah kursi yang menyendiri pakai bantal. Itulah yang dinamakan “Kursi Presiden”. Dan aku duduk disana. Merenung. Dan memandang keluar ke taman indah yang menghilangkan kelelahan pikiran, taman yang kutanami dengan tanganku sendiri. Dan batinku merasa sangat sepi. Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku. Kadang‐kadang aku menjadi seorang Harun al Rasyid. Aku berputar‐putar keliling kota. Seorang diri. Hanya dengan seorang ajudan berpakaian preman di belakang kendaraan. Terasa olehku kadang‐kadang, bahwa aku harus terlepas dari berbagai persoalan untuk sesaat dan merasakan irama denyut jantung tanah airku. Namun persoalan‐persoalan selalu mengikutiku bagai bayangan besar dan hitam dan yang datang dengan samar menakutkan di belakangku. Aku takkan bisa lepas daripadanya. Aku takkan keluar dari genggamannya. Aku takkan dapat maju dengannya. Ia bagai hantu yang senantiasa mengejar‐ngejar. Pakaian seragam dan peci hitam merupakan tanda pengenalku. Akan tetapi adakalanya kalau hari sudah malam aku menukar pakaian pakai sandal, pantalon dan kalau hari terlalu panas aku hanya memakai kemeja. Dan dengan kacamata berbingkai tanduk rupaku lain samasekali. Aku dapat berkeliaran tanpa dikenal orang dan memang kulakukan. Ini kulakukan karena ingin melihat kehidupan ini. Aku adalah kepunyaan rakyat. Aku harus melihat rakyat, aku harus mendengarkan rakyat dan bersentuhan dengan mereka. Perasaanku akan tenteram kalau berada diantara mereka. Ia adalah roti kehidupan bagiku. Dan aku merasa terpisah dari rakyat jelata. Kudengarkan percakapan mereka, kudengarkan mereka berdebat, kudengarkan mereka berkelakar dan bercumbu‐kasih. Dan aku merasakan kekuatan hidup mengalir keseluruh batang tubuhku.
Kami pergi dengan mobil kecil tanpa tanda pengenal. Adakalanya aku berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang. Sungguh saat‐saat yang menyenangkan. Rakyat segera mengenalku apabila mendengar suaraku. Pada suatu malam aku pergi ke Senen, di sekitar gudang kereta api, dengan seorang Komisaris Polisi. Aku berputar‐putar di tengah‐tengah rakyat dan tak seorangpun memperhatikan kami. Akhirnya, untuk sekedar berbicara aku bertanya kepada seorang laki‐laki, “Dari mana diambil batu bata ini dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?” Sebelum ia dapat memberikan jawaban, terdengar teriakan, “Hee,” teriak suara perempuan, “Itu suara Bapak Ya, suara.., Elapak Hee, orang‐orang, ini Bapak Bapak “Dalam beberapa detik ratusan kemudian ribuan rakyat datang berlari‐lari dari segala penjuru. Dengan cepat Komisaris itu membawaku keluar dari situ, masuk mobil kecil kami dan menghilang. Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan Presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil. Memang ada beberapa orang kawanku. Tidak banyak. Seringkali pikiran oranglah yang berubah‐ubah, bukan pikiranmu. Mereka memperlakukanmu lain. Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini disekelilingku. Karena itulah, apabila aku terlepas dari penjaraku ini, aku menyenangkan diriku sendiri.
Di Tokyo aku bisa pergi ke Kokusai Gekijo, dimana mereka mempertunjukkan di atas panggung sekaligus empat ratus gadis‐gadis jelita. Ditahun 1963 aku baru tahu, bahwa Duta Besar Indonesia untuk Jepang di waktu itu tidak pernah mengunjungi panggung ini. Aku mengumpatnya, “Hei, Bambang Sugeng, engkau ini Duta Besar yang malang. Seorang diplomat harus mengecap setiap jenis kehidupan negeri dimana dia ditempatkan. Hayo, Mari kita pergi melihat gadis‐gadis itu. “Akupun mengajak seorang Indonesia yang bersusila kawakan, yang kaget apabila Presidennya mempercakapkan wanita. Orang ini mengerling pada gadis‐gadis yang cantik ini, kemudian bangkit dan berkata, “Saya tidak dapat menyaksikannya. Saya akan pergi saja. Terlalu menegangkan pikiran saya.” Dia seorang munafik. Aku benci orang‐orang munafik. Sudah barang tentu lagi‐lagi reputasiku menyebabkan aku menjadi korban keadaan. Di Filipina di tahun 1964, Presiden Diosdado Macapagal menyambutku di lapangan terbang. Beliau mengiringkanku ke Laurels Mansion dimana aku menginap. Disana tinggal Tuan Laurels bekas Presiden Filipina, isterinya dan anak cucunya. Untuk lebih memeriahkan kedatanganku mereka mendatangkan Bayanihan Cultural
Ensemble, suatu perkumpulan paduan suara, yang menyambutku dengan Tari Lenso sebagai tanda penghormatan. Dua orang wanita muda tampil dari dalam kelompok ensemble itu dan meminta kepadaku untuk turut menari. Sukar untuk menolaknya, karena itu aku mulai menari dan GEGER! Kilat lampu! Jepretan karnera! Dan induk karangannya: “Lihat Sukarno pengejar cinta mulai lagi”. Aku menyukai gadis gadis yang menarik di sekelilingku, karena gadis‐gadis ini bagiku tak ubahnya seperti kembang yang sedang mekar dan aku senang memandangi kembang. Di tahun 1946, di hari‐hari yang berat itu semasa revolusi fisik, isteri dari sekretaris duaku datang setiap pagi hanya sekedar untuk membelah telor untuk sarapanku. Ah, sebenarnya aku sendiri bisa memecahkannya, akan tetapi isteriku tak pernah bangun begitu pagi dan aku merasa lebih tenang dan kuat disaat‐saat yang tegang seperti itu apabila melihat barang sesuatu tersenyum disekitarku. Aku merasa terhibur oleh wanita‐wanita muda di sekeliling kantorku. Apabila para tetamu menyiasati tentang ajudan‐ajudan wanitaku yang masih muda belia, aku berkelakar kepada mereka, “Perempuan tak ubahnya seperti pohon karet. Dia tidak baik lagi setelah tigapuluh tahun.” Katakanlah, aku bereaksi lebih baik terhadap wanita. Wanita lebih mengerti. Wanita lebih bisa turut merasakan. Kuanggap mereka memberikan kesegaran. Justru wanitalah yang dapat memberikan ini kepadaku. Sekali lagi, aku tidak berbicara dalam arti jasmaniah. Aku hanya sekedar tertarik pada suatu pandangan yang lembut atau sesuatu yang kelihatan indah. Sebagai seorang seniman, aku tertarik menurut pembawaan watak kepada segala apa yang menyenangkan pikiran. Bila hari sudah larut aku merasa lelah. Seringkali aku kehabisan tenaga, sehingga sukar untuk menggerakkan persendian. Dan apabila seorang sekretaris laki‐laki berbadan besar, tidak menarik, buruk dan botak datang membawa setumpukan tinggi surat‐surat untuk ditandatangani, aku akan berteriak kepadanya supaya dia segera pergi dan membiarkanku seorang diri. Sepihan‐sepihan kulitnya akan rontok dari badannya karena kaget. Aku akan menggeledek kepadanya. Aku akan bangkitkan petir diatas kepalanya. Akan tetapi bilamana yang datang seorang gadis sekretaris berbadan ramping, dengan dandan yang rapi dan meluapkan bau harum menyegarkan tersenyum manis dan berkata kepadaku dengan lunak, “Pak, silahkan!”, tahukah
engkau apa yang terjadi? Bagaimanapun keadaan hatiku, aku akan menjadi tenang. Dan aku akan selalu berkata, “Baik”. Di tahun ’61 aku sakit keras. Di Wina para ahli mengeluarkan batu dari ginjalku. Waktu itu adalah saat memuncaknya perjuangan kami merebut kembali Irian Barat dan dalam kalangan lawan lawan kami timbul kegembiraan. Tidak guna lagi mengutuk Sukarno dan meminta‐minta supaya dia mati, karena Sukarno sekarang sedang menuju kematiannya. Karena itu para dokter melakukan perawatan yang lebih teliti terhadap diriku. Mereka membujuk hatiku, “Jangan kuatir, Presiden Sukarno, kami akan memberikan perawat‐perawat yang berpengalaman untuk menjaga Tuan.” Hehhhh!! Ketika hal ini disampaikan kepadaku, keadaanku menjadi lebih payah daripada sewaktu aku mula‐mula masuk. Aku tahu apa yang akan kuhadapi. Aku tidak berkata apa‐apa, karena aku tidak mau menentang dokter. Pendeknya di hari berikut ia melakukan pembedahan dan aku ingin agar hatinya senang terhadapku selama ia menjalankan pembedahan itu. Akan tetapi sementara itu aku berpikir dalam hatiku sendiri, “Aku akan lebih cepat sembuh dengan gadisgadis perawat yang tidak berpengalaman, karena yang sudah punya pengalaman 40 tahun tentu setidaktidaknya sekarang sudah berumur 55 ! “Orang mengatakan, bahwa Sukarno suka melihat perempuan cantik dengan sudut matanya. Kenapa mereka berkata begitu? Itu tidak benar. Sukarno suka memandangi perempuan cantik dengan seluruh bola matanya. Akan tetapi ini bukanlah suatu kejahatan. Sedangkan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam mengagumi keindahan. Dan sebagai seorang Islam yang beriman aku adalah pengikut Nabi Muhammad yang mengatakan, “Tuhan yang dapat menciptakan makhluk‐makhiuk yang cantik seperti wanita adalah Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Pengasih.” Aku setuju dengan ucapan beliau. Seperti yang dikisahkan, Muhammad mempunyai seorang budak bernama Said. Said, orang yang pertama‐tama masuk Islam, mempunjai isteri yang sangat cantik bernama Zainab. Ketika Muhammad melihat Zainab, beliau mengucapkan “Allahu Akbar”, Tuhan Maha Besar. Tatkala murid‐muridnya bertanya, mengapa beliau mengucapkan Allahu Akbar ketika melihat Zainab, maka beliau menjawab, “Aku memuji Tuhan karena telah menciptakan makhluk‐makhluk yang cantik seperti perempuan ini.” Aku menjunjung Nabi Besar. Aku mempelajari ucapan‐ucapan beliau dengan teliti. Jadi, moralnya bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang mengagumi seorang perempuan yang cantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu, karena dengan melakukan itu pada hakekatnya aku memuji Tuhan dan memuji apa yang telah diciptakan‐Nya. Aku hanya seorang pencinta kecantikan yang luar biasa. Aku mengumpulkan benda‐benda perunggu karya seni dari Budapest, seni pualam dari Italia, lukisan‐lukisan dari segala penjuru. Untuk Istana Negara di Jakarta aku sendiri berbelanja membeli kandil kristal yang berat dan kursi beludru cukilan emas di Eropa. Aku memungut permadani di Iraq. Aku membuat sendiri rencana meja kantorku dari satu potong kayu jati Indonesia yang utuh. Aku merencanakan meja ruang makan Negara dari satu potong kayu jati Indonesia. Aku menggantungkan setiap kain hiasan dinding, memilih setiap barang, merencanakan dimana harus diletakkan setiap pot bunga atau karya seni pahat. Kalau aku melihat sepotong kertas di lantai, aku akan berhenti dan memungutnya. Anggota Kabinet tertawa melihat bagaimana aku, di tengah‐tengah persoalan yang pelik, datang kepada mereka dan meluruskan dasinya. Aku senang bila makanan diatur secara menarik di atas meja. Aku mengagumi keindahan dalam segala bentuk.
Dalam perkunjungannya ke Istana Negara di Bogor, seorang Texas terpikat hatinya pada salah satu benda seniku. “Tuan Presiden,” katanya tiba‐tiba. “Saya akan menyampaikan apa yang hendak saya kerjakan untuk Tuan. Saya akan menyerahkan sebuah Cadillac sebagai ganti ini.” Kukatakan kepadanya “Yah, tak soal kata‐kata apa yang telah kuucapkan kepadanya. Tapi pokoknya adalah “Tidak”. Tidak satupun dari benda‐benda indah yang telah kukumpulkan dapat ditukar dengan Cadillac. Kalau aku senang kepadamu, engkau akan kuberi sebuah lukisan atau barang tenunan sebagai hadiah. Akan tetapi untuk menjualnja, tidak, sekali‐kali tidak. Semua itu akan kuwariskan kepada rakyat Indonesia, bilamana aku pergi. Biarlah rakyatku memasukkannya ke dalam Museum Nasional. Kemudian, apabila mereka lelah atau pikirannya kacau, biarlah mereka duduk dihadapan sebuah lukisan dan meneguk keindahan dan ketenangannya, sehingga mengisi seluruh kalbu mereka dengan kedamaian seperti ia juga terjadi terhadap diriku. Ya, aku akan mewariskan hasil‐hasil seni ini kepada rakyatku. Untuk dijual? Jangan kira! Seorang orang asing yang mengerti kepadaku adalah Duta besar Amerika di Indonesia, Howard Jones. Ia sudah lama ditempatkan di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua dari Korps Diplomatik. Kami sering terlibat dalam perdebatan‐perdebatan sengit dan pahit, akan tetapi aku semakin memandangnya sebagai seorang kawan yang tercinta. Uraian Howard tentang diri pribadiku adalah: “Suatu perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt dan Clark Gable.” Apakah orang heran, apabila aku menyebutnya sebagai seorang kawan yang tercinta? Di suatu hari Minggu beberapa tahun yang silam, ia dengan isterinya Marylou makan bersama‐sama denganku dan isteriku Hartini di pavilyun kecil karni di Bogor. Bogor adalah tempat di daerah pegunungan yang sejuk di luar kota Jakarta. Berlainan dengan dugaan orang
bahwa aku mempunyai kran‐kran dari emas murni seperti sepantasnya bagi Yang Dipertuan di daerah Timur, maka aku tidak tinggal di Istana Negara yang besar itu. Di pekarangannya kami mempunyai sebuah bungalow kecil yang besarnya kira‐kira sama dengan yang dipunyai oleh seorang pejabat biasa. Bungalow ini terdiri dari beberapa kamar‐tidur, suatu ruang makan kecil dan ruang duduk yang sangat kecil. Ia tidak mewah. Sederhana sekali. Akan tetapi menyenangkan dan itulah rumahku. Selagi makan Howard berkata, “Tuan Presiden, saya kira sudah waktunya bagi Tuan untuk melihat kembali jalan‐jalan dalam sejarah. Menurut pendapat saya sudah tepat waktunya bagi Tuan untuk menuliskan sejarah hidup Tuan. “Seperti biasa, apabila seseorang menyebut‐nyebut tentang otobiografi, aku menjawab, “Tidak”. Insya Allah, jika Tuhan mengizinkan, saatnya masih 10 atau 20 tahun lagi. Bagaimana saya bisa mengetahui apa yang akan terjadi terhadap diriku? Siapa yang dapat menceriterakan, bagaimana jalannya kehidupan saya? Itulah sebabnya mengapa saya selalu menolak hal ini, karena saya yakin bahwa buruk baiknya kehidupan seseorang hanya dapat dipertimbangkan setelah ia mati.” “Terkecuali Presiden Republik Indonesia,” jawabnya. “Disamping telah menjadi Kepala Negara selama 20 tahun, ia telah dipilih sebagai Presiden seumur hidup. Ia adalah orang yang paling banyak diperdebatkan dan dikritik di jaman kita ini. Ia “mempunyai banyak rahasia,” kataku dengan senyum yang disembunyikan. “Akan tetapi dialah satu‐satunya orang yang dapat memberanikan diri untuk mengguratkannya dan disamping itu menjawab serangan‐serangan dari para pengeritiknya dan kawan‐kawannya. “Pertemuan ini merupakan pertemuan kekeluargaan yang tidak formil. Aku pakai baju sport dan tidak bersepatu. Hartini membuat nasi goreng, karena dia tahu bahwa keluarga Jones sangat doyan pada nasi goreng ayam dan Presiden makan puluk — artinya makan dengan tangan—dan kami duduk disekitar meja bersama‐sama menikmati saat‐saat istirahat yang menyenangkan, yang hanya dapat dilakukan diantara kawan‐kawan lama. “Untuk membuat otobiografi yang sesungguhnya si penulis hendaknya dalam keadaan yang susah seperti Rousseau ketika dia menulis pengakuan‐pengakuannya dan pengakuan yang demikian ternyata sukar bagi saya. Banyak tokoh yang masih hidup akan menderita, apabila saya menceriterakan semuanya. Dan banyak pemerintahan‐pemerintahan, dengan mana saya sekarang mempunyai hubungan yang baik, akan mendapat serangan sejadi‐jadinya apabila saya menyatakan beberapa hal yang ingin saya ceriterakan.” “Walaupun bagaimana, Tuan Presiden, orang‐orang asing merubah pendirian mereka setelah bertemu dengan Tuan dan jatuh kedalam kekuatan pribadi Bung Karno yang terkenal dan menarik seperti besi berani. Kalau Tuan terus maju dengan daya penarik pribadi Tuan itu, maka saya yakin kritikus yang paling tajampun kemudian akan berkata, “Hee, dia sesungguhnya tidak bernapaskan asap dan api seperti naga. Dia sangat menyenangkan.” “Itulah sebabnya saya pada dasarnya ingin berkawan, “kuterangkan kepadanya. “Saya menyukai orang Timur, saya menyukai orang Barat bahkan Tengku Abdul Rahman sendiri dan orang Inggris. Pun juga orang‐orang yang membenci saya. Setiap saat apabila mereka ingin bersahabat, saya lebih ingin lagi dari itu. Suatu kali saya mengetahui bahwa De Gaulle tidak senang kepada saya. Sekalipun demikian saya bertemu dengan dia di Wina. Setelah itu sikapnya berubah. “Itulah maksud saya,” Jones melanjutkan. “Tuan tidak bisa mendatangi sendiri seluruh rakyat di dunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada mereka dengan melalui halaman‐halaman buku. Tuan menawan hati sejuta pendengar di lapangan terbuka. Mengapa Tuan tidak menghendaki jumlah pendengar yang lebih besar lagi. “Percakapan ini berlangsung terus sampai makan perabung, berupa pisang rebus kesukaanku. “Begini,” kataku. “Suatu otobiografi tidak ada harganya, kecuali jika si penulis merasa kehidupannya tidak berguna apa‐apa. Kalau dia menganggap dirinya seorang besar, karyanya akan menjadi subjektif. Tidak objektif. Otobiografiku hanya mungkin jika ada perimbangan dari kedua‐duanya. Sekian banyak yang baik‐baik supaya dapat menenangkan egoku dan sekian banyak yang jelek‐jelek sehingga orang mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan hanya yang baik‐baik saja orang akan menyebutmu egois, karena memuji diri sendiri. Memasukkan hanya yang jelek‐jelek saja akan menimbulkan suasana mental yang buruk bagi rakyatku sendiri. Hanya setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan judjur, ‘Apakah; Sukarno manusia yang baik ataukah manusia yang buruk? ‘ Hanya di saat itulah dia baru dapat diadili. “Bertahun‐tahun lamanya orang mendesakku untuk menuliskan kenang‐kenanganku. Press Officerku, Nyonya Rochmulyati Hamzah, selalu menjadi perantara. Satu kali aku betul‐betul membentak‐bentak
Roch yang manis itu. Di tahun 1960, ketika Krushchov sedang berkunjung kemari, ada seratus orang wartawan asing berkerumun dibawah tangga. Disatu saat dia berkata, “Ma’af, Pak, Bapak jangan marah, karena kami sendiripun tidak mengetahui sejarah hidup Bapak. Dan Bapak sedikit sekali memberikan wawancara. Oleh karena itu dapatkah Bapak menenteramkan hati saya barang sedikit dan menerima seorang wartawan CBS yang ramah sekali dan ingin menulis riwayat hidup Bapak?” Aku berpaling kepadanya dan menyembur. “Berapa kali aku harus mengatakan kepadamu, T‐I‐D‐A‐K !! Pertama, aku tidak mengenalnya, akan tetapi kalau aku pada satu saat menulis riwayat hidupku, aku akan kerjakan dengan seorang perempuan. Sekarang jauh‐jauhlah dari penglihatanku. Engkau seperti pesurah wartawan asing.” Roch berlari keluar dan pulang kerumahnya. Kemudian aku merasa menyesal. Ajudanku menelpon Roch dan. memberitahukan, bahwa aku hendak bertemu dengan dia. Lalu kukirimi kendaraan untuk menjemputnya. Dia datang dan mengira bahwa akan menerima semprotan lagi, akan tetapi sebaliknya, Presidennja hendak minta ma’af kepadanya. “Ma’afkanlah aku, Roch,” kataku. “Kadang‐kadang aku berteriak dan menyebut nama‐nama buruk, akan tetapi sebenarnya akulah itu. Jangan masukkan kata‐kata itu dalam hatimu. Kalau aku meradang, itu berarti aku mencintaimu. Aku menyemprot kepada orang‐orang yang terdekat dan paling kusayangi. Hanya mereka yang menjadi papan suaraku.” Kemudian kucium dia dipipinya, cara yang biasa kulakukan sebagai salam pertemuan dan perpisahan dengan anak‐anak perempuan sekretarisku—dan dia pergi dengan hati yang senang sekali. Itu sebabnya, mengapa persoalan‐persoalan Asia harus diselesaikan dengan cara Asia. Caraku bukanlah sesungguhnya gaya Barat, kukira. Aku tak dapat membayangkan seorang Perdana Menteri Inggris memeluk sekretaris wanitanya sebagai ucapan selamat pagi atau ucapan ma’af, setelah mana perempuan itu lari keluar dan membiarkan dia sendiri. Aku tidak menduga, tidak lama setelah kejadian ini aku bertemu dengan Cindy Adams. Cindy, seorang wartawan wanita, berada di Jakarta di tahun 1961 dengan suaminya pelawak Joey Adams, yang memimpin Missi Kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara. Wanita Amerika yang riang dan rapi ini, dengan pembawaannya yang suka berkelakar, menyebabkan aku seperti kena pukau. Wawancara dengan Cindy menyenangkan sekali dan tidak menyakitkan hati. Tulisannya jujur dan dapat dipercaya sepen~nja. Bahkan dia nampaknya dapat merasakan sedikit tentang Indonesia dan persoalan persoalannya dan, yah, dia adalah seorang penulis yang paling menarik yang pernah kujumpai! Kami orang jawa bekerja dengan instink. Setahun lamanya aku mencari‐cari seorang wanita yang akan menjabat sebagai press officer, akan tetapi ketika aku melihat Roch aku segera mengetahui, bahwa dialah yang kucari. Kupekerjakan dia segera. Begitupun halnya dengan Cindy. Pada kesempatan lain, ketika Howard Jones memulai lagi pokok pembicaraan tentang sejarah hidupku, aku memberikan ‘surprise’ kepadanya. Aku meringis. “Dengan satu syarat. Bahwa aku mengerjakannya dengan Cindy Adams. “Dan apakah akhirnya yang menyebabkan aku mengambil keputusan untuk mengerjakan sejarah hidupku? Yah, mungkin juga benar, sudah mendekat waktu aku harus rnenyadari, bahwa aku sudah tua. Sekarang, mataku yang sudah tua dan malang itu berair. Aku harus memandang gambaran ini dengan alasan. Disatu pagi yang lain seorang kemenakan datang menemuiku. Aku biasa memangkunya ketika dia masih kecil. Sekarang beratnya 70 kilo. Aku menyadari dengan tiba‐tiba, bahwa aku tidak dapat memangkunya lagi diatas lututku. Mungkin dia akan mematahkan kakiku yang tua dan lelah itu. Memang wanita cantik dapat membikin hatiku menjadi muda lagi, akan tetapi bila aku menginsyafi bahwa anak itu sekarang menjadi ibu dari beberapa orang anak, tahulah aku bahwa aku sudah berangsur tua juga. Dan begitulah, waktunya sudah datang. Kalau aku hendak menuliskan kisahku, aku harus mengguratkannya sekarang. Mungkin aku tidak mempunyai kesempatan nanti. Aku tahu, bahwa orang ingin mengetabui, apakah Sukarno seorang kolaborator Jepang semasa Perang Dunia Kedua. Kukira hanya Sukarno yang dapat menerangkan periode kehidupannya itu dan karena itu ia bersedia menerangkannya. Bertahuntahun lamanya orang bertanya‐tanya, apakah Sukarno seorang Diktator, apakah dia seorang Komunis; mengapa dia tidak membenarkan kemerdekaan pers; berapa banyak isterinya; mengapa dia membangun departemen store‐departemen store yang baru, sedangkan rakyatnya dalam keadaan compang‐amping ……… Hanya Sukarno sendiri yang dapat menjawabnya. Ini adalah pekerjaan yang sukar bagiku. Suatu otobiografi adalah ibarat pembedahan mental bagiku. Sungguh berat. Menyobek plester pembalut luka luka dari ingatan seseorang dan membuka luka‐luka itu, memang sakit, sekalipun banyak diantaranya yang sudah mulai sembuh. Tambahan lagi, aku akan melakukannya dalam bahasa Inggris, bahasa asing bagiku. Terkadang aku membuat kesalahan dalam tata bahasa dan seringkali aku terhenti karena merasa agak kaku. Akan tetapi, mungkin juga aku wajib menceritakan kisah ini kepada tanah airku, kepada bangsaku, kepada anak‐anakku dan kepada diriku sendiri. Karenanya kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata‐kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk hati. Buku ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapanku hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia yang tercinta.



BAB II Putera Sang Fajar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan


BAB.3 MOJOKERTO: KESEDIHAN DIMASA MUDA



BAB III Mojokerto: Kesedihan Di Masa Muda
MASA kanak‐kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield. Aku dilahirkan di tengah‐tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak mempunyai sepatu. Aku mandi tidak dalam air yang keluar dari kran. Aku tidak mengenal sendok dan garpu. Ketiadaan yang keterlaluan demikian ini dapat menyebabkan hati kecil di dalam menjadi sedih. Dengan kakakku perempuan Sukarmini, yang dua tahun lebih tua daripadaku, kami merupakan suatu keluarga yang terdiri dari empat orang. Gaji bapak $25 sebulan. Dikurangi sewa rumah kami di Jalan Pahlawan 88, neraca menjadi $ 15 dan dengan perbandingan kurs pemerintah $ 3,60 untuk satu dolar dapatlah dikira‐kira betapa rendahnya tingkat penghidupan keluarga kami. Ketika aku berumur enam tahun kami pindah ke Mojokerto. Kami tinggal di daerah yang melarat dan keadaan tetangga‐tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka selalu mempunyai sisa uang sedikit untuk membeli pepaya atau jajan lainnya. Tapi aku tidak. Tidak pernah. Lebaran adalah hari besar bagi umat Islam, hari penutup dari bulan puasa, pada bulan mana para penganutnya menahan diri dari makan dan minum ataupun tidak melewatkan sesuatu melalui mulut mulai dari terbitnya matahari sampai ia terbenam lagi. Kegembiraan di hari Lebaran sama dengan hari Natal. Hari untuk berpesta dan berfitrah. Akan tetapi kami tak pernah berpesta maupun mengeluarkan fitrah. Karena kami tidak punya uang untuk itu. Di malam sebelum Lebaran sudah menjadi kebiasaan bagi kanak‐kanak untuk main petasan. Semua anak‐anak melakukannya dan di waktu itupun mereka melakukannya. Semua, kecuali aku. Di hari Lebaran lebih setengah abad yang lalu aku berbaring seorang diri dalam kamar‐ idurku yang kecil yang hanya cukup untuk satu tempat tidur. Dengan hati yang gundah aku mengintip keluar arah ke langit melalui tiga buah lubang udara yang kecil‐kecil pada dinding bambu. Lubang udara itu besarnya kira‐kira sebesar batu bata. Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan pecah. Di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan disela oleh sorak‐sorai kawan‐kawanku karena kegirangan. Betapa hancur luluh rasa hatiku yang kecil itu memikirkan, mengapa semua kawan‐kawanku dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu — dan aku tidak!. Alangkah dahsyatnya perasaan itu. Mau mati aku rasanya. Satu‐satunya jalan bagi seorang anak untuk mempertahankan diri ialah dengan melepaskan sedu‐sedan yang tak terkendalikan dan meratap diatas tempat tidurnya. Aku teringat ketika aku menangis kepada ibu dan mengumpat, “Dari tahun ke tahun aku selalu berharap‐harap, tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mercon.” Aku sungguh menyesali diriku sendiri. Kemudian di malam harinya datang seorang tamu menemui bapak. Dia memegang bungkusan kecil ditangannya. “Ini,” katanya sambil mengulurkan bingkisan itu kepadaku. Aku sangat gemetar karena terharu mendapat hadiah itu, sehingga hampir tidak sanggup membukanya. Isinya petasan. Tak ada harta, lukisan ataupun istana di dunia ini yang dapat memberikan kegembiraan kepadaku seperti pemberian itu. Dan kejadian ini tak dapat kulupakan untuk selama‐lamanya. Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari. Yang terbanyak kami makan ialah ubi kayu, jagung tumbuk dengan makanan lain. Bahkan ibu tidak mampu membeli beras murah yang biasa dibeli oleh para petani. Ia hanya bisa membeli padi. Setiap pagi ibu mengambil lesung dan menumbuk, menumbuk, tak henti‐hentinya menumbuk butiran‐butiran berkulit itu sampai menjadi beras seperti yang dijual orang di pasar. “Dengan melakukan ini aku menghemat uang satu sen,” katanya kepadaku pada suatu hari ketika sedang bekerja dalam teriknya panas matahari sampai telapak tangannya merah dan melepuh. “Dan dengan uang satu sen kita dapat membeli sayuran, nak.” Semenjak hari itu dan seterusnya selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku menumbuk padi untuk ibuku. Kemelaratan seperti yang kami derita menyebabkan orang menjadi akrab. Apabila tidak ada barang mainan atau untuk dimakan, apabila nampaknya aku tidak punya apa‐apa di dunia ini selain daripada ibu, aku melekat kepadanya karena ia adalah satu‐satunya sumber pelepas kepuasan hatiku. Ia adalah ganti gula‐gula yang tak dapat kumiliki dan ia adalah semua milikku yang ada di dunia ini. Yah, ibu mempunyai hati yang begitu besar dan mulia. Dalam pada itu bapakku seorang guru yang keras. Sekalipun sudah berjam‐jam, ia masih tega menyuruhku belajar membaca dan menulis. “Hayo, Karno, hafal ini luar kepala. Ha Na—Ca—Ra— Ka Hayo, Karno, hafal ini; A‐B‐C‐D‐E” dan terusmenerus sampai kepalaku yang malang ini merasa sakit. Lagi‐lagi kemudian, “Hayo Karno, ulangi abjad Hayo, Karno, baca ini Karno, tulis itu” Tapi ayahku mempunyai keyakinan, bahwa anaknya yang lahir di saat fajar menyingsing itu kelak akan menjadi orang. Kalau aku berbuat nakal —ini jarang terjadi— dia menghukumku dengan kasar. Seperti di pagi itu aku memanjat pohon jambu di pekarangan rumah kami dan aku menjatuhkan sarang burung. Ayah menjadi pucat karena marah. “Kalau tidak salah aku sudah mengatakan padamu supaya menyayangi binatang,” ia menghardik. Aku bergoncang ketakutan. “Ya, Pak.” “Engkau dapat menerangkan arti kata‐kata: ‘Tat Twan Asi, Tat Twam Asi’ ?”, “Artinya ‘Dia adalah Aku dan Aku adalah dia; engkau adalah Aku dan Aku adalah engkau.’ “Dan apakah tidak kuajarkan kepadamu bahwa ini mempunyai arti yang penting?” Ya, Pak. Maksudnya, Tuhan berada dalam kita semua,” kataku dengan patuh. Dia memandang marah kepada pesakitannya yang masih berumur tujuh tahun. “Bukankah engkau sudah ditunjuki untuk melindungi makhluk Tuhan?”, “Ya, Pak.”,”Engkau dapat mengatakan apa burung dan telor itu ?”,”Ciptaan Tuhan,” jawabku dengan gemetar, “tapi dia jatuh karena tidak disengaja. Tidak saja sengaja. “Sekalipun dengan permintaan ma’af demikian, bapak memukul pantatku dengan rotan. Aku seorang yang baik laku, akan tetapi bapak menghendaki disiplin yang keras dan cepat marah kalau aturannya tidak dituruti. Aku segera mencari permainan yang tidak usah mengeluarkan uang untuk memperolehnya. Dekat rumah kami tumbuh sebatang pohon dengan daunnya yang lebar. Daun itu ujungnya kecil, lalu mengernbang lebar di pangkalnya dan tangkainya panjang seperti dayung. Adalah suatu hari yang gembira bagi anak‐anak, kalau setangkai daun gugur, karena ini berarti bahwa kami mempunyai permainan. Seorang lalu duduk di bagian daun yang lebar, sedang yang lain menariknya pada tangkai yang panjang itu dan permainan ini tak ubahnya seperti eretan. Kadangkadang aku menjadi kudanya, tapi biasanya menjadi kusir. Watakku mulai berbentuk sekalipun sebagai kanak‐kanak. Aku menjadikan sungai sebagai kawanku, karena ia menjadi tempat dimana anak‐anak yang tidak punya dapat bermain dengan cuma‐cuma. Dan iapun menjadi sumber makanan. Aku senantiasa berusaha keras untuk menggembirakan hati ibu dengan beberapa ekor ikan kecil untuk dimasak. Alasan yang tidak mementingkan diri sendiri demikian itu pada suatu kali menyebabkan aku kena ganjaran cambuk. Hari sudah mulai senja. Ketika bapakku melihat bahwa hari mulai gelap dan bocah Sukarno tidak ada dirumah, dia menuntut ibu dengan keras: “Kenapa dia bersenang‐senang tak keruan begitu lama? Apa dia tidak punya pikiran terhadap ibunya? Apa dia tidak tahu bahwa ibunya akan susah kalau terjadi kecelakaan?”,”Negeri begini kecil, Pak, tidak mungkin kita tidak mengetahui kalau terjadi ketjelakaan,” ibu menerangkan. Sekalipun demikian, bapak yang agak keras kepala marah dan ketika aku sejam kemudian melonjak‐lonjak gembira pulang dengan membawa ikan kakap untuk ibu, bapak menangkapku, merampas ikan dan semua yang ada padaku, lalu aku dirotan sejadi‐jadinya. Tetapi ibu selalu mengimbangi tindakan disiplin itu dengan kebaikan hatinya. Oh, aku sangat mencintai ibu. Aku berlari berlindung ke pangkuan ibu dan dia membujukku. Sekalipun rumput‐rumput kemelaratan mencekik kami, namun bunga‐bunga cinta tetap mengelilingiku selalu. Aku segera menyadari bahwa kasih sayang menghapus segala yang buruk. Keinginan akan cinta kasih telah menjadi suatu kekuatan pendorong dalam hidupku. Disamping ibu ada Sarinah, gadis pembantu kami yang membesarkanku. Bagi kami pembantu rumah tangga bukanlah pelayan menurut pengertian orang barat. Di kepulauan kami, kami hidup berdasarkan azas gotong royong. Kerjasama. Tolong menolong, Gotong royong sudah mendarah daging dalam jiwa kami bangsa lndonesia. Dalam masyarakat yang asli kami tidak mengenal kerja dengan upah. Manakala harus dilakukan pekerjaan yang berat, setiap orang turut membantu engkau perlu mendirikan rumah? Baik, akan kubawakan batu tembok; kawanku membawa semen. Kami berdua membantumu mendirikannya. ltulah gotong royong. Setiap orang turun tangan. Ada tamu di rumahmu akhir‐akhir ini? Baik, jangan kuatir, akan kuantarkan kue ke rumahmu secara diam‐diam melalui jalan belakang. Atau beras. Atau nasi goreng. ltulah gotong royong. Bantu‐membantu. Sarinah adalah bagian dari rumah tangga kami. Tidak kawin. Bagi kami dia seorang anggota keluarga kami. Dia tidur dengan kami, tinggal dengan kami, memakan apa yang kami makan, akan tetapi ia tidak mendapat gaji sepeserpun. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta‐kasih. Aku tidak menyinggung pengertian jasmaniahnya bila aku menyebut itu. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Selagi ia memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku duduk disampingnya dan kemudian ia berpidato, “Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai pula rakjat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.” Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi Sarinah yang ini bukanlah wanita yang biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku. Di masa mudaku aku tidur dengan dia. Maksudku bukan sebagai suami‐isteri. Kami berdua tidur di tempat tidur yang kecil. Ketika aku sudah mulai besar, Sarinah sudah tidak ada lagi. Aku mengisi kekosongan ini dengan tidur bersama‐sama kakakku Sukarmini di tempat tidur itu juga. Kemudian aku tidur dengan Kiar, suatu campuran dari fox terrier dengan anjing jenis Indenesia. Aku tidak tahu pasti, akan tetapi dia bukan jenis yang murni. Orang lslam agaknya tidak menyukai anjing, akan tetapi aku mengaguminya. Dengan caranya sendiri bapakku mencurahkan kasih sayangnya kepadaku. Ketika aku berumur sebelas tahun aku diserang penjakit tipus. Dua setengah bulan lamanya aku berada diambang pintu kematian. Aku hanya bersandar pada kekuatan bapak yang mendorongku untuk hidup. Selama dua setengah bulan penuh bapak tidur di bawah tempat tidur bambuku. Ia berbaring di atas lantai semen yang lembab, dialas dengan tikar pandan yang tipis dan lusuh, tepat di bawah bilah‐bilah tempat tidurku. Sepanjang hari dan sepanjang malam selama dua setengah bulan bapak berbaring di bawahku. Bukan karena ia tidak dapat memperoleh tempat barang setumpak untuk menyelip dalam kamarku yang sempit itu. Tidak. Ini dilakukannya karena kepercayaan mistik bapak. Ia hendak mendoa terus, memohon siang malam agar aku diselamatkan dan memohon agar aku mendapat kekuatan‐kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Akan tetapi supaya kekuatan mistiknya dapat memberikan manfa’at secara penuh, yang dicurahkannya langsung dari badannya ke seluruh tubuhku, maka ia harus berbaring di bawahku. Tempat ayah berbaring itu hanya beberapa kaki, gelap, lembab dengan udaranya yang tidak enak dan menyesakkan, siang dan malam sama saja dan disanalah ia selama itu menelentang hingga aku sehat sama sekali. Sewa rumah kami sangat murah, karena letaknya kerendahan, dekat sebuah kali. Kalau musim hujan kali itu meluap, membanjiri rumah dan menggenangi pekarangan kami. Dan dari bulan Desember sampai April kami selalu basah. Air menggenang yang mengandung sampah dan lumpur inilah yang menjangkitkan penyakit tipesku. Setelah aku sehat kembali kami pindah ke jalan Residen Pamudji. Rumah ini tidak lebih baik keadaannya, akan tetapi setidak‐tidaknya ia kering. Kamar‐kamarnya melalui ruangan gelap yang panjang. Yang paling kecil adalah kamarku, yang mempunyai jendela atap sebagai ganti lobang udara. Untuk memperoleh uang tambahan beberapa sen kami menerima orang bayar makan; tiga orang guru bantu dari sekolah bapak dan dua orang kemenakan seumurku. Nama kelahiranku adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak yang penyakitan. Aku mendapat malaria, disenteri, semua penyakit dan setiap penyakit. Bapak menerangkan, “Namanya tidak cocok. Kita harus memberinya nama lain supaya tidak sakit‐sakit lagi. “Bapak adalah seorang yang sangat gandrung pada Mahabharata, cerita klasik orang Hindu jaman dahulu kala. Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan kepadaku, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata.”, “Kalau begitu tentu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar,” aku berteriak kegirangan.,”Oh, ya, nak,” jawab bapak setuju. ,”Juga setia pada kawan‐kawannya dan keyakinannya, dengan tidak mempedulikan akibatnya. Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.” Bukankah Karna berarti juga ‘telinga?” aku bertanya agak kebingungan,”Ya, pahlawan perang ini diberi nama itu disebabkan kelahirannya. Dahulu kala, sebagaimana dikisahkan oleh Mahabharata, ada seorang puteri yang cantik. Pada suatu hari, selagi bermain‐main dalam taman, puteri Kunti terlihat oleh Surya, Dewa Matahari. Batara Surya hendak bercinta‐cintaan dengan puteri itu, oleh sebab itu dia memeluk dan membujuknya dengan keberanian dan cahaya panasnya. Dengan kekuatan sinar cintanya, puteri itupun mengandung sekalipun masih perawan. Sudah tentu perbuatan Dewa Matahari terhadap perawan yang masih suci itu diluar perikemanusiaan dan menimbulkan persoalan besar baginya. Bagaimana caranya mengeluarkan bayi tanpa merusak tanda keperawanan puteri itu. Dia tidak berani memetik gadis itu dengan memberikan kelahiran secara biasa. Apa akal ……… Apa akal Ah, persoalan yang sangat besar bagi Batara Surya. Akhirnya dapat dipecahkannya, dengan melahirkan bayi itu melalui telinga sang puteri. Jadi, karena itulah pahlawan Mahabharata itu dinamai Karna atau ‘telinga’.” Sambil memegang bahuku dengan kuat bapak memandang jauh kedalam mataku. “Aku selalu berdo’a,” dia menyatakan, “agar engkaupun menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua.” Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa huruf “A” mendjadi “O”. Awalan “Su” pada kebanyakan nama kami berarti baik, paling baik. Jadi Sukarno berarti pahlawan yang paling baik. Karena itulah maka Sukarno menjadi namaku yang sebenarnya dan satu‐satunya. Sekali ada seorang wartawan goblok yang menulis, bahwa nama awalku adalah Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Sukarno saja. Memang dalam masyarakat kami tidak luar biasa untuk memakai satu nama saja. Waktu di sekolah tanda tanganku dieja Soekarno — menurut ejaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka aku memerintahkan supaya segala ejaan “OE” kembali ke “U”. Edjaan dari perkataan Soekarno sekarang menjadi Sukarno. Akan tetapi, tidak mudah untuk merubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun jadi kalau aku sendiri menulis tanda tanganku, aku masih menulis S‐O‐E. Memang aku penyakitan di waktu kecil. Dan sekalipun umpamanya tidak ada penyakit yang diderita oleh bayi Kusno‐Karno, beban untuk memberi makan dua orang anak masih terlalu berat bagi bapak. Seringkali kami harus bergantung kepada kebaikan dan keramahan dari tetangga kami. Keluarga Munandar menempati rumah yang serangkai dengan kami. Menurut cara Jawa yang sebenarnya, kalau kami tidak punya beras, kami makan punya mereka. Kalau kami tidak ada pakaian, kami pakai mereka punya. Sewaktu aku berumur sekitar empat, lima tahun nenekku dari pihak bapak hendak membawaku ke tempatnya. “Berikanlah anak itu kepadaku untuk sementara,” katanya. “Aku akan menjaganya.” Dan begitulah aku tinggal di Tulungagung yang letaknya tidak jauh dari Mojokerto. Nenekku tidak kaya. Siapa diantara kami yang kaya di waktu itu? Tapi memang ada juga yang sedikit berada. Nenek berdagang batik, jadi setidaktidaknya dia sanggup memberiku makan. Kakek dan nenek kedua‐duanya mengatakan bahwa aku mempunyai kekuatan‐kekuatan gaib. Bilamana ada orang sakit di kampung itu atau mendapat luka yang terasa sakit, nenek selalu memanggilku dan dengan lidah aku menjilat bagian dimana terasa sakit. Anehnya, si sakit menjadi sembuh. Nenekpun menduga bahwa aku dapat melihat apa‐apa yang gaib, akan tetapi lintasan‐lintasan penglihatan qalb (hati) itu menghilang ketika aku mulai menemukan kekuatan pidatoku terhadap rakyat. Nampaknya, apa yang disebut kekuatan ini kemudian tersalur ke arah lain, Pendeknya, sesudah berumur 17 tahun aku tak pernah lagi memperoleh penglihatan secara ilmu kebatinan. Watakku tidak berubah sedikitpun selama hampir enam dasawarsa. Dalam umur tujuh tahun aku sudah menjadi seorang pemuja seni. Aku memuja Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle, Beverly Bayne dan Francis X. Bushman. Setiap bungkus rokok Westminster keluaran Inggris berisi gambar dari seorang bintang sebagai hadiah. Aku mengumpulkan bungkus‐bungkus rokok yang sudah terbuang dan menempelkan pahlawan‐pahlawan yang kupuja itu di dinding. Aku menjaga
kumpulan ini dengan nyawaku. Ini adalah harta milikku sendiri yang pertama. Pada waktu berumur 10 tahun jagoan Karno sudah ternyata mempunyai kemauan yang keras. Dengan kekuatan pribadiku aku menjadi tokoh yang berkuasa setiap kali berkumpul. Bahkan keluargaku sendiri berkumpul mengelilingiku dan aku menjadi pusat perhatian. Pada hari ulang tahunku yang ke‐duabelas,
aku sudah mempunyai pasukan. Dan aku memimpin pasukan ini. Kalau Karno bermain jangirik dalam
debu di lapangan Mojokerto, yang lain‐lain pun turut main. Kalau Karno mengumpulkan perangko,
mereka juga mengumpulkan. Mereka menamakanku seorang “jago” Aku mempunyai sebuah sumpitan
yang kuperoleh dari seorang kawan. Kami menempatkan bambu yang panjang dan berlobang kecil ini ke
mulut dan menembakkan kacang ke arah sasaran. Tentunya si Karno menjadi jago penyumpit. Kalau kami memanjat pohon, aku memanjat lebih tinggi dari yang lain. Dan akupun jatuh paling keras pula daripada
anak‐anak lain. Akupun lebih sering melukai kepalaku dari yang lain.
Tapi setidak‐tidaknya tak ada orang yang dapat mengatakan, bahwa aku tidak mencobanya. Nasibku
adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan, sekalipun pada waktu kecilku. Dalam permainan
adu gasing ada sebuah gasing kepunyaan kawan yang berputar lebih cepat daripada kepunyaanku.
Kupecahkan situasi itu dengan berpikir cepat ala Sukarno kulemparkan gasing itu ke dalam kali.
Bagaimanapun juga, ada permainan dimana seorang anak bangsa Indonesia dari jamanku tidak dapat
menunjukkan keahliannya. Misalnya, Perkumpulan Sepakbola. Aku bukan hanya tidak bisa menjadi
ketuanya, bahkan aku tidak dapat lama menjadi anggotanya. Anggota yang lain adalah anak‐anak
Belanda yang terus terang tidak senang padaku. Anak Belanda tidak pernah bermain dengan anak
Bumiputera. Ini tidak bisa. Mereka orang Barat yang putih seperti salju, yang asli, yang baik dan mereka
memandang rendah kepadaku karena aku anak Bumiputera atau “inlander”. Bagiku Perkumpulan
Sepakbola itu merupakan pengalaman pahit yang membikin hati luka didalam. Anak‐anak yang berambut
jagung menjaga kedua sisi dari pintu masuk sambil berteriak, “Hei… kauuuu Bruine Hei, anak kulit coklat
goblok yang malang … Bumiputera ….. inlander ….. anak kampung Hei, kamu lupa memakai sepatu….”
Sedangkan bayi‐bayi pirang sudah tahu meludah kepada kami. Begitu mereka keluar dari kain bedung
orok, inilah pengajaran pertama yang diajarkan orangtuanya kepada mereka. Di pagi hari aku bergembira,
karena aku bersekolah di sekolah Bumiputera, dirnana kami semua sama.
Kami semua tigapuluh orang murid di Inlandsche School kelas dua. Bapakku menjadi Mantri Guru yang
berarti kepala sekolah. Orang Bumiputera dilarang memakai pangkat Kepala Sekolah. Di waktu itu belum
ada bahasa Indonesia persatuan. Sampai kelas tiga setiap murid berbicara dalam bahasa Jawa sebagai
bahasa daerah. Dari kelas tiga sampai kelas lima guru memakai bahasa Melayu, bahasa Melayu asli yang
telah tersebar ke seluruh bagian dari Hindia Belanda dan akhirnya menjadi dasar bagi bahasa nasional
kami, bahasa Indonesia. Dua kali seminggu kami diajar bahasa Belanda. Ketika aku naik ke kelas lima,
bapak menerangkan maksudnya. “Cita‐citaku hendak mengirim kau ke sekolah tinggi Belanda, ” katanya.
“Karena itu, usaha kita yang pertama ialah memasukkan engkau ke sekolah rendah Belanda. “Karena
teringat kembali akan pengalamanku di Perkumpulan Sepakbola aku bertanya, “Apakah saya tidak dapat
meneruskan sekolah Bumiputera?”,”Pendidikan Bumiputera hanya sampai kelas lima.
Tidak ada lanjutannya buat kita. Kita tidak boleh masuk Sekolah Menengah Belanda kalau tidak keluaran
Sekolah Rendah Belanda dan tanpa ijazah ini orang tidak bisa masuk Sekolah Tinggi Belanda.”,”Apakah
saya bisa masuk kesana berdasarkan kepandaian?” aku bertanya dengan perasaan kuatir. “Kau masuk
dengan hak istimewa. Pegawai Gubernemen dan orang kelahiran bangsawan diberi kesempatan untuk
menikmati pendidikan Belanda. Yang lain tidak. “Mengingat keadaan kami aku bertanya, “Apakah cumacuma?”,”
Mana bisa. Kita mesti membayar uang sekolah.”,”Belanda juga?”,”Tidak, mereka bebas. Akan
tetapi dalam penjajahan tak seorangpun dapat mencapai suatu kedudukan tanpa pendidikan Belanda.
Kita harus maju. Aku akan menemui Kepala Sekolah Rendah Belanda untuk mengajukan permohonan.”
Gedung itu bagus terbuat dari kayu, bukan bambu seperti sekolah kami dan dinding luarnya berwarna biru
muda. Di situ terdapat tujuh kelas. Berlainan dengan meja kami di Sekolah Bumiputera, maka bangkubangku
disini mempunyai tempat tinta dan laci untuk buku.
Setelah aku menempuh ujian, Kepala Sekolah memberitahukan kepada bapak, “Anak tuan sangat pintar,
akan tetapi bahasa Belandanya belum cukup baik untuk kelas enam Europeesche Lagere School. Kami
terpaksa mendudukkannya satu kelas lebih rendah. “Ketika kami pergi kami merasa sangat tertekan.
Bapak mengeluh. “Ini suatu pukulan yang hebat bagi kita. Tapi walaupun bagaimana, tidak ada jalan lain
lagi.” “Umur saya sudah empatbelas,” aku memprotes. “Terlalu tua untuk kelas lima. Tentu orang mengira
saya tinggal kelas karena bodoh. Saya tentu diberi malu.” “Baiklah,” bapak memutuskan disaat itu juga,
“Kalau perlu kita membohong. Akan kita kurangi umurmu satu tahun. Kalau sudah mulai tahun pelajaran baru engkau didaftarkan dengan umur tiga belas. “Masih ada satu persoalan mengenai bahasa Belandaku.
Sekalipun kami orang yang tidak mampu, bapak mengambil seorang guru yang mengajar bahasa Belanda
di Europeesche Lagere School ini untuk memberikan pelajaran khusus kepadaku sejam setiap hari. Aku
ingat betul namanya. Juffrouw M.P. De La Riviere. M.P. kependekan dari Maria Paulina. Katakanlah,
bahwa ia orang yang paling tidak menarik di dunia ini dibandingkan dengan perempuan lain dan karena
itu ia tetap melekat dalam pikiranku. Cara yang paling baik untuk menerangkan arti daripada pendidikan
barat —dan bagaimana bapak telah bersusah payah mengorbankan uang, prinsip dan segala sesuatu
untuk itu— ialah dengan menghubungkannya dengan kisah percintaanku yang pertamakali. Aku berumur
empatbelas tahun dan tidak ragu lagi hatiku yang muda ini telah tertambat pada Rika Meelhuysen,
seorang gadis Belanda. Rika adalah gadis pertama yang kucium. Dan harus kuakui, bahwa aku sangat
gugup waktu itu. Sejak itu aku lebih ahli dalam hal itu. Tapi, aduh, aku mencintai gadis itu mati‐matian
dan kuikuti turun naiknya gelombang irama dari seluruh kehidupan anak sekolah. Aku membawakan
buku‐bukunya, aku dengan sengaja berjalan melalui rumahnya, karena mengharapkan sekilas pandang
dari dia. Dan nampaknya aku selalu secara kebetulan berada dimana dia ada. Cintaku ini kusimpan dalam
kalbuku sendiri. Aku takut mengucapkan sepatah kata, karena takut ketahuan oleh orangtuaku. Aku
yakin, bahwa bapak akan sangat marah kepadaku kalau sekiranya ia mendengarku bergaul dengan anak
gadis kulit putih. Sungguhpun aku sangat ingin menyampaikan sesuatu tentang hal itu kepadanya,
ketakutan terhadap kemarahannya menyebabkan kata‐kataku membeku di kerongkongan. Karena itu,
keinginan yang menyala‐nyala ini hanya kupercayakan kepada diriku yang sedang dimabuk kepayang.
Pada suatu sore aku berjalan‐jalan naik sepeda dengan Rika Meelbuysen dan ketika membelok di ujung
jalan gang kami tepat menubruk bapak. Aku mulai menggigil karena takut. Dia bersikap hormat, tapi aku
sangat kuatir akan apa yang akan menyusul nanti kalau aku sudah sampai di rumah. Inilah aku, putera
bapak satu‐satunya, yang bercinta‐cintaan dengan orang Belanda yang dibenci. Sejam kemudian aku
menyusup masuk rumah dalam keadaan masih tergoncang. Bapak segera mendekatiku dan berkata,
“Nak, jangan kau takut tentang perasaanku terhadap teman perempuanmu itu. Itu baik sekali.
Pendeknya, hanya dengan jalan itu engkau dapat memperbaiki bahasa Belandarnu!” Ketika datang
waktunya untuk masuk sekolah menengah, bapak sudah tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia
menggunakan pengaruh kawan‐kawannya untuk memasukkanku ke sekolah menengah yang tertinggi di
Jawa Timur, yaitu Hogere Burger School di Surabaya. “Nak,” katanya, ” Maksud ini sudah ada dalam
pikiranku semenjak kau dilahirkan ke dunia.” Semua telah diaturnya dan aku akan tinggal dirumah H.O.S.
Tjokroaminoto, ialah orang yang kemudian merubah seluruh kehidupanku.”Tjokro,” ia menerangkan
padaku, “Adalah kawanku di Surabaya sejak sebelum kau ada.”0,” kataku gembira, “Saya kira dia keluarga
kita.” “Tidak,” jawab bapak., “Oo, barangkali mungkin keluarga yang sangat jauh, tapi tidak serapat
seorang kemenakan atau paman.” Kemudian bapak memandang kepadaku sesaat. “Kau tahu siapa
Tjokro?”, “Saya hanya tahu, dia berkeliling untuk mempropagandakan keyakinan politiknya. Saya ingat
dia datang ke kampung kita untuk mengadakan pidato dan menginap, bapak dengan dia mengobrol
sampai waktu subuh.” “Tjokro adalah pemimpin politik dari orang Jawa.
Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi
kebarat‐baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oieh Belanda sebagai ‘Radja
Jawa yang tidak dinobatkan. Aku ingin supaya kau tidak melupakan, bahwa warisanmu adalah untuk
menjadi Karna kedua.” Aku tidak membawa apa‐apa ketika berangkat ke Surabaya. Tak ada barang untuk
dibawa. Satu‐satunya yang mengikuti kepergianku adalah sebuah tas kecil dengan pakaian sedikit. Bapak
menunjuk salah seorang guru untuk mengiringi perjalananku di kereta api yang lamanya enam jam itu.
Tidak dirayakan, tidak dipestakan kepergianku itu. Yang kuingat hanya bahwa aku menangis getir. Aku
meninggalkan rumah. Aku meninggalkan ibu. Aku baru seorang anak 15 tahun yang masih takut‐takut. Di pagi itu, di hari keberangkatanku ibu melepasku dengan peringatan bahwa aku tidak lagi akan kembali
untuk tinggal bersama‐sama dengan mereka. Di depan rumah kami dia memerintahkan, “Berbaringlah di
tanah, nak!. Berbaring saja biarpun kotor.” Kemudian ibu melangkahi badanku pulang balik sampai tiga
kali. lni sesuai dengan kepercayaan menurut ilmu kebatinan. Dengan melangkahi anaknya dengan
tubuhnya sendiri darimana si anak dilahirkan dan yang mengandung kekuatan‐kekuatan sakti dari
kehidupan, berarti bahwa si anak mendapat restu dari ibunya untuk selama‐lamanya. Seakan‐akan ia
berkata setiap kali, “Anak ini berasal dari kandunganku dan kuberkati dia. “Kemudian dia menyuruhku
bangkit. Sekali lagi ia memutar badanku arah ke Timur dan berkata dengan sungguh‐sungguh, “Jangan
sekali‐kali kaulupakan, anakku, bahwa engkau adalah putera sang fajar.”


SURABAYA DAPUR NASIONALISME





BAB IV: Surabaya Dapur Nasionalisme
DARI jenis binatang pra sejarah yang digali di kepulauan kami, ahli‐ahli purbakala membuktikan bahwa
setengah juta tahun yang lalu pulau Jawa sudah didiami orang. Kebudayaan kami adalah kebudayaan
purba. Bukalah buku Ramayana. Di dalamnya orang akan membaca keterangan mengenai “Negeri Suarna
Dwipa yang mempunyai tujuh buah kerajaan besar”. Suarna Dwipa, yang berarti pulau‐pulau emas,
adalah nama negeri kami pada waktu ia diabadikan dalam cerita‐cerita klasik Hindu duaribu limaratus
tahun yang lalu. Dari abad kesembilan ketika negeri kami bernama Keradjaan Sriwijaya sampai abad
keempatbelas waktu negeri kami bernama Majapahit, kami punya “negeri yang terkenal makmur telah
mencapai tingkatan ilmu yang demikian tinggi sehingga menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi seluruh
dunia beradab”. Demikianlah keterangan yang terdapat dalam surat‐surat, gulung perkamen yang
berharga dari negeri Tiongkok dan menurut dugaan adalah bibit dari kebudayaan seluruh Asia. Negeri
kami masih tersohor dalam lingkungan internasional ketika Christopher Columbus mencari kepulauan.
Rempah‐rempah gugusan pulau‐pulau yang sekarang kita namakan Kepulauan Maluku. Seumpama
Columbus tidak berlayar mencari jahe, buah pala, lada dan cengkeh kami dan tidak sesat pula di jalan,
tentu dia tidak akan menemukan benua Amerika. Ketika jalan laut menudju Hindia akhirnya ditemukan
orang, modal asing mengerumuni pantai kami, seperti semut mengerumuni tempat gula. Dari Lisboa
datanglah Vasco’da Gama. Dari negeri Belanda Cornelis de Houtman: Ini merupakan titik tanda
dimulainya “Revolusi Perdagangan” di Eropa.
Kapitalisme ini tumbah hingga ia mengenyangkan lapangan eksploitasi dalam masyarakat mereka
sendiri. Barang‐barang yang sebelumnya diimpor dari Timur, sekarang sudah diekspor ke Timur; jadi
Timur menjadi pasar‐pasar tambahan untuk barang‐barang berlebih. Daerah Timur menjadi suatu pasar
untuk modal berlebih yang tidak lagi bisa memperoleh jalan keluar. Liberalisme dalam ekonomi lalu
membawa Liberalisme dalam politik. Untuk mengendalikan ekonomi dari negara lain, terlebih dulu
negara itu harus ditaklukkan. Pedagang‐pedagang menjadi penakluk; bangsa‐bangsa Asia‐Afrika dijajah
dan kelobaan ini membuka pintu kepada jaman Imperialisme. Jawa diduduki diabad ke 16; Maluku diabad
ke 17 dan lambat laun Negeri Belanda menguasai kepulauan kami secara berturut‐turut hingga ke Bali
yang baru dikuasai di tahun 1906. Dengan cepat kekuasaan asing menanamkan akar‐akarnya. Mereka
mengambil kekayaan kami, mengikis kepribadian kami dan musnalah Putera‐puteri harapan bangsa dari
suatu Bangsa yang Besar yang pandai melukis, mengukir, membuat lagu, menciptakan tari. Kami tidak
lagi dikenal oleh dunia luar, kecuali oleh penghisap‐penghisap dari Barat yang mencari kemewahan di
Hindia. Akibat daripada Imperialisme sungguh jahat sekali. Orang laki‐laki diambil dari rumahnya dan
dipaksa menjadi budak di pulau‐pulau yang jauh, dimana terdapat kekurangan tenaga manusia.
Perempuan‐perempuan dipaksa bekerja di kebun tarum dan mereka tidak boleh menghentikan
pekerjaannya, sekalipun melahirkan
pada waktu menanam. Tempe adalah bungkah yang lunak dan murah terbuat dari kacang kedele yang
diberi ragi. Negeri tempe berarti negeri yang lemah. Itulah kami jadinya. Kami terus‐menerus dikatakan sebagai bangsa yang mempunyai otak seperti kapas. Kami menjadi pengecut; takut duduk, takut berdiri,
karena apapun yang kami lakukan selalu salah. Kaml menjadi rakyat seperti dodol dengan hati yang kecil.
Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami menjadi suatu bangsa yang hanya dapat
membisikkan, “Ya tuan”, Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa‐bawa oleh sifat rendah diri,
yang masih saja mereka pegang teguh secara tidak sadar. Hal itu menyebabkan kemarahanku baru‐baru
ini. Wanita‐wanita dari kabinetku selalu menyediakan jualan makanan Eropa. “Kita mempunyai panganan
enak kepunyaan kita sendiri,” kataku dengan marah.
“Mengapa tidak itu saja dihidangkan?”. “Ma’af, Pak,” kata mereka dengan penyesalan, “Tentu bikin malu
kita saja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita yang melarat.” Ini adalah suatu
pemantulan kembali dan pada jaman dimana Belanda masih berkuasa. Itulah perasaan rendah diri kami
yang telah berabad‐abad umurnya kembali memperlihatkan diri. Ejekan yang terus‐menerus dipompakan
oleh pemerintah Hindia Belanda tentang ketidakmampuan kami, menyebabkan kami yakin akan hal
tersebut. Dan keyakinan bahwa engkau bangsa yang hina, lagi bodoh adalah suatu senjata yang ada
dalam tangan penjajah. lmperialisme adaIah kumpulan kekuatan jahat yang nampak dan yang tidak
nampak. Penindasan yang sudah demikian lama dirasakan menyebabkan bangkitnya suatu masa para
pelopor. Sun Yat Sen mendirikan Gerakan Nasional Tiongkok di tahun 1885. Kongres Nasional India: di
tahun 1887. Aguinaldo dan Rizal membangkitkan Filipina. Di tahun‐tahun permulaan abad ke‐20.
Seluruh Asia bangkit dan di abad keduapulah yang megah ini, dalam mana isolasi tidak akan terjadi lagi,
maka bangsa Indonesia yang lemah dan pemalu itupun dapat merasakan gelora daripada kebangkitan ini.
Dalam bulan Mei 1908 para pemimpin di Jawa menyusun partai nasional yang pertama dengan nama
“Budi Utomo”, yang artinya “Usaha yang Suci”. Di tahun 1912 organisasi ini memberi jalan kepada Sarekat
Islam yang mempunyai anggota sebanyak dua setengah juta orang dibawah pimpinan H.O.S. Tjokro
Aminoto. Bangsa Indonesia yang menderita secara perseorangan sekarang mulai menyatukan diri dan
persatuan nasional mulai tersebar. Ia lahir di Jakarta, akan tetapi sang bayi baru pertamakali
melangkahkan kakinya di Surabaya. Di tahun 1916 maka Surabaya merupakan kota pelabuhan yang
sangat sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi pusat
perdagangan yang aktif. Ia menjadi suatu kota industri yang penting dengan pertukaran yang cepat dalam
perdagangan gula, teh, tembakau, kopi. Ia menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dan
orang‐orang Tionghoa yang cerdas ditambah dengan arus yang besar dan para pelaut dan pedagang yang
membawa berita‐berita dari segala penjuru dunia. Penduduknya semakin bertambah, terdiri dari pekerja
pelabuhan dan pekerja bengkel yang masih muda‐muda dan yang bersemangat menyala‐nyala. la
menjadi kota dimana bergolak persaingan, pemboikotan, perkelahian di jalan‐jalan. Kota itu bergolak
dengan ketidakpuasan dari orang‐orang revolusioner. Ke tengah‐tengah kancah yang mendidih demikian
itulah seorang anak ibu berumur 15 tahun masuk dengan menjinjing sebuah tas kecil.
Keluarga Tjokroaminoto terdiri dari enam orang. Yaitu Pak dan Bu Tjokro, anak‐anaknya Harsono yang 12
tahun lebih muda daripadaku, Anwar 10 tahun lebih muda, puteri mereka Utari lima tahun lebih muda dan
seorang bayi, Pak Tjokro semata‐mata bekerja sebagai Ketua Sarekat Islam dan penghasilannya tidak
banyak. Dia tinggal di kampung yang penuh sesak tidak jauh dari sebuah kali. Menyimpang dari jalanan
yang sejajar dengan kali itu ada sebuah gang dengan deretan rumah dikiri‐kanannya dan ia terlalu sempit
untuk jalan mobil. Gang kami namanya Gang 7 Peneleh. Pada seperempat jalan jauhnya masuk ke gang
itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan paviliun setengah melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh
kamar‐kamar kecil, termasuk ruang loteng.
Keluarga Pak Tjokro tinggal di depan; kami yang bayar makan di belakang. Sungguhpun semua kamar
sama melaratnya, akan tetapi anak‐anak yang sudah bertahun‐tahun bayar makan mendapat kamar yang
namanya saja lebih baik. Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus‐menerus sekalipun di siang hari. Duniaku yang
gelap ini mempunyai sebuah meja goyah tempatku menyimpan buku, sebuah kursi kayu, sangkutan baju
dan sehelai tikar rumput. Tidak ada kasur. Dan tidak ada bantal. Surabaya di waktu itu sudah menikmati
kemegahan lampu listrik. Setiap kamar mempunyai fitting dan setiap pembajar‐makan membajar ekstra
untuk lampu. Hanya kamarku yang tidak punya. Aku tidak punya uang untuk membeli bolanya. Aku
belajar sampai jauh malam dengan memakai pelita. Bahkan akupun tidak mampu membeli kelambu
untuk menutupi balai‐balai dan supaya terhindar dari nyamuk. Kamar itu kecil seperti kandang ayam.
Tidak ada udara segar dan menjadi sarang serangga. Akan tetapi karena tak ada orang lain yang mau
tinggal denganku di kamar yang gelap itu, maka setidak‐tidaknya aku dapat memilikinya untuk diriku
sendiri.
Sewanya 11 rupiah, termasuk makan. Atau secara perhitungan kasarnya empat dolar sebulan. Bapak
mengirimiku uang duabelas rupiah setengah, dengan sisanya limapuluh sen untuk uang saku. Di tahun
1917 bapak dipindahkan ke Blitar. Karena pemindahan ini merupakan kenaikan jabatan, nasib bapak
berubah sedikit. Oleh sebab itu ia dapat mengirimiku $ 1,50 untuk uang saku setiap bulannya. Memang
sukar bagi seorang inlander untuk memasuki H.B.S. Disamping $ 15,00 sebulan untuk uang sekolah dan
pet seragam bertuliskan H.B.S., kami harus membayar lagi $ 75,00 setiap tahun untuk uang buku. Aku
ingat betul jumlah ini, karena aku menghitung setiap rupiahnya. Kujaga agar jangan ada yang terpakai
secara tidak disengaja. Walaupun aku anak yang patuh, harus kuakui, bahwa aku menulis surat pulang
hanya kalau dalam kesempitan saja. Kukira ini sama saja dengan setiap anak muda, bukan? Dengan tidak
usah membuka surat‐suratku terlebih dulu bapakpun sudah tahu isinya, bahwa si Karno minta uang.
Suratku kepada orangtuaku selalu dimulai dengan kalimat manis yang itu‐itu juga dan tidak pernah
berubah‐ubah: “Bapak dan lbu yang tercinta saya berada dalam keadaan sehat‐sehat saja dan harapan
saja tentu agar Bapak dan Ibu keduanya demikian pula hendaknya.”
Kemudian setelah salam itu, dibaris yang ketiga aku langsung menyampaikan maksud yang terpenting.
Aku menulis, “Sekarang saya sedang kekurangan uang. Apakah Bapak dan lbu dapat mengirimi barang
sedikit?” Disamping ibuku yang penyayang itu selalu mengirimiku secara diam‐diam satu atau dua rupiah
bila ia punya uang, akupun mengusahakan sumber lain. Pak Poegoeh, suami kakakku. Mereka tinggal
sekira 50 kilometer dari Surabaya dan Pak Poegoeh selalu memberiku uang lima rupiah untuk ongkos
pulang. Karena uang itu tidak habis semua untuk ongkos perjalanan, maka aku sering menemui mereka.
Pak Poegoeh enam tahun lebih tua daripadaku dan bekerja di kantor irigasi dari Departemen Pekerjaan
Umum. Sekalipun kami seperti kakak beradik, aku tak pernah minta bantuan uang kepadanya secara
terang‐terangan. Cara orang Jawa kebanyakan tidak langsung. Kuminta kepada kakakku yang
menyampaikannya pula kepadanya. Dan permintaan ini kupikirkan lebih dulu semasak‐masaknya. Aku
tak pernah meminta di luar batas yang kuperkirakan dapat diperoleh dengan mudah.
Sebagai hasil dari kebijaksanaan semacam ini aku kadang‐kadang mendapat lebih dari pada yang
kuminta. Terasa hari libur sangat menyenangkan apabila hadiah itu datang karena aku lalu bisa menjamu
kawan‐kawanku dengan kopi atau jajan. H.B.S. terletak satu kilometer dari Gang Paneleh. Setiap anak
mempunyai sepeda. Aku sendiri yang tidak. Biasanya aku membonceng dengan salah seorang kawan
atau berjalan kaki. Aku mulai menabung dan menabung terus dan ketika uangku terkumpul delapan
rupiah, kubeli Fongers yang hitam mengkilat, sepeda keluaran Negeri Belanda. Aku merawatnya bagai
seorang ibu. Ia kugosok‐gosok. Kupegang‐pegang. Kubelai‐belai. Pada suatu kali Harsono yang berumur
tujuh tahun secara diam‐diam memakai sepedaku itu dan menabrakkannya ke pohon kayu. Seluruh
bagian mukanya patah. Harsono ketakutan. Ia tidak berani mengatakan padaku, dan ketika aku
mendengar berita itu, kusepak pantatnya dengan keras. Kasihan Harsono. Ia menangis. Ia berteriak.
Berminggu‐minggu lamanya aku tergoncang oleh Fongersku yang hitam mengkilat itu yang sekarang
sudah bengkok‐bengkok. Akhirnya aku dapat mengumpulkan delapan rupiah lagi dan membeli lagi sepeda yang lain tapi untuk Harsono. Sekali dalam seminggu aku menikmati satu‐satunya kesenanganku
Film, Aku sangat menyukaina. Betapapun, caraku menonton sangat berbeda dengan anak‐anak Belanda.
Aku duduk ditempat yang paling murah. Coba pikir, keadaanku begitu melarat, sehingga aku hanya dapat
menyewa tempat di belakang layar. Kaudengar?, Di belakang layar!! Di waktu itu belum ada film bicara,
jadi aku harus membaca teksnya dan terbalik dan masih dalam bahasa Belanda! lama‐kelamaan aku
menjadi biasa dengan keadaan itu sehingga aku dapat dengan cepat membaca teks itu dari kanan ke kiri.
Aku tidak peduli, karena tak ada cara lain lagi. Bahkan aku bersyukur karena masih bisa menyaksikannya.
Saat satu‐satunya yang menyebabkan aku kecewa ialah, bila dipertunjukkan film adu tinju. Aku sama
sekali tak dapat menaksir, tangan siapa yang melakukan pukulan.
Dimasa itu “Yankee Doodle” yang menjadi lagu kegemaranku. Mereka memutarnya pada tiap istirahat
dan sambil duduk seorang diri dalam gelap di belakang layar aku menyanjikannya dengan lunak untuk
diriku sendiri. Sampai sekarang aku masih menyanyikan lagu itu. Pada suatu kali sebuah sirkus datang ke
kota kami. Dalam pertunjukan itu mereka melepaskan merpati‐merpati dan kalau ada yang hinggap di
bahu seseorang, itulah yang memenangkan hadiah. Kami segera mengetahui bahwa, ketika burung itu
hinggap pada teman kami, yang sama‐sama bayar makan, hadiahnya seekor kuda. Jadi berkupullah kami,
Suarli pemenang yang beruntung itu, kami pemuda lainnya sebanyak setengah lusin dan seekor kuda tua
yang sudah letih. Kami tidak dapat akal akan diapakan kuda itu. Tapi kami harus membawanya keluar,
karena itu kami bawa ia pulang. Di bagian belakang rumah ada pekarangan, akan tetapi tidak ada jalan
untuk bisa sampai ke tempat itu kecuali melalui tengah rumah. Dengan tenang kami buka pintu serambi
muka dan rumah Pemimpin Besar Rakyat Jawa dan mempawaikan kuda kami melalui kamar duduk, terus
ke halaman belakang dimana ia ditambatkan ke batang sawo.
Tak seorangpun di antara kami yang punya uang untuk membeli makan mulut orang lain, sekalipun mulut
itu kepunyaan seekor kuda. Begitulah, dua hari kemudian Suarli menjualnya. Kecuali satu sirkus dan film,
masa itu bukanlah masa yang menggembirakan bagiku. Aku tidak mempunyai kesenangan semasa
mudaku. Aku terlalu serius. Aku tidak mengikuti kesenangan seperti yang dialami oleh anak‐anak sekolah
yang lain. Mungkin apa yang dinamakan tindakan kegila‐gilaan sebagaimana yang dituduhkan kepadaku
sekarang, adalah semacam imbangan untuk mengejar kerugian di masa muda. Tidak ada kesenangankesenangan
yang menyegarkan dalam kehidupanku hingga aku berumur 50 tahun. Kegembiraan yang
kucari sekarang mungkin sebagai usahaku untuk menutupi segala sesuatu yang tidak pernah kunikmati di
masa muda, sebelum waktunya terlambat. Aku tidak tahu dengan pasti. Aku tak pernah memikirkannya
hingga datang waktunya bagiku untuk menjalankan pembedahan diri dengan jalan otobiografi ini.
Bagaimanapun juga, ini adalah percakapan antara kita antara engkau, pembaca, denganku. Dan karena
aku berbicara dan gelora hati yang meluap‐luap, kemudian merenungkan semua ini sebagai kesedihanku
di masa yang silam, aku merasa mungkin juga benar bahwa aku sedang berusaha mengimbangi
kekurangan diriku sendiri sekarang. Pendeknya, aku tidak mengalami masa senang di Surabaya. Pada
waktu aku mula datang, aku menangis setiap hari. Ah, aku sangat kehilangan ibu tak dapat kuceritakan
kepadamu betapa Wanita senantiasa memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Sekarang, aku
tidak punya ibu, tidak ada nenek untuk membujukku yang selamanya mengagumiku, tidak ada Sarinah
yang dengan tekun menjagaku. Aku merasa sebatang kara. Bu Tjokro adalah seorang wanita yang manis
dengan perawakan kecil bagus. Dia sendirilah yang mengumpulkan uang makan kami saban minggu.
Dialah yang membuat peraturan seperti: (l) Makan malam jam sembilan dan barangsiapa yang datang
terlambat tidak dapat makan. (2) Anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam. (3) Anak
sekolah harus bangun jam empat pagi untuk belajar. (4) Main‐main dengan anak gadis dilarang. Aku
memelihara hubungan rapat dengan Bu Tjokro, akan tetapi dia terlalu sibuk untuk dapat
memperhatikanku sebagai seorang ibu. Karena memerlukan hati seorang perempuan, aku menoleh pada
Mbok Tambeng, perempuan pembantu rumah tangga, untuk menghiburku. Dia menjadi pengganti ibuku. Dia menambal celanaku. Dia tahu bahwa gado‐gado adalah kegemaranku, karena itu dia suka
menyusupkan ekstra untukku. Mbok sayang kepadaku, tapi ah! aku sangat merindukan kasih sayang itu.
Masih saja si Mbok tidak bisa menjadi penghibur yang cukup bagi seorang anak yang halus perasaannya.
Jiwaku menjerit‐jerit mencari kepercayaan hati, bahkan hati seorang bapak kemana aku dapat menoleh.
Pak Tjokro bukanlah orangnya.
Seorang pemimpin hanya tertarik pada soal‐soal politik. Bahunya bukanlah tempat bersandar untuk
menangis. Atau tangannya bukanlah tempat merebahkan diri dengan enak. Sekalipun demikian Pak
Tjokro sangat senang kepadaku. Kasih sajangnya ini dinyatakannya terutama di musim kemarau tahun
1918. Biasanya aku pulang mengunjungi orang tuaku dalam waktu libur. Dalam dua bulan libur tinggal di
Blitar aku merencanakan pergi ke tempat kawan‐kawan untuk sehari di Wlingi, yang jaraknya 20
kilometer dari Blitar. Semua rencana telah disiapkan dan dengan keinginan yang besar menghadapi
tujuan aku melambai kepada bapak, mencium ibu dan memulai perjalananku. Aku baru saja sampai di
rumah kawan‐kawanku ketika bahana menggemuruh yang menakutkan memenuhi angkasa dan tanah
bergoncang‐goncang di bawah kakiku. Perempuan‐perempuan tua yang ketakutan, anak‐anak yang
menjerit dan para pekerja yang letih oleh membanting tulang terpencar keluar dari pondok‐pondok
mereka menuju kampung yang penuh sesak. Ketakutan, kebingungan dan kekacauan menghinggapi
rakyat kampung.
Raksasa Gunung Kelud, gunung berapi di Blitar, mencari saat itu untuk menunjukkan kemurkaan dari
Dewa‐dewa. Langit menjadi hitam oleh arang dan abu bermil‐mil jauhnya. Di mana‐mana ledakan lahar.
Daerah itu diselubungi oleh asap, api dan racun. Dengan kekuatan yang hebat lahar yang mendidih‐didih
mencurah menuruni lereng gunung ke tempat yang lebih rendah dan menggenang di sana antara Blitar
dan Wlingi. Banyak orang yang mati. Aku sangat kuatir karena kutahu orang tuaku tentu sangat susah
memikirkan diriku …. Hidupkah dia …. Matikah dia. Mereka sadar, bahwa anaknya berada tepat di jalan
dimana gunung itu memuntahkan isinya dan mereka tidak dapat memperoleh berita. Sementara itu aku
mendengar, bahwa separo negeri kami telah kena landa, karena itu pikiranku dilumpulkan oleh kekuatiran
tentang apakah yang mungkin terjadi terhadap orang tuaku. Aku harus kembali secepat mungkin, akan
tetapi tidak ada kendaraan yang bagaimanapun bentuknya yang dapat menyeberangi lautan lahar yang
menggelora itu. Akhirnja, satu‐satunya jalan yang harus ditempuh ialah dengan mengarunginya berjalan
kaki. Selagi lahar masih agak panas, aku mulai melangkahkan kaki menuju jalan pulang. Aku masih jauh
ketika mereka menampakku, lalu datang berlari‐lari menyongsongku di tengah jalan. Mereka
memelukku. Mereka menciumku.
Mereka mengelus pipiku. “0, engkau masih hidup,” teriak bapak. “Engkau masih hidup engkau masih
hidup.” Ibu menangis. Aku merangkul orang tuaku dengan kedua belah tanganku. Aduh, kami gembira,
gembira sekali bertemu satu sama lain. Di Surabaya, Pak Tjokro pun rupanya merasa cemas memikirkan
keadaanku. Ia menaiki mobilnya dan melakukan perjalanan sehari penuh hanya karena hendak
mengetahui bagaimana keadaanku. Mula‐mula ia tidak dapat menemuiku atau orangtuaku. Rumah kami
selamat, akan tetapi rumah itu sudah menjadi tumpukan lahar dan lumpur. Sampai di Jalan Sultan Agung
53 ia hanya mendapati rumah kosong sama sekali. Kecuali beberapa ekor burung‐burung kecil. Ia jadi
sangat bingung sebelum bertemu dengan kami. Jadi aku menyadari bahwa Pak Tjokro mencintaiku
dengan caranya sendiri. Hanya caranya itu tidak cukup bagi seorang anak yang kesepian. Ia jarang
berbicara denganku. Bahkan aku jarang melihatnya. Ia tidak mempunyai waktu yang senggang. Kalau ia
di rumah tentu ada tamu atau ia bersamadi dalam kesunyian.
Oemar Said Tjokroaminoto berumur 33 tahun ketika aku datang ke Surabaya. Pak Tjokro mengajarku
tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadiku kelak. Seorang
tokoh yang mempunyai daya cipta dan cita‐cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah
darahnya. Pak Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku.
Aku duduk dekat kakinya dan diberikannya kepadaku buku‐bukunya, diberikannya padaku miliknya yang berharga. Ia hanya tidak sanggup memberikan kehangatan langsung dari pribadinya kepada pribadiku
yang sangat kuharapkan. Karena tak seorangpun yang mencintaiku seperti yang kuidamkan, aku mulai
mundur. Kenyataan‐kenyataan yang kulihat dalam duniaku yang gelap hanyalah kehampaan dan
kemelaratan. Karena itu aku mengundurkan diri ke dalam apa yang dinamakan orang Inggris “Dunia
Pemikiran”. Buku‐buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh
kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputus‐asaan yang terdapat di luar. Dalam dunia
kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat
hidup dan sedikit bergembira. Selurah waktu kupergunakan untuk membaca. Sementara yang lain
bermain‐main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah. Kami
mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di kota ini yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada
batasnya buat seorang anak yang miskin.
Aku menyelam sama sekali ke dalam dunia kebatinan ini. Dan disana aku bertemu dengan orang‐orang
besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita‐cita mereka adalah pendirian dasarku. Secara
mental aku berbicara dengan Thomas Jefferson. Aku merasa dekat dan bersahabat dengan dia, karena dia
berceritera kepadaku tentang Declaration of Independence yang ditulisnya ditahun 1776. Aku
memperbincangkan persoalan George Washington dengan dia. Aku mendalami lagi perjalanan Paul
Revere. Aku dengan sengaja mencari kesalahan‐kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln, sehingga
aku dapat mempersoalkan hal ini dengan dia. Pada waktu sekarang, apabila ada orang menegur, “Hai
Sukarno, mengapa engkau tidak suka kepada Amerika?” maka aku akan menjawab: “Apabila engkau
mengenal Sukarno, engkau tidak akan mengajukan pertanyaan itu? Masa mudaku kupergunakan untuk
memuja bapak‐bapak perintis dari Amerika. Aku ingin berlomba dengan pahlawan‐pahlawannya. Aku
mencintai rakyatnya. Dan aku masih mencintainya. Bahkan sekarangpun aku masih membaca majalah
Amerika dari “Vogue” sampai ke “Nugget”. Aku akan selalu merasa berkawan dengan Amerika. Ya,
berkawan. Aku mengatakannya secara terbuka. Aku menuliskan tentang diriku sendiri. Kunyatakan ini
dengan tercetak. Suatu pendirian dasar seperti yang kumiliki takkan dapat membiarkanku tidak berkawan
dengan Amerika. Di dalam dunia pemikiranku akupun berbicara dengan Gladstone dari Britannia
ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris aku berhadapan
muka dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari Italia. Aku berhadapan dengan Otto Bauer dan Adler dari
Austria.
Aku berhadapan dengan Karl Marx, Friedrich Engels dan Lenin dari Rusia dan aku mengobrol dengan Jean
Jacques Rousseau’ Aristide Briand’ dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Perancis. Aku
meneguk semua cerita ini. Kualami kehidupan mereka. Aku sebenarnya adalah Voltaire. Aku adalah
Danton pejuang besar dari Revolusi Perancis. Seribu kali aku menyelamatkan Perancis seorang diri dalam
kamarku yang gelap. Aku menjadi tersangkut secara emosional dengan negarawan‐negarawan ini. Di
sekolah kami mendengarkan pelajaran tentang pengadilan rakyat dari bangsa Yunani kuno. Ia melekat
dalam pikiranku. Aku membayangkan pemikir‐pemikir yang sedang marah selagi berpidato dan
meneriakkan semboyan‐semboyan seperti “Persetan dengan Penindasan” dan “Hidup Kemerdekaan”.
Hatiku terbakar menyala‐nyala. Macam itu, ketika semua orang sudah mengunci pintu, kamar kandang
ayamku menjadi ruang pengadilan aku sebagai seorang pemuda Yunani yang terbakar oleh antusiasme.
Sambil berdiri di atas mejaku yang goyah aku ikut terbawa oleh perasaan. Aku mulai berteriak Selagi aku
berpidato dengan sangat keras kepada tak seorangpun, kepala‐kepala berjuluran keluar pintu, mata
bertonjolan dari kepala dan terdengar suara anak‐anak muda berteriak dalam gelap’ “Hei, No, kau gila?.
Ada apa….Hei, apa kau sakit?” dan kemudian tukang‐tukang sorak itu kembali pada jawabannya sendiri,
“Ah, tidak ada apa‐apa. Cuma si No mau menyelamatkan dunia lagi”, dan satu demi satu pintu‐pintu menutup lagi dan membiarkan aku sendiri dalam kegelapan. Pada waktu aku semakin mendekati
kedewasaan, duniaku di dalam semakin lebar dan mencakup pula kawan‐kawan dari Tjokroaminoto.
Setiap hari para pemimpin dari partai lain atau pemimpin cabang Sarekat Islam datang bertamu. Dan
setiap kali mereka tinggal selama beberapa hari. Sementara kawan‐kawanku serumah keluar
menyaksikan pertandingan bola, aku duduk dekat kaki orang‐orang ini dan mendengarkan.
Kadang‐kadang kubagi tempat tidurku dengan salah seorang pemimpin itu dan minum dari mata air
keahlian
mereka hingga waktu fajar. Aku menyukai waktu makan, Kami makan secara satu keluarga, jadi aku
dapat mengikuti dan meresapkan percakapan politik. Pada waktu mereka melepaskan lelah di sekeliling
meda, aku bahkan kadang‐kadang berani mengajukan pertanyaan. Mahaputera‐mahaputera ini puteraputera
yang besar dari rakyat Indonesia, tidak mengacuhkanku karena aku masih anak‐anak. Sekali pada
waktu makan malam mereka mempersoalkan tentang kapitalisme dan tentang barang‐barang yang
diangkut dari kepulauan kami untuk memperkaya Negeri Belanda. Disaat inilah aku bertanya pelahan,
“Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?”, “Anak ini sangat ingin tahu,” senyum Pak Tjok,
kemudian menambahkan, “De Vereenigde Oost Indische Compagnie menyedot — atau mencuri— kirakira
1800 juta gulden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag. “Apa yang tinggal di
negeri kita?” kali ini aku bertanya lebih keras sedikit. “Rakyat tani kita yang mencucurkan keringat mati
kelaparan dengan makanan segobang sehari,” kata Alimin, yaitu orang yang memperkenalkanku kepada
Marxisme. “Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa‐bangsa,” sela kawannya yang
bernama Muso. “Sarekat Islam bekerja untuk memperbaiki keadaan dengan mengajukan mosi‐mosi
kepada Pemerintah,” kata Pak Tjok menerangkan dan kelihatan senang karena mempunyai murid yang
begitu bersemangat. “Pengurangan pajak dan serikat‐serikat sekerja hanya dapat digerakkan dengan
kooperasi dengan Belanda —sekalipun kita membenci kerjasama ini.” Tapi apakah baik untuk membenci
seseorang sekalipun ia orang Belanda?”. “Kita tidak membenci rakyatnya,” dia memperbaiki, “Kita
membenci sistem pemerintahan Kolonial.” Mengapa nasib kita tidak berubah jika rakyat kita telah
berjuang melawan sistem ini sejak berabad‐abad?”. “Karena pahlawan‐pahlawan kita selalu berjuang
sendiri‐sendiri. Masing‐masing berperang dengan pengikut yang kecil di daerah yang terbatas,” Alimin
menjawab. ” 0, mereka kalah karena tidak bersatu,” kataku. Ahli pikir India, Swami Vivekananda, menulis,
“Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pakailah pengetahuanmu untuk diamalkan.” Aku mulai
menerapkan apa‐apa yang telah kubaca kepada apa yang telah kudengar. Aku memperbandingkan
antara peradaban yang megah dari pikiranku dengan tanah airku sendiri yang sudah bobrok. Setapak
demi setapak aku menjadi seorang pencinta tanah air yang menyala‐nyala dan menyadari bahwa tidak
ada alasan bagi pemuda Indonesia untuk menikmati kesenangan dengan melarikan diri ke dalam dunia
khayal. Aku menghadapi kenyataan bahwa negeriku miskin, malang dan dihinakan. Aku
berjalan‐jalan seorang diri dan merenungkan tentang apa yang sedang berputar dalam otakku. Satu jam
lamanya aku berdiri tak bergerak di atas jembatan kecil yang melintasi sungai kecil dan memandangi
iring‐iringan manusia yang tak henti‐hentinya. Aku melihat rakyat tani dengan kaki ayam berjalan lesu
menuju pondoknya yang buruk. Aku melihat Kolonialis Belanda duduk mencekam di atas kereta terbuka
yang ditarik oleh dua ekor kuda yang mengkilat. Aku melihat keluarga orang kulit putih kelihatan bersihbersih,
sedang saudara‐saudaranya yang berkulit sawo matang begitu kotor, badannya berbau, bajunya
compang‐camping, anak‐anak mereka jorok‐jorok. Aku bertanya dalam hati, apakah orang bisa tetap
bersih apabila mereka tidak punya pakaian lain untuk penggantinya.
Kuhisap masuk tubuhku bau daripada sisa makanan yang sudah busuk dan bau selokan‐selokan yang
melemaskan, dan kulekatkan dengan kuat di dalam lobang hidungku bau busuk daripada kemelaratan
rakyatku, sehingga sekalipun aku pergi 10.000 mil dari sungai aku masih tetap menciumnya. Aku
memandang ke dalam keputusasaan dari setiap laki‐laki dan perempuan yang kulihat. Aku terhanyut bersama rakyatku. Rakyatku yang miskin lagi papa. Dari jembatan aku menoleh ke arah massa yang
seperti semut banyaknya dan aku mengerti sejelas‐jelasnya, bahwa inilah kekuatan kami. Dan aku
menyadari sesadar‐sadarnya akan penderitaan mereka. Sekalipun anak kecil tak akan dapat menahan
rawan hatinya pada waktu pertama kali melihat kata‐kata peringatan di kolam‐renang yang berbunyi,
“Terlarang bagi anjing dan bumiputera.” Anjing didahulukan. Dapatkah seorang manusia tidak
tersinggung perasaannya, apabila seorang kondektur Bumiputera harus menundukkan kepala kepada
setiap Belanda yang menaiki tremnya? Aku seorang anak berumur 14 tahun ketika mukaku ditampar oleh
seorang anak berhidung panjang, tak lain hanya disebabkan karena aku seorang inlander. Apakah
menurut pendapatmu tindakan‐tindakan yang demikian itu tidak meninggalkan gores luka dalam hati?
Ya, aku mempunyai kesadaran sebagai seorang anak. Aku memulai persembahan hidupku ini pada umur
16 tahun. Perkumpulan politik yang pertama kudirikan adalah Tri Koro Darmo yang berarti “Tiga Tujuan
Suci” dan melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial yang kami cari. Ini pada dasarnya
adalah suatu organisasi sosial dari para pelajar seumurku. Jong Java, sebagai langkah kedua, mempunyai
dasar yang lebih luas. Begitupun pergaulan sosial kami berlandaskan kebangsaan. Kami membaktikan diri
untuk memperkembangkan kebudayaan asli seperti mengajarkan tari Jawa atau mengajar main gamelan.
Jong Java pun banyak melakukan pekerjaan‐pekerjaan sosial. Kami pergi ke kampung‐kampung yang
berdekatan untuk mengumpulkan dana bagi sekolah atau untuk membantu korban bencana letusan
gunung. Kami mengadakan pertunjukan di tempat tempat yang memerlukan pertolongan dan
mengeluarkan biaya‐biaya itu dari hasil uang masuk. “Harus kuakui sekarang, bahwa tampangku di masa
muda sangat tampan sehingga kelihatan seperti anak gadis. Karena hanya sedikit wanita terpelajar pada
waktu itu, tidak banyak anak gadis yang menjadi anggota kami. Dan potonganku lebih banyak
menyerupai seorang perawan cantik sehingga kalau Jong Java mengadakan pertunjukan. Mana kalau
diserahi memainkan peran wanita yang naif itu. Aku betul‐betul membedaki pipi dan memerahkan
bibirku. Akan kuceritakan sesuatu kepadamu. Aku tidak tahu, bagaimana pendapat orang asing tentang
seorang Presiden yang mau menceritakan hal yang demikian itu. Tetapi sungguhpun demikian aku akan
menceritakannya juga. Aku membeli dua potong roti manis. Roti bulat. Seperti roti gulung. Dan kuisikan
ke dalam bajuku. Ditambah dengan bentuk badanku yang langsing setiap orang menyatakan, bahwa aku
kelihatan sangat cantik. Untunglah dalam peranku itu tidak termasuk adegan mencium laki‐laki. Selesai
pertunjukan kupikir, tentu aku tak dapat menghamburkan uangku begitu saja. Karena itu kukeluarkan roti
itu dari dalam baju dan kumakan.
Sambil memandangku diatas panggung para penontonpun memberikan komentarnya, bahwa aku
memperlihatkan bakat yang besar untuk tampil di muka umum. Akupun sangat setuju dengan pendapat
mereka, tidak lama kemudian aku mendapat kesempatan lain. Ketika itu diadakan pertemuan dari
Studieclub, yaitu suatu kelompok sebagai pengajaran tambahan dan bertujuan untuk membahas buahbuah
pikiran dan cita‐cita. Disinilah aku mengadakan pidato yang pertama. Aku berumur 16 tahun. Ketua
Studieclub mendapat giliran untuk berbicara dan mendadak aku dikuasai oleh suatu dorongan yang kuat
untuk berbicara. Aku tidak dapat mengendalikan diriku selanjutnya. Selagi duduk dalam pertemuan itu
aku melompat dan berdiri diatas meja. Suatu gerak perbuatan khas seperti kanak‐kanak. Kukira ini
disebabkan karena aku bersifat emosional. Sekarangpun aku masih demikian. Ketua menyatakan,
“Adalah menjadi suatu keharusan bagi generasi kita untuk menguasai betul bahasa Belanda.” Setiap
orang setuju. Setiap orang, kecuali aku sendiri. Aku gugup tentunya, akan tetapi ketika aku memperoleh
perhatian mereka, aku berbicara dengan suara tang tenang sekali, “Tidak. Saya tidak setuju, “Tanah
kebanggaan kita ini dulu pernah bernama Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti diantara.
Nusantara berarti ribuan pulau‐pulau ini, dan banyak di antara pulau‐pulau ini lebih besar daripada seluruh
negeri Belanda. Jumlah penduduk Negeri Belanda hanya segelintir jika dibandingkan dengan penduduk kita. Bahasa Belanda hanya dipergunankan oleh enam juta orang. “Mengapa suatu negeri kecil yang
terletak di sebelah sana dari dunia ini menguasai suatu bangsa yang dulu pernah begitu perkasa, sehingga
dapat mengalahkan Kublai Khan yang kuat itu?” Dengan suara tenang dan tidak terburu‐buru atau tegang
aku selanjutnya mengemukakan alasan‐alasan ditambah dengan kenyataan‐kenyataan. Aku mengakhiri
pidato itu dengan kata‐kata, “Saya berpendapat, bahwa yang harus kita kuasai pertama‐tama lebih dulu
adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu.
Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknya kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena
bahasa itu sekarang menjadi bahasa diplomatik. “Belanda berkulit putih. Kita sawomatang. Rambut
mereka pirang dan keriting. Kita punya lurus dan hitam. Mereka tinggal ribuan kilometer dari sini.
Mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?!” Maka terjadilah keributan karena sangat kagum. Mereka
tak pernah mendengar hal semacam ini sebelumnya. Kuingat Direktur H.B.S., Tuan Bot, berdiri disana.
Dia tidak berbuat apa‐apa melainkan memandang kepadaku dengan muka tidak senang sama sekali,
seakan dia berkata, “Oooh, Oooh, Sukarno mau bikin susah!” Sekalipun aku tidak membikin susah, aku
sudah cukup dibikin susah. Aku adalah anak baru di sekolah Belanda ini dan tambahan lagi seorang anak
Bumiputera.
H.B.S. mempunyai 300 orang murid. Hanja 2 diantaranya orang Indonesia. Aku dikeliiingi dari segala
jurusan oleh anak laki‐laki dan anak‐anak gadis Belanda. Sudah tentu mereka tidak senang padaku.
Terkecuali barangkali beberapa anak gadis, maka aku dianggap sepi. Sekolah mulai jam tujuh pagi sampai
jam satu siang, enam hari dalam seminggu. Diantara jam‐jam pelajaran ada waktu istirahat, pada waktu
mana setiap anak bermain atau jajan. Akan tetapi anak‐anak Belanda tentu memisah dari kami. Mereka
berusaha supaya kami tidak ada kawan. Merekapun berusaha supaya hidung kami selalu berlumuran
darah. Sewaktu kami masih sebagai siswa baru, seorang anak yang rapi pakai celana baru dan kaku
berwarna putih yang menjadi ketentuan untuk tahun pertama berdiri mengangkang menghalangi jalanku
dan mengejek, “Menyingkir dari jalanku, anak inlander.” Ketika aku berdiri disana dia melepaskan
tangannya PANGGGG !’ Tepat di hidungku! Jadi, kupukul dia kembali. Setiap hari aku pulang babak belur.
Aku tak pernah menjadi tukang berkelahi, tapi sekalipun aku dapat menahan penghinaan aku tak dapat
menghindari perkelahian tangan. Kadang‐kadang kukalahkan mereka, akan tetapi terkadangpun mereka
mengalahkanku. Kamipun mengalami diskriminasi di dalam sekolah. Sekolah begitu keterlaluan terhadap
kami, sehingga kalau seorang anak Bumiputera membuat suatu kesalahan maka Direktur
menghukumnya dengan larangan masuk kelas selama dua hari. Kami mencurahkan tenaga dengan
sungguh‐sungguh kepada pelajaran. Akan tetapi sekalipun kami bertekun siang dan malam, nilai yang
didapat oleh anak‐anak Belanda pasti lebih tinggi daripada yang diterima oleh anak Indonesia. Nilai
kecakapan diukur dengan angka. Angka 10 yang tertinggi dan angka enam adalah batas nilai cukup dan
inilah kebanyakan yang diterima oleh inlander. Kami mempunyai suatu pameo mengenai angka‐angka
ini: angka sepuluh adalah untuk Tuhan, sembilan untuk professor, angka delapan untuk anak yang luar
biasa, tujuh untuk Belanda dan enam untuk kami. Angka sepuluh tidak pernah diterima oleh anak
Bumiputera. Aku adalah penggambar cat air yang luar biasa.
Di tahun kedua kami disuruh menggambar kandang anjing. Sementara yang lain masih mengukur‐ukur
dan menaksir‐naksir dengan potlot aku sudah selesai menggambar kandang yang lengkap, di dalamnya
seekor anjing yang dirantai dan sepotong tulang. Guru perempuan kami memperlihatkan gambarku
kepada seluruh kelas. Ia mengatakan, “Gambar ini begitu hidup dan penuh perasaan, karena itu patut
mendapat nilai yang setinggi mungkin.” Tapi apakah aku memperoleh angka yang paling tinggi itu? Tidak.
Selalu orang kulit putih lebih pandai. Lebih cerdas. Orang kulit putih lebih banyak tahu. Alat kolonial tidak
akan berhasil, kecuali jika ia memupuk keunggulan kulit putih terhadap sawo matang. Guru‐guru sangat
sayang kepadaku. Aku anak yang patuh, sungguh‐sungguh dan hormat. Hanya sesekali aku bertindak di luar garis. Aku tidak pernah betul‐betul kurang ajar, akan tetapi pada suatu kali setelah pidatoku yang
pertama aku berjalan melalui ruangan ketika professor Egberts melihatku dan meneriakkan, “Hai,
Sukarno, bagaimana dengan kau punya ‘Jong Java’?” dan aku mengejek, Ya, Professor, bagaimana pula
dengan tuan punya ‘Oud Holland?” Aku menjadi favorit dari guru bahasa Jerman yang juga memimpin
Kelompok Perdebatan kami. Dalam memperdebatkan persoalan kehilir‐kemudik dan mengajukan
pendapat‐pendapat yang berlawanan, aku memperbaiki kecakapan berbicara. Professor Hartagh melihat,
bahwa aku dapat memimpin kawan‐kawanku.
Pada suatu pertemuan Hartagh menyampaikan kepada ke 20 orang murid secara bersama‐sama dan
kepadaku secara pribadi, bahwa aku akan menjadi pemimpin yang besar kelak. Professor mungkin punya
bola kristal untuk meramal. Iapun pernah menceritakan kepada orang lain, bahwa dia akan menjadi guru
dan memang itu dia jadinya. Seorang guru perempuan betul‐betul sangat sayang kepadaku, sehingga ia
memberiku nama Belanda. Aku, calon pemimpin dari suatu revolusi di masa yang akan datang, dengan
nama Belanda? Dia menamaiku Kerel. Dia bahkan memanggilku “Schat”, perkataan Belanda untuk
kesayangan. Kalau dia kelupaan kunci atau sesuatu barang, dia lalu menunjukku dan berkata dengan
manis, “Schat, maukah engkau pergi ke kamarku dan mengambil kunc?” Ach, ini adalah hak istimewa
yang sangat besar. Pada suatu hari dia mengajakku ke rumahnya untuk menerima pelajaran tambahan
bahasa Perancis. Aku gemetar karena anugerah yang istimewa itu. Pada waktu umurku semakin
mendekati kedewasaan aku masih gemetar dengan anugerah istimewa semacam ini. Akan tetapi karena
alasan lain. Aku sangat tertarik kepada anak‐anak gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan
percintaan dengan mereka. Hanya inilah satu‐satunya jalan yang kuketahui untuk memperoleh
keunggulan terhadap bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk pada kemauanku. Bukankah ini
selalu menjadi idaman? Apakah seorang jantan berkulit sawo matang dapat menaklukkan seorang lakilaki
kulit putih? Ini adalah suatu tujuan yang hendak diperjuangkan. Menguasai seorang gadis kulit putih
dan membikinnya supaya menginginiku adalah suatu kebanggaan.
Seorang pemuda tampan senantiasa mempunyai kawan gadis‐gadis yang tetap. Aku punya banyak.
Mereka
bahkan memuja gigiku yang tidak rata. Dan aku mengakui bahwa aku sengaja mengejar gadis‐gadis kulit
putih. Cintaku yang pertama adalah PauIine Gobee, anak salah seorang guruku. Dia memang cantik dan
aku tergila‐gila kepadanya. Kemudian menyusul Laura. Oo, betapa aku memujanya. Dan ada lagi keluarga
Raat. Mereka ini keluarga Indo dan mempunyai beberapa orang puteri ayu. H.B.S. letaknya di arah yang
berlawanan dengan rumah keluarga Raat, tapi sekalipun demikian setiap hari selama berbulan‐bulan aku
mengambil jalan keliling, hanya untuk lewat di muka rumahnya dan untuk menangkap selintas
pandangannya. Dekat itu terdapat Depot Tiga, warung tempat minum. Aku kadang‐kadang diajak oleh
salah seorang kawan kesana dan disanalah kami dapat duduk dengan gembira dan memandangi gadisgadis
Belanda lalu. Kemudian bagai suatu cahaja yang bersinar dalam gelap, muncullah Mien Hessels
dalam kehidupanku. Hilanglah Laura, lenyaplah keluarga Raat dari ingatan dan lenyap pulalah
kegembiraan Depot Tiga. Sekarang aku punya Mien Hessels. Dia sama sekali milikku dan aku sangat
tergila‐gila kepada kembang tulip berambut kuning dan pipinya jang merah mawar itu. Aku rela mati
untuknya kalau dia menghendakinya. Umurku baru 18 tahun dan tidak ada yang lebih kuinginkan dari
kehidupanku ini selain daripada memiliki jiwa dan raga Mien Hessels. Aku mengharapnya dengan
perasasn berahi dan sampailah aku pada suatu kesungguhan hati, aku harus mengawininya. Tak satupun
yang dapat memadamkan api yang sedang menggolak dalam diriku. Ia adalah bagai kembang gula di atas
kue yang takkan dapat kubeli. Kulitnya lembut bagai kapas, rambutnya ikal dan pribadinya memenuhi
segala‐galanya yang kuidamkan. Untuk dapat merangkulkan tanganku memeluk Mien Hessels nilainja
lebih dari segala harta bagiku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara kepada bapaknya. Aku
mengenakan pakaian yang terbaik, dan memakai sepatu.
Sambil duduk di kamarku yang gelap aku melatih kata‐kata yang akan kuucapkan dihadapannya. Akan
tetapi pada waktu aku mendekati rumah yang bagus itu aku menggigil oleh perasaan takut. Aku tak pernah sebelumnya bertamu kerumah seperti ini. Pekarangannya menghijau seperti beludru. Kembangkembang
berseri tegak baris demi baris, lurus dan tinggi bagai prajurit. Aku tidak punya topi untuk
dipegang, karena itu sebagai gantinya aku memegang hatiku.Dan disanaIah aku berdiri, gemetar,
dihadapan bapak dari puteri gadingku, seorang yang tinggi seperti menara yang memandang ke bawah
langsung kepadaku seperti aku ini dipandang sebagai kutu di atas tanah. “Tuan,” kataku. “Kalau tuan tidak
berkeberatan, saya ingin minta anak tuan.” , “Kamu? Inlander kotor, seperti kamu? sembur tuan Hessels,
“Kenapa kamu berani‐beranian mendekati anakku? Keluar, kamu binatang kotor. Keluar!” Dapatkah
orang membayangkan betapa aku merasa seperti didera dengan cambuk? Dapatkah kiranya orang
percaya, bahwa noda yang dicorengkan di mukaku ini pada satu saat akan pupus sama sekali? Sakitnya
adalah sedemikian, sehingga di saat itu aku berpikir, “Ya Tuhan, aku tak akan dapat melupakan ini.” Dan
jauh dalam lubuk hatiku aku merasa pasti, bahwa aku tidak akan dapat melupakan dewiku yang berparas
bidadari itu, Mien Hessels. 23 tahun kemudian, yaitu tahun 1942. Jaman perang. Aku sedang melihat lihat
etalase pada salah satu toko pakaian laki‐laki di suatu jalanan Jakarta, ketika aku mendengar suara di
belakangku, “Sukarno?” Aku berpaling memandangi seorang wanita asing, “Ya, saya Sukarno. “Dia
tertawa terkikik‐kikik, “Dapat kau menerka siapa saya ini?” Kuperhatikan dia dengan saksama. Dia
seorang nyonya tua dan gemuk. Jelek, badannya tidak terpelihara. Dan aku menjawab, “Tidak, nyonya.
Saya tidak dapat menerka. Siapakah Nyonya?”, “Mien Hessels,” dia terkikik lagi. Huhhhh! Mien Hessels!
Puteriku yang cantik seperti bidadari sudah berubah menjadi perempuan seperti tukang sihir. Tak pernah
aku melihat perempuan yang buruk dan kotor seperti ini. Mengapa dia membiarkan dirinya sampai
begitu. Dengan cepat aku memberi salam kepadanya, lalu meneruskan perjalananku. Aku bersyukur dan
memuji kepada Tuhan Yang Maha Penyayang karena telah melindungiku. Caci maki yang telah
dilontarkan bapaknya kepadaku sesungguhnya adalah suatu rahmat yang tersembunyi. Kalau dipikirpikir,
tentu aku takkan bisa lepas dari perempuan ini. Aku bersyukur kepada Tuhan atas perlindungan
yang telah diberikan‐Nya. Huhhh, orang apa itu! Jalan hidupku sebagai seorang pencinta di masa belia
berakhir ketika Bu Tjokroaminoto meninggal. Keluarga Pak Tjokro dengan anak‐anak yang bayar makan
pindah ke rumah lain. Dan pemimpin yang kumuliakan itu keadaannya begitu tertekan, sehingga aku
merasa kasihan melihatnya. Anaknya masih kecil‐kecil, dia seorang diri dan rumah itu asing suasananya.
Seluruh keluarga nampaknya tidak berbahagia sama sekali. Aku tidak dapat memandangi keadaan yang
demikian itu. Kami belum lama menempati rumah yang baru itu ketika saudara Pak Tjok datang
menemuiku dan berkata, “Sukarno, kaulihat bagaimana sedihnya hati Tjokroaminoto. Apakah tidak dapat
kau berbuat sesuatu supaya hatinya gembira sedikit?” Hatiku sangat berat dan menjawab, “Saya dengan
segala senang hati mau mengerjakan sesuatu, supaja dia dapat tersenyum lagi. Tapi apa yang dapat saya
lakukan? Saya tidak bisa menjadi isteri Pak Tjokro.” Bukan begitu, tapi engkau dapat menggembirakan
hatinya dengan cara lain.”
“Cara lain?
“Ya ?
“Bagaimana ?”
“Jadi menantunya. Puterinya Utari sekarang tidak punya ibu lagi. Tjokro sangat kuatir terhadap hari depan
anaknya itu dan siapa yang akan menjaganya dan mengasihinya. Inilah yang memberatkan pikirannya.
Saya kira, kalau engkau minta kawin dengan anak saudaraku itu, mungkin ini akan mengurangi sedikit
tekanan perasaan dari Pak Tjokro.”
“Tapi umurnya baru 16,” kataku memprotes.
“Ya memang, khan engkau belum 21. Perbedaan umur tidak begitu jauh. Katakanlah pada saya, Sukarno,
apakah ada perhatianmu sedikit terhadap anak kakakku ?”.
“Yah,” aku menerangkan pelahan‐lahan. “Saya sangat berterima kasih kepada Pak Tjokro … Saya
mencintai Utari. Tapi tidak terlalu sangat. Sungguhpun begitu, sekiranya saja perlu memintanya untuk
meringankan beban dari junjunganku, yah, saya bersedia. “Aku mendatangi Pak Tjokro dan mengajukan lamaranku. Dia sangat gembira dan oleh karena akan mendjadi menantu aku segera dipindahkan ke
kamar yang lebih besar dengan perabot yang lebih banyak. Sampai di hari ia menutup mata, ia tak pernah
mengetahui, bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanya karena aku sangat menghormatinya dan
menaruh kasihan kepadanya. Kami kawin dengan cara yang kita namakan “kawin gantung”. Ini adalah
perkawinan biasa yang dibenarkan dalam hukum dan agama.
Orang Indonesia menjalankan cara ini karena beberapa alasan. Kadang‐kadang dilangsungkan kawin
gantung terlebih dulu, karena kedua‐duanya belum mencapai umur untuk dapat menunaikan kewajiban
mereka secara jasmaniah. Atau adakalanya si anak dara tinggal di rumah orangtuanya sampai pengantin
laki‐laki sanggup membelanjai rumah tangga sendiri. Dalam hal kami, aku dapat tidur dengan isteriku
kalau aku menghendakinya. Akan tetapi aku tidak melakukannya karena dia masih kanak‐kanak. Boleh
jadi aku seorang yang pencinta, akan tetapi aku bukanlah seorang pembunuh anak gadis remaja Itulah
sebabnya, mengapa kami melakukan kawin gantung. Pesta kawinnya pun digantung. Di saat‐saat aku
mengawini Utari terjadi dua buah peristiwa, lain tidak karena pendirian yang kolot. Penghulu secara
serampangan menolak untuk menikahkan kami karena aku memakai dasi. Dia berkata, “Anak muda, dasi
adalah pakaian orang‐yang beragama Kristen. Dan tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama
Islam.”
“Tuan Kadi” aku membalas, “Saya menyadari, bahwa dulunya mempelai hanya memakai pakaian
Bumiputera, yaitu sarung. Tapi ini adalah cara lama. Aturannya sekarang sudah diperbarui.” Ya,” katanya
membentak, “Akan tetapi pembaruan itu hanya untuk memakai pantalon dan jas buka.” Adalah
kegemaran saya untuk berpakaian rapi dan memakai dasi,” aku menerangkan dengan tajam. Dalam hal
ini, kalau masih terus berkeras kepala untuk berpakaian rapi itu, saya menolak untuk melakukan
pernikahan.” Apabila aku ditegur dengan keras di muka umum, atau disuruh harus begini‐begitu atau lainlain,
aku menjadi keras. Dalam hal ini biarpun Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menyuruhku untuk
menanggalkan dasi. Aku menyentak bangkit dari kursiku dan menjawab dengan tandas, Barangkali lebih
baik tidak kita lanjutkan hal ini sekarang.” Timbul protes keras dari imam mesjid, akan tetapi aku
menggeledek, “Persetan, tuan‐tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan selalu memberontak, saya
tidak mau didikte orang di hari perkawinan saya.” Kalau sekiranya tidak di hadapan salah seorang tamu
kami yang juga seorang alim dan sanggup menikahkan kami, mungkinlah Sukarno tidak akan bersatu
dengan Utari Tjokroaminoto dalam pernikahan menurut agama.
Ketika lima menit lagi aku akan menghabisi masa jejakaku, terjadilah peristiwa aneh yang kedua. Tepat
sebelum aku menginjak ambang pintu aku mengambil rokok untuk melakukan hembusan yang terayhir.
Aku mengeluarkan korek api dari kantong, menggoreskan sebuah di sisi kotaknya untuk menyalakannya
dan. Sisst …… seluruh kotak itu menyala oleh jilatan api. Anak korek api yang ada dalam kotak itu
menyala semua sampai yang terakhir. Karena jilatan api ini jariku terbakar. Kuanggap kejadian ini sebagai
pertanda buruk dan memberikan kepadaku suatu perasaan ramalan yang gelap. Aku tidak menceritakan
hal ini kepada
siapapun, akan tetapi aku tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan yang menakutkan … Ehhh …. Apa
maksudnya ini?”.
Sekalipun kedudukanku sebagai orang yang baru kawin, waktuku di malam hari kupergunakan untuk
mempelajari Pak Tjokro. Aku menjadi buntut dari Tjokroaminoto. Kemana dia pergi aku turut. Sukarnolah
yang selalu menemaninya ke pertemuan‐pertemuan untuk berpidato, tak pernah anaknya. Dan aku hanya
duduk dan memperhatikannya. Dia mempunyai pengaruh yang besar terhadap rakyat. Sekalipun
demikian, setelah berkali‐kali aku mengikutinya aku menyadari, bahwa dia tak pernah meninggikan atau
merendahkan suaranya dalam berpidato. Tak pernah membuat lelucon. Pidato‐pidatonya tidak
bergaram. Aku tidak pernah
membaca salah satu buku yang murah tentang bagaimana cara menjadi pembicara di muka umum. Pun
tidak pernah berlatih di muka kaca. Bukanlah karena aku sudah cukup berhasil, akan tetapi karena aku tidak mempunyai apa‐apa.
Cerminku adalah Tjokroaminoto. Aku memperhatikannya menjatuhkan suaranya. Aku melihat gerak
tangannya dan kupergunakan penglihatanku ini pada pidatoku sendiri. Mula‐mula sekali aku belajar
menarik perhatian pendengarku. Aku tidak hanya menarik, bahkan kupegang perhatian mereka Mereka
terpaksa mendengarkan. Suatu getaran mengalir ke sekujur tubuhku ketika mengetahui, bahwa aku
memiliki suatu kekuatan yang dapat menggerakkan massa. Aku menguraikan pokok pembicaraanku
dengan sederhana. Pendengarku menganggap cara ini mudah untuk dimengerti, karena aku lebih banjyk
mendasarkan pembicaraanku kepada cara bercerita, jadi tidak semata‐mata memberikan fakta dan
angka. Aku berbuat menurut getaran perasaanku. Pada suatu malam Pak Tjokro tidak dapat memenuhi
undangan ke suatu rapat dan kepadaku dimintanya untuk menggantikannya. Kali ini adalah suatu
pertemuan kecil, akan tetapi aku menggunakan ke sempatan ini dengan sebaik‐baiknya. Aku mulai
dengan suara lunak. “Negeri kita, saudara, adalah tanah yang subur, sehingga kalau orang menanamkan
sebuah tongkat ke dalam tanah, maka tongkat itu akan tumbuh dan menjadi sebatang pohon. Sekalipun
demikian rakyat menderita kekurangan dan kemelaratan adalah beban yang harus dipikul sehari‐hari.
Puncak gunung menghisap awan di langit, turun ke bumi dan negeri kita diberi rahmat dengan hujan yang
melimpah‐limpah. Akan tetapi kita kekurangan makan dan perut kita menjerit‐jerit kelaparan.” Ya, betul,”
mereka berteriak dari tempat duduknya. Suaraku mulai naik. “Saudara tahu apa sebabnya, saudarasaudara?
Sebabnya ialah, oleh karena orang yang menjajah kita tidak mau menanamkan uang kembali
untuk memperkaya bumi yang mereka peras. Pendajah hanya mau memetik hasilnya. Ya, mereka
menyuburkan bumi kita ini. Betul! Akan tetapi tahukah saudara dengan apa mereka menyuburkan bumi
kita ini? Tahukah saudara apa yang dikembalikan ke bumi kita ini setelah 350 tahun menjajah? Saya akan
ceritakan kepada saudara‐saudara. Bumi kita ini mereka suburkan dengan mayat‐mayat yang
bergelimpangan dari rakyat kita yang mati karena kelaparan, kerja keras dan hanya tinggal tulang
belulang!, Maka dari itu saya bertanya, apakah saudara tidak setuju dengan saja? Seperti saya sendiri,
apakah hati saudara tidak digoncang‐goncang oleh keinginan untuk merdeka? Saya pergi tidur dengan
pikiran untuk merdeka. Saya bangun dengan pikiran untuk merdeka. Dan saya akan mati dengan cita‐cita
untuk merdeka d idalam dadaku.
Apakah saudara tidak setuju dengan saya?” ,”Setujuuuuuu!” mereka berteriak, “Ya…. kami setuju!”
Mereka melihat kepadaku kalau aku berbicara. Mereka memandang kepadaku seperti memuja, matamata
terbuka lebar, muka‐muka terangkat ke atas, meneguk semua kata‐kataku dengan penuh
kepercayan dan harapan. Nampak jelas, bahwa aku menjadi pembicara yang ulung. Ia berada dalam urat
nadiku.
Aku menghirup lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Pak Tjokro, dapur daripada nasionalisme. Dan
setelah mengikuti setiap pidatoku maka kawan‐kawan seperjuangan mulai mengerti lebih banyak tentang
pendirianku. Kemudian mulai setuju. Lalu mengikuti pendirianku. Dan mencintaiku. Mereka memilihku
sebagai sekretatis dari Jong Java dan beberapa waktu kemudian aku mendjadi ketua.
Akupun menulis untuk majalah Pak Tjok, “Oetoesan Hindia”, akan tetapi dengan nama samaran, karena
memang susah untuk memasuki sekolah Belanda sambil menulis dalam majalah yang membela tindakan
untuk merobohkan Pemerintah Belanda. Aku kembali kepada Mahabharata untuk memperoleh nama
samaranku. Aku memilih nama “Bima” yang berarti “Prajurit Besar” dan juga berarti keberanian dan
kepahlawanan. Aku menulis lebih dari 500 karangan. Seluruh Indonesia membicarakannya. Ibu, yang
tidak tahu tulis baca, dan bapakku tidak pernah tahu bahwa ini adalah anak mereka yang menulisnya.
Memang benar, bahwa keinginan mereka yang paling besar adalah, agar aku menjadi pemimpin dari
rakyat, akan tetapi tidak dalam usia semuda itu. Tidak dalam usia yang begitu muda, yang akan
membahayakan pendidikanku di masa yang akan datang. Bapak tentu akan marah sekali dan akan
berusaha dengan berbagai jalan untak mencegahku menulis. Aku tidak akan memberanikan diri
menyampaikan kepada mereka, bahwa Karno kecil dan Bima yang gagah berani adalah satu. Ramalan emas yang pertama kali diucapkan oleh ibu di waktu aku lahir —yang didengungkan kembali oleh nenekku
pada waktu aku masih bocah kecil dan yang didengungkan lagi di masa mudaku oleh Professor Hartagh—
kemudian diucapkan pula ketika aku berada d iambang pintu usiaku yang keduapuluh. Dan oleh dua
orang jang berlainan.
Dr. Douwes Dekker Setiabudi adalah seorang patriot yang telah menderita selama bertahun‐tahun dalam
pembuangan. Ketika umurnya sudah lebih dari 50 tahun ia menyampaikan kepada partainya, yaitu
National Indische Partij, “Tuan‐tuan, saya tidak menghendaki untuk digelari seorang veteran. Sampai
saya masuk keliang kubur saya ingin menjadi pejuang untuk Republik Indonesia. Saua telah berjumpa
dengan pemuda Sukarno. Umur saua semakin lanjut dan bilamana datang saatnua saya akan mati, saya
sampaikan kepada tuan‐tuan, bahwa adalah kehendak saya supaya Sukarno yang menjadi pengganti
saya. “Anak muda ini,” ia menambahkan, “..akan menjadi ‘Juru selamat’ dari rakyat Indonesia di masa
yang akan datang. “Ramalan yang kedua keluar dari Pak Tjokro, seorang penganut Islam yang saleh. Dia
banyak mempergunakan waktunya untuk sembahyang dan mendo’a. Setelah beberapa lama melakukan
samadi, ia kembali kepada seluruh keluarganya pada suatu malam yang berhujan dan ia berbicara dengan
kesungguhan hati?, “Ikutilah anak ini. Dia diutus oleh Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar kita. Aku
bangga karena telah memberinya tempat berteduh di rumahku.” Sepuluh Juni 1921 aku lulus. Sebelas Juni
rencana yang telah kuperbuat untuk diriku sendiri ditolak mentah‐mentah. Kawan‐kawanku dan aku
bermaksud akan meneruskan pelajaran ke sekolah tinggi di Negeri Belanda. Ibu tidak mau tahu sama
sekali dengan itu.
Aku bersoal dengan dia. “Ibu, semua anak‐anak yang lulus dari H.B.S. dengan sendirinya pergi ke Negeri
Belanda. Itulah jalan yang biasa. Kalau orang mau memasuki sekolah tinggi dia pergi ke Negeri Belanda.
“Tidak. Tidak bisa. Anakku tidak akan pergi ke Negeri Belanda,” ia memprotes. “Apa salahnya keluar
negeri?”,,”Tidak ada salahnya,” katanya. “Tapi banyak jeleknya untuk pergi ke negeri Belanda. Apakah yang menyebabkan kau tertarik?: Pikiran untuk mencapai gelar universitas ataukah pengharapan akan
mendapat seorang perempuan kulit putih?”,”Saya ingin masuk universitas, Bu.” Kalau itu yang kauingini,
kau memasuki yang disini. Pertama kita harus mengingat kenyataan pokok yang mengendalikan sesuatu
dalam hidup kita, Uang. Pergi keluar negeri memerlukan biaya yang sangat besar. Disamping itu, engkau
adalah anak yang dilahirkan dengan darah Hindia. Aku ingin supaya engkau tinggal di sini diantara bangsa
kita sendiri. Jangan lupa sekali‐kali, nak!, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepulanan ini.”
Dan begitulah aku mendaftarkan diri keuniversitas di Bandung. Mungkin suara ibu yang kudengar. Akan
tetapi sesungguhnya tangan Tuhanlah yang telah menggerakkan hatiku.

BANDUNG MENUJU GERBANG DUNIA PUTIH

BAB V: Bandung Gerbang Ke Dunia Putih
MINGGU terakhir bulan Juni tahun 1921, aku memasuki kota Bandung, kota seperti Princeton atau kota
pelajar lainnya dan kuakui bahwa aku senang juga dengan diriku sendiri. Kesenangan itu sampai
sedemikian sehingga aku sudah memiliki sebuah pipa rokok. Jadi dapat dibayangkan, betapa
menyenangkan masa yang kulalui untuk beberapa waktu. Salah satu bagian daripada egoisme ini adalah
berkat suksesku dalam pemakaian peci, kopiah beludru hitam yang menjadi tanda pengenalku, dan
menjadikannya sebagai lambang kebangsaan kami. Pengungkapan tabir ini terjadi dalam pertemuan Jong
Java, sesaat sebelum aku meninggalkan Surabaya. Sebelumnya telah terjadi pembicaraan yang hangat
karena apa yang menamakan dirinya kaum intelligensia, yang menjauhkan diri dari saudara‐saudaranya
rakyat biasa, merasa terhina jika memakai blangkon, tutup kepala yang biasa dipakai orang jawa dengan
sarung, atau peci yang biasa dipakai oleh tukang becak dan rakyat jelata lainnya. Mereka lebih menyukai
buka tenda daripada memakai tutup kepala yang merupakan pakaian sesungguhnya dari orang Indonesia.
Ini adalah cara dari kaum terpelajar ini mengejek dengan halus terhadap kelas‐kelas yang lebih rendah.
Orang‐orang ini bodoh dan perlu belajar, bahwa seseorang tidak akan dapat memimpin rakyat banyak
jika tidak menjatuhkan diri dengan mereka. Sekalipun tidak seorang juga yang melakukan ini diantara kaum terpelajar, aku memutuskan untuk rnempertalikan diriku dengan sengaja kepada rakyat jelata.
Dalam pertemuan selanjutnja kuatur untuk memakai peci, pikiranku agak tegang sedikit. Hatiku berkatakata.
Untuk memulai suatu gerakan yang jantan seperti ini secara terang‐terangan memang memerlukan
keberanian. Sambil berlindung di belakang tukang sate di jalanan yang sudah mulai gelap dan menunggu
kawan‐kawan seperjuangan yang berlagak tinggi lewat semua dengan buka tenda dan rapi, semua
berlagak seperti mereka itu orang Barat kulit putih, aku ragu‐ragu untuk sedetik. Kemudian aku bersoal
dengan diriku sendiri, “Jadi pengikutkah engkau, atau jadi pemimpinkah engkau ” , “Aku pemimpin,”
jawabku menegaskan. “Kalau begitu, buktikanlah,” kataku lagi pada diriku. “Hayo maju. Pakailah pecimu.
Tarik napas yang dalam! Dan masuk SEKARANG!!! “Begitulah kulakukan. Setiap orang memandang heran
padaku tanpa kata‐kata. Di saat itu nampaknya lebih baik memecah kesunyian dengan buka bicara,
“Janganlah kita melupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat dan bukan berada
diatas rakyat. “Mereka masih saja memandang.
Aku membersihkan kerongkongan. “Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia.
Peci yang memberikan sifat khas perorangan ini, seperti yang dipakai oleh pekerja‐pekerja dari bangsa
Melayu, adalah asli kepunyaan rakyat kita. Namanya malahan berasal dari penakluk kita. Perkataan
Belanda ‘pet’ berarti kupiah. ‘Je’ maksudnya kecil. Perkataan itu sebenarnya ‘petje’. Hayolah saudarasaudara,
mari kita angkat kita punya kepala tinggi‐tinggi dan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia
Merdeka. “Pada waktu aku melangkah gagah keluar dari kereta api di stasiun Bandung dengan peciku
yang memberikan pemandangan yang cantik, maka peci itu sudah menjadi lambang kebangsaan bagi
para pejuang kemerdekaan. Kalau sekarang peci itu bagiku lebih rnerupakan sebagai lambang untuk
pertahanan diri. Sesungguhaya, kepalaku kian hari semakin botak. Karena orang Islam diharuskan
mencuci rarnbutnya setelah dia berhubungan dengan seorang perempuan, maka kawan‐kawan
menggangguku, “Hei Sukarno, itu barangkali yang membikin Bung botak.” Apapun alasannya, aku
gembira karena telah mempunyai pandangan ke depan 44 tahun yang lalu untuk membikin peci ini begitu
hebat, sehingga masyarakat sekarang menganggap tidak pantas jika membuka peci di muka umum. Pak
Tjokro mempunyai seorang kawan lama di Bandung. Dan orang ini telah sering mendengar tentang
pemuda yang rnendapat perlindungan dari Pak Tjokro.
Ketika aku pindah dari Jawa Timur ke daerah Jawa Barat ini, Pak Tjokro telah meggusahakan tempatku
menginap di rumah tuan Hadji Sanusi. Aku pergi lebih dulu tanpa Utari untuk mengatur tempat dan
melihat‐lihat kota, rumah mana yang akan menjadi tempat tinggal kami selama empat tahun begitulah
menurut perkiraanku di waktu itu. Aku merasa hawanya dingin dan wanitanya cantik‐cantik. Kota
Bandung dan aku dapat saling menarik dalam waktu yang singkat. Seorang laki‐laki yang sudah setengah
baya yang memperkenalkan dirinya sebagai Sanusi datang sendiri menjemputku dan membawaku ke
rumahnya. Dengan segera aku mengetahui, bahwa perjalanan pendahuluan ini tidaklah sia‐sia. Sekalipun
aku belum memeriksa kamar, tapi jelas bahwa ada keuntungan tertentu dalam rumah ini. Keuntungan
yang utama sedang berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap, bentuk badannya nampak jelas
dikelilingi oleh cahaya lampu dari belakang.
Perawakannya kecil, sekuntum bunga merah yang cantik melekat di sanggulnya dan suatu senyuman
yang menyilaukan mata. Ia isteri Hadji Sanusi, Inggit Garnasih. Segala percikan api, yang dapat memancar
dari seorang anak duapuluh tahun dan masih hijau tak berpengalaman, menyambar‐nyambar kepada
seorang perempuan dalam umur tigapulahan yang sudah matang dan berpengalaman. Di saat pertama
aku melangkah melalui pintu masuk aku berpikir, “Aduh, luarbiasa perempuan ini.” Aku sadar, lebih baik
aku cepat‐cepat berhenti mengingatnya. Karena itu ingatan kepada nyonya rumah itu kuhilangkan dari
pikiranku —untuk sementara— kemudian menyuruh datang Utari dan memusatkan pikiran pada
persoalan masuk Sekolah Teknik Tinggi mengejar gelar Insinjur, bukan untuk merusak perkawinan orang. Di waktu sekarang kami mempunyai Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gadjah Mada di
Jogjakarta, Universitas Airlangga di Surabaya, Universitas Lambung Mangkurat di Kalimantan dan
berlusin‐lusin universitas penuh sesak menurut kemampuannya. Akan tetapi pada waktu aku memasuki
Sekolah Teknik Tinggi kami hanya 11 orang anak Indonesia. Aku termasuk salah seorang dari 11 orang
yang berrnuka hitam, terapung‐apung kian kemari dalam lautan kulit putih berarnbut merah, berjerawat
dan bermata hijau seperti kucing. Seperti dugaan kami, anak‐anak Belanda tidak mau tahu dengan kami
di dalam kampus itu. Kalaupun rnereka memberi perhatian kepada kami, itu hanya untuk membusukkan
kami atau menyorakkan, “Hei kamu, anak inlander bodoh, mari sini!.” Aku tidak tahu kekuatan apa yang
ada padaku.
Aku hanya tahu, bahwa sekalipun aku tidak mengucapkan sepatah kata, kehadiranku saja sudah cukup
untuk menutup mulut orang‐orang yang menghina, lalu menghentikan perintah‐perintahnya. Kami
membanting tulang di Sekolah. Pekerjaan rumah banyak sekali. Kuliah‐kuliah yang diberikan enarn hari
dalam seminggu ditambah dengan ujian tertulis setiap triwulan selama sebulan penuh, sungguh‐sungguh
rasanya seperti akan mematahkan tulang punggung karena bertekun. Waktuku tidak banyak untuk Utari.
Akupun tidak banyak mempunyai persamaan dengan dia. Selagi aku belajar ilmu pasti, ilmu alam dan
mekanika, yang bernama isteriku itu berada di pekarangan belakang bermain dengan kawan‐kawan
perempuannya. Selagi aku mempidatoi perkumpulan pemuda di waktu malam, bayi yang telah kukawini
bergelut dengan seorang anak, kemenakan nyonya Inggit. Kami menempuh jalan masing‐masing. Dia
masih hijau sekali. Sifat pemalunya terlalu berkelebihan, sehingga jarang berbicara denganku, kalaupun
ada.Kami tidur berdampingan di satu tempat tidur, tapi secara jasmaniah kami sebagai kakak beradik. Di
Bandung dia jatuh sakit. Sementara dia terbaring dengan payah aku merawatnya. Berkali‐kali aku melap
tubuhnya yang panas dengan alkohol, dari ujung kepala sampai ke ujung jari kakinya, namun tak
sekalipun aku menjamahnya. Ketika ia sudah pulih kembali antara kamipun tidak terdapat perhubungan
jasmani.
Kami bahkan dengan setulus hati tidak mengidamkan satu sama lain dalam arti cinta antara laki‐laki dan
dara yang sebenarnya. Maksudku, dia tidak mernbenciku dan aku tidak membencinya, akan tetapi ini
bukanlah perkawinan yang lahir dari perasaan berahi yang menyala‐nyala. Tidak banyak kesempatan
untuk menggunakan waktu bagi kesenangan diri, oleh karena seluruh jiwa dan ragaku segera penuh
dengan berbagai kesukaran. Setelah tinggal di Bandung selama dua bulan, surat kabar memuat beritaberita
besar tentang kegiatan revolusioner yang terakhir, aksi pemogokan di Garut. Kejadian ini dianggap
sebagai persoalan afdeling, yaitu persoalan daerah. Pemerintah Kolonial sudah dibikin susah oleh
pertumbuhan Nasionalisme yang pesat. Nyamuk celaka yang baru mendengung‐dengung di tahun 1908
dengan semboyan‐semboyan politik tanpa kekerasan, sekarang telah menjadi besar dan mengandung
racun ketidakpuasan dengan gigitannya yang mematikan. Para pekerja sudah diorganisir; rnereka
menuntut hak; menuntut undang‐undang perburuhan yang menjamin jam kerja yang lebih pendek
daripada 18 jam; menuntut upah yang pantas dan menuntut suatu masyarakat yang bekerja tanpa
“Exploitation de l’homme par l’homme”. Di Indonesia telah bertunas organisasi para pekerja seperti
Persatuan Buruh Gula dan Serikat Pekerja Rumah Gadai.
Dalam jaman dimana orang Barat telah mengenal pemogokan sebagai hak dari serikat‐serikat buruh
untuk mencoba memperbaiki nasibnya yang menyedihkan, maka pemerintah Hindia Belanda dalam
usahanya untuk mematikan “sifat‐radikal” dan “Komunisme”, sebagaimana mereka menamakannya,
mengeluarkan undang‐undang baru, Artikel 161. Yaitu larangan terhadap pemogokan. Hukum pidana
bahkan sekarang menetapkan, bahwa barangsiapa yang menghasut seseorang untuk melakukan
pemogokan diancam dengan hukurnan enam tahun penjara. Ini sangat menusuk hatiku pribadi, karena
para pembesar berkeyakinan bahwa pemogokan di Garut dipupuk oleh Sarekat Islam. Di hari itu juga mereka menahan Tjokroaminoto. Keluarga Pak Tjokro sedang berada dalam kekurangan. Penderitaan
mereka adalah penderitaanku juga. Apa akal … Apa akal …. Apakah aku akan madu terus dan memikirkan
diri sendiri serta apa yang kuharapkan dapat tercapai di hari esok? Ataukah aku akan mundur ke belakang
dan memikirkan Pak Tjokro dan apa yang telah dikerjakannya untukku di hari kemarin? Dihadapanku
terentang jalan raya berlapiskan emas yang menuju kepada ijazah sekolah tinggi. Dibelakangku
terhampar jalanan kembali menuju kamar yang gelap dan kehidupan yang suram. Soalnya adalah mana
yang lebih penting mana yang lebih mudah dapat dikorbankan oleh seorang anak Bumiputera? Gerbang
menuju dunia putihkah? Atau mengorbankan kesetiaan kepada prinsipnyakah? Bagiku tidak ada
kesangsian jiwa. “Saya akan meninggalkan Bandung besok menuju Surabaya, “dengan tegas
kusampaikan kepada nyonya Inggit di dapur esok paginya. “Untuk berapa lama?” tanyanjy. “Saya tidak
tahu. Barangkali untuk selama‐lamanya. Ini tergantung kepada lamanya hukuman Pak Tjokro. Apakah
enam bulan atau dua puluh tahun, selama itu pula saya harus berbuat apa yang harus saya perbuat.” Ia
menjydiakan kopi tubruk, kopi hitam pekat yang tak dapat kutinggalkan, dan tangannya gemetar sedikit.
“Dengan meninggalkan sekolah ada kemungkinan engkau melepaskan segala harapan untuk mencapai
cita‐citamu,” hanja itu ucapanncya , “Saya menyadari hal itu.
Saya juga menyadari, bahwa Pak Tjokro mertuaku. Saya anak tertua dari keluarganya. Tapi soalnjy bukan
itu saja, lebih lagi dari itu. Saya harus berbakti pada orang yang kupuja itu dan kepada prinsipku.” Tapi
isterinya yang baru tidak menulis surat kepadamu untuk minta bantuan,” ia mengemukakan. “Anaknya
juga tidak memberi kabar apa‐apa tentang kesukaran mereka. Malahan tak seorangpun meminta engkau
datang. “Saya harus pergi. Kurasakan dalam dadaku, bahwa itu menjadi tugas saya …. Tidak! Saya
rasakan ini sebagai hak istimewaku untuk bisa menyelamatkan mercusuar ini yang telah menunjukkan
jalan kepadaku. “Aku memperhatikan bubuk kopi turun hingga ia mengendap ke dasar cangkir. “Saya
mendapat kabar, bahwa penahanan terhadap Pak Tjokro dua hari yang lalu itu tidak diduga samasekali.
Belanda mendadak menggedor rumahnya di tengah malam buta dan menggiringnya dengan ujung
bajonet ke dalam tahanan. Dia tidak mendapat kesempatan untuk mengatur keluarga yang dicintainya.
Dan tak seorangpun yang akan mengawasi mereka. Jadi nampaknya jelas bagimu, bahwa dari semua
pengikutnya yang jumlahnya jutaan orang itu hanya engkau yang akan memikul kewadjiban itu diatas
pundakmu?” ,Ya, itu kewajiban saya. Dia mergulurkan tangannya pada waktu saya memerlukan rumah
dan tempat berteduh. Sekarang saya harus berbuat begitu pula kepadanya Mengejar kehidupan sendiri,
sementara orang yang sudah diakui keluarga berada dalam kesusahan bukanlah cara orang Indonesia.”
Maksudmu,” katanya lunak, “Bahwa itu bukanlah cara Soekarno.” Di pagi itu juga aku rnelaporkan
keberhentianku mengikuti kuliah. Presiden dari Sekolah Teknik Tinggi, Professor Klopper, rupanya kuatir
terhadap tindakanku ini. “Sudah menjadi kebiasaanmu, bahwa seluruh keluarga memberikan korban
mereka untuk meneruskan pendidikan dari salah seorang anggotanya yang berbakat, bukan?” ia
menanyaku dengan ramah.,”Ya, tuan. Saya kira, bahkan kelaparan pun tak dapat mencegah keluarga
saya mengadakan biaya yang perlu bagi pendidikan anaknya. Sebagai mantri guru bapak membanting
tulang seperti pekerja lainnya.
Ibu duduk berjam‐jam lamanya melukis kain batik sampai tengah malam hingga pelita dan pemandangan
matanya mendjadi samar. Supaya dapat mengumpulkan dengan susah payah uang 300 rupiah untuk uang
kuliah setahun, orangtua saya baru‐baru ini menambah orang bayar makan. Kakak saya dan suaminya
juga membantu setiap bulan.”Kalau dibelakang hari,” Professor Klopper melanjutkan, “Engkau hanya
ditempatkan sebagai pekerja di lapangan, bagaimana engkau membayar kembali kepada orang‐orang
yang menyokongmu selama belaja ?”, “Itu bukanlah kebiasaan kami,” aku menerangkam ,”Mereka akan
marah kalau saya mencoba yang demikian. Cara kami sebaliknya. Kami harus selalu bersedia membantu
orang yang pernah menolong kita di waktu ia memerlukannya. Itulah yang dinamakan gotong‐royong. Saling membantu. Dan karena itulah saya harus pulang.” Di hari berikutnya aku mengumpulkan isteriku,
mengumpulkan segala harapan dan idamanku dan membawa semua ia pulang ke Surabaya. Supaya
dapat membantu rumah tangga aku bekerja sebagai klerk di stasiun kereta api. Kedudukanku adalah
sebagai Raden Sukarno, BKL. Der Eerste Klasse. Eerste Categorie.”
Sebagai seorang klerk kantor kelas satu golongan satu aku menelan uap dan asap selama tujuh jam dalam
sehari, karena kantorku yang tidak dimasuki hawa bersih berhadapan dengan rel dari pelataran stasiun
yang menyedihkan. Tugas beratku yang utama adalah membuat daftar gaji untuk para pekerja. Oleh
karena bekerja sehari penuh, aku tidak punya kesempatan mengulangi pelajaran. Akan tetapi ada
baiknya, karena tempat yang luar biasa ramainya ini menjadi tempat keluar masuk kereta api yang datang
dari kota‐kota lain seperti Madiun, Djogja, Malang, Bandung dan aku dapat berhubungan dengan massa
pekerja. Tak pernah aku menyia‐nyiakan kesempatan untuk menaburkan bibit Nasionalisme. Aku
menerima 165 rupiah sebulan. 125 kuserahkan kepada ketuarga Pak Tjokro. Di waktu mereka patah
semangat dan bersusah hati, kubawa mereka menonton film dengan apa yang masih tersisa dari uangku
yang 40 rupiah itu. Atau kubelikan barang‐barang kecil seperti kartu pos bergambar. Hanya ini yang dapat
kuadakan, akan tetapi besar artinya bagi mereka. Kuberikan pakaianku untuk dipakai. Aku menjaga
disiplin mereka dengan pukulan sandal pada belakangnya.
Aku mendalankan segala tugas orangtua, sampai kepada menyunatkan Anwar. Aku sendiri mencari obat,
mencari orang alim dan menyelenggarakan selamatannya. Bertahun‐tahun kemudian, setelah Anwar
mendjadi seorang tokoh politik, aku mengganggunya, “Nah, jangan kaulupakan, akulah yang
menyunatkanmu. “Pada waktu Pak Tjokro dijatuhi hukuman karena persoalan politik, Belanda melarang
anak‐anaknya untuk melanjutkan sekolah. Jadi, Sukarnolah yang mengajar mereka. Akupun mengajar
mereka menggambar. Untuk membeli kertas atau batu tulis tidak ada uang, akan tetapi dinding rumah di
Jalan Plambetan dipulas dengan kapur putih. Bukankah dinding putih baik untuk digambari? Maka
kugambarkan dari luar kepala gambar persamaan, dan karikatur dari bintang film kesayanganku, Frances
Ford. Terlepas dari persoalan apakah kami menjadi tokoh‐tokoh politik di masa‐masa yang akan datang
atau tidak, maka pada waktu itu sesungguhnyalah kami merupakan suatu rumah tangga yang terdiri dari
anak‐anak jang ketakutan dan lapar dalam arti yang murni. Dan Aku? Aku adalah yang paling besar,
hanya itu.
Pak Tjokro dibebaskan pada bulan April 1922. setelah tujuh bulan meringkuk dalam tahanan. Bulan Juli,
pada waktu mulai tahun pelajaran baru secara resmi, aku kembali ke Sekolah Teknik Tinggi dan kembali
kepada nyonjy Inggit. Utari dan aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat tidur, bahkan satu
kamarpun tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seorang yang baru kawin kasih
sayangku kepadanya hanja sebagai kakak. Sebagai kepala rumah tangga dari Pak Tjokro perananku
sebagai seorang bapak. Yang tidak dapat dibayangkan sekarang adalah perasaanku sebagai seorang
suami. Aku telah memperhatikan, kalau engkau membelah dada seseorang termasuk aku sendiri maka
akan terbaca dalam dadanya itu bahwa kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si isteri
merupakan perpaduan dari pada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Aku ingin diibui oleh teman
hidupku. Kalau aku pilek, aku ingin dipijitnya. Kalau aku lapar, aku ingin memakan makanan yang
dimasaknya sendiri. Manakala bajuku koyak, aku ingin isteriku menarnbalnya. Dengan Utari keadaannya
terbalik. Aku yang menjadi orang tuanya, dia sebagai anak.
Ia bukan idamanku, oleh karena tidak ada tarikan lahir dan dalam kenyataan kami tak pernah saling
mencintai. Sebagai teman seperjuangan, orang yang demikian tidak sanggup menemaniku pada waktu
tenagaku terpusat pada penyelamatan dunia ini, sedang dia sementara itu main bola tangkap. Sudah
menjadi suatu kebiasaanku untuk menoleh kepada seorang wanita supaya hatiku dapat terhibur. Kalau
harus diadakan pilihan antara wanita yang memiliki tangan yang cantik dengan seorang yang memiliki
hati yang lembut, maka aku seringkali tertarik pada yang terakhir ini. Aku tidak lebih mengutarnakan hubungan lelak iperempuan, akan tetapi aku memerlukan hati yang lembut dan dorongan yang besar dan
mulia yang hanya dapat diberikan oleh hati seorang wanita. Inggit dan aku berada bersama‐sama setiap
malam. Aku adalah orang yang selalu bangun dan membaca. Inggitpun lambat pergi tidur karena harus
menyiapkan makan untuk hari berikutnya. Dia selalu ada disekelilingku. Dia adalah nyonya rumah. Aku
orang bayar makan. Kami berteduh dibawah atap yang sama. Aku melihatnya di pagi hari sebelum ia
menggulung sanggulnya. Dia melihatku dalam pakaian piyama. Aku senantiasa makan bersama‐sama
dengan dia. Memakan makanan yang dimasaknya sendiri. Sayuran seperti lodeh, yaitu sayuran yang
dimasak dengan santan pakai cabe yang kusenangi atau oncom yang juga kusukai ataupun makanan lain
yang khusus dibuatnya untuk menyenangkan hatiku. Dia itulah bukan isteriku yang membereskan
karnarku, melayaniku, memperhatikan pakaianku dan mendengarkan buah pikiranku. Dialah orang yang
bertindak sebagai ibu kepadaku, bukan Utari.
Tuan Sanusi orang yang sudah berumur dan sama sekali tidak peduli terhadap isterinya. Seorang penjudi
dengan kegemarannya yang luar biasa main bilyar. Setiap malam ia berada di rumah bola untuk
mencobakan kecakapannya. Pada praktekola mereka bercerai di satu rumah. Rumah tangga mereka tidak
berbahagia. Sebagai suami isteri, mereka serumah, lain tidak. Lalu masuklah kedalam lingkungan ini
seorang muda yang bernafsu dan berapi‐api. Ia sangat tertarik kepadanya. Ia melihat dalam diri
perempuan itu seorang wanita yang sadar, bukan kanak‐kanak, seperti yang satunya yang masih main
kucing‐kucingan di luar. Keberanian ini mulai bangkit. Aku seorang yang sangat kuat dalam arti jasmaniah
dan di hari‐hari itu belum ada televisi ….. hanya Inggit dan aku di rumah yang kosong. Dia kesepian. Aku
kesepian. Perkawinannya tidak betul. Dan perkawinanku tidak betul. Dan adalah wajar, bahwa hal‐hal
yang demikian itu tumbuh. Inggit dan aku banjak mengalami saat‐saat yang menyenangkan bersamasama.
Kami keduanya mempunyai perhatian yang sama. Dan barangkali juga ….. yah, kami keduanya
bahkan sama mencintai Sukarno. Disamping hakekatnya sebagai seorang perempuan, diapun memuja
Sukarno secara menghambakan diri sama sekali dan membabi buta baik atau buruk, benar atau salah.
Tidak lain dalam hidupnya kecuali Sukarno serta segala apa yang menjadi pikiran, harapan dan idaman
Sukarno. Aku berbicara dia mendengarkan.
Aku berbicara dengan sangat gembira; dia menghargai. Utari menyadari apa yang terjadi, akan tetapi ia
mengetahui, bahwa persatuan kami tidak akan membawa kebahagiaan. Karena ia tidak pernah
mengenalku dalam arti suami isteri ang sebenarnya, maka tidak timbul iri hati dari pihaknya. Hadji
Sanusipun mengetahui apa ang sedang berkembang, akan tetapi perkawinannya sudah sejak lama rusak.
Aku tidak merasa bahwa aku merebutnya dari sang suami ataupun merusak suatu rumah tangga yang
berbahagia, sebagaimana yang dikatakan oleh majalah‐majalah luar negeri. Tidak ada sesuatu yang akan
dirusakkan. Bahkan Sanusi sendiripun tidak ada usaha untuk merebut hati isterinya lagi. Tanpa
mendramakannya dengan
teliti, kukira tentu ada bersembunyi perasaan‐perasaan bersalah. Aku tidak ingat betul, apakah aku
mengalaminya sedemikian banyak ketika itu ataukah aku rnengeluarkannya sekarang sebagai usaha
untuk menerangkan tindakan‐tindakan itu. Akupun tidak tahu, bagaimana perasaan rakyatku mengenai
Presidennya yang membicarakan ini sarnpai sedemikian jauh. Aku tidak menghendaki mereka menjadi
malu. Anggaplah, karena peristiwa percintaan sedang tumbuh di waktu itu aku mencoba menganalisa
kejahatannya. Dan aku tidak pernah berhenti menganalisanya. Kumaksud bukan affair Inggit saja. Yang
kumaksud adalah seluruh kehidupanku. Seakan aku menganalisa secara abadi kekuatan‐kekuatan yang
ada dalam diriku. Dan kekuatan‐kekuatan yang ada di sekelilingku. Otakku dan jiwaku selalu bernyalanyala
dengan perjuangan yang tak habis‐habis antara yang baik dan yang jahat. Setelah enam bulan
berada di Bandung aku sendiri rnembawa Utari pulang kerumah bapaknya. “Pak,” kataku. “Saya
mengembalikan Utari kepada bapak.” “Keputusan siapa ini?” tanya Pak Tjokro., “Saya, Pak. Sayalah yang
ingin bercerai. “Kemudian ia hanya bertanya, “Apakah dia menerima keputusanmu?” Aku menjawab, “Ya.
Dia sudah tentu susah karena, walaupun bagaimana, anak‐anak gadis kita menganggap perceraian itu suatu kernunduran.
Dia barangkali merasa sedikit bingung, sebab selama dua tahun kami kawin aku tak pernah
menyentuhnya. Sebenarnya dia tidak ingin bercerai, akan tetapi diapun menyadari bahwa jalan inilah
yang paling baik bagi kami berdua. “Pak Tjokro mengangguk diam. “Pak, saya menunggu sampai bapak
keluar dari tahanan untuk menyampaikan hal ini. Perkawinan kami sudah tidak baik dari permulaannya
dan tidak akan baik untuk seterusnya. Tanpa perceraian tidak dapat dibina perkawinan yang berbahagia.
“Pak Tjok menghargai apa yang kukatakan. Ia tidak menanyakan persoalan‐persoalan pribadi. Dan
setelah kejadian ini Pak Tjokro sekeluarga dan aku selalu dalam hubungan yang baik. Hubungan kami
tetap seperti sebelumnya. Apa yang kuucapkan secara resmi hanyalah, “Saya jatuhkan talak satu
kepadarnu,” dan perkawinan kami berakhir. Jadi, cara kami bercerai ringkas saja. Tidak melalui banyak
prosedur. Dalarn agama Islam terdapat tiga tingkatan perceraian. Talak satu masih membuka jalan untuk
rujuk kembali dalarn tempo 100 hari. Talak dua, tingkat yang lebih kuat dari yang pertama, mengulangi
maksud untuk bebas dari isterirnu, akan tetapi masih mernbuka kesempatan sedikit sekiranya masih ingin
bergaul dengan dia.
Tingkat terakhir adalah untuk menyatakan, “Saya ceraikan engkau.” Setelah talak tiga ini jatuh, hubungan
perkawinan sudah diputuskan dengan resmi dan si suami tidak dapat mengawini kembali isterinya itu,
kecuali.jika si isteri kawin dulu sementara dengan laki‐laki lainya. Hukurn Islam tidak mengizinkan
perempuan menceraikan lakinya. Pun tidak dapat menolak untuk diceraikan. Tentu saja kalau suaminya
sangat kejam dan ia mengadu kepada Kadi, “Suami saya memukul saya,” atau kalau dia bersumpah, “Dia
tidak pernah datang kepada saya dan menurut kenyataan dia tidak pernah mempergauli saya selama
berbulan‐bulan,” dan memohon kepada Kadi supaya mengizinkannya bercerai atas alasan yang tertentu
itu, maka Kadi itu dapat menceraikannya. Hakim agama ini mempunyai kekuasaan untuk memberi izin
guna meringankan keadaan ini menurut Nabi Muhammad s.a.w. Hukum‐Hukum Islam diadakan di
padang pasir. Dan dimana di padang pasir orang bisa mencari ahli hukum atau Surat Perceraian? Itulah
sebabnya mengapa kami tidak mempunyai aturan seperti di Barat. Jadi, di tahun 1922, aku hanya
menyerahkan pengantinku yang masih kanak‐kanak itu kepada bapaknya, dan itulah seluruhnya.
Aku kembali ke Bandung dan kepada cintaku yang sesungguhnya. Suatu malam, setelah kami bersamasama
selama satu tahun, aku mengusulkan. Ini adalah usul yang sangat sederhana. Kami hanya berdua seperti
biasa dan aku berkata pelahan, “Aku mencintaimu.” Dia. “Akupun begitu,” keluar cepat dari mulutnya.
Aku ingin mengawinimu” kubisikkan. “Akupun ingin menjadi isterimu,” dia membalas berbisik. “Apakah
menurut pendapatmu kita akan rnendapat kesulitan?” Tidak,” katanya lunak. “Aku akan bicara dengan
Sanusi besok. “Sanusi mau bekerja sama. Dalam tempo yang singkat Inggitpun bebas. Tidak terjadi
adegan yang serarn seperti di layar putih. Kukira dia merasa, bahwa inilah jalan yang paling baik
ditempuh. Setelah itu Inggit, dia dan aku senantiasa dalam hubungan yang baik. Kenyataannya, tidak
lama kemudian dia kawin lagi. Dalam waktu yang singkat Utaripun kawin dengan Bachrum Salam, kawan
sama‐sama bayar makan di rumah Pak Tjokro. Mereka memperoleh delapan orang anak dan ketika buku
ini ditulis mereka masih menjadi suami isteri. Jadi nampak kedua belah pihak tidak begitu merasa luka.
Inggit dan aku kawin di tahun 1923.
Keluargaku tak pernah menyuarakan satu perkataan mencela ketika aku berpindah dari isteriku yang
masih gadis kepada isteri lain yang selusin tahun lebih tua daripadaku. Apakah mereka menekan
perasaannya karena perbuatanku, ataupun merasa malu kepada Pak Tjokro, aku tak pernah ‐
mengetahuinya. Inggit yang bermata besar dan memakai geIang di tangan itu tidak mempunyai masa
lampau yang gemilang. Dia sama sekali tidak terpelajar, akan tetapi intellektualisme bagiku tidaklah
penting dalam diri seorang perempuan. Yang kuhargai adalah kemanusiaannya. Perempuan ini sangat
mencintaiku. Dia tidak memberikan pendapat‐pendapat. Dia hanya memandang dan menungguku, dia
mendorong dan memuja. Dia memberikan kepadaku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh buku. Dia memberiku kecintaan, kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri. Ia memberikan segala apa yang
kuperlukan yang tidak dapat kuperoleh semenjak aku meninggalkan rumah ibu. Psikiater akan
mengatakan bahwa ini adalah pencarian kembali kasih sayang ibu.
Mungkin juga, siapa tahu. Jika aku mengawininya karena alasan ini, maka ia terjadi secara tidak sadar.
Dia. waktu itu dan sekarangpun masih seorang perempuan yang budiman. Pendeknya, kalau dipikirkan
secara sadar, maka perasaan‐perasaan yang dibangkitkannya padaku tidak lain seperti pada seorang
kanak‐kanak. Inggit dalam masa selanjutnya dari hidupku ini sangat baik kepadaku. Dia adalah ilhamku.
Dialah pendorongku. Dan aku segera memerlukan semua ini. Aku sekarang sudah menjadi mahasiswa di
tingkat kedua. Aku sudah kawin dengan seorang perempuan yang sangat kuharapkan dengan perasaan
berahi. Aku sekarang sudah melalui umur 21 tahun. Masa jedjakaku sudah berada dibelakangku. Tugas
hidupku merentang di depanku. Pikiran embryo yang dipupuk oleh Pak Tjokro dan mulai menemukan
bentuk di Surabaya tiba‐tiba pecah menjadi kepompong di Bandung dan dari keadaan chrysalis
berkembanglah seorang pejuang politik yang sudah matang. Dengan Inggit berada disampingku aku
melangkah maju memenuhi amanat menudju cita‐cita.


BAB VI: Marhaenisme
AKU baru berumur 20 tahun ketika suatu ilham politik yang kuat menerangi pikiranku. Mula‐mula ia
hanya berupa kuncup dari suatu pemikiran yang mengorek‐ngorek otakku, akan tetapi tidak lama
kemudian ia menjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri. Di kepulauan kami terdapat pekerjapekerja
yang bahkan lebih miskin daripada tikus gereja dan dalam segi keuangan terlalu menyendihkan
untuk bisa bangkit di bidang sosial, politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian masing‐masing menjadi
majikan sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Dia menjadi kusir gerobak kudanya, dia menjadi
pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak mempekerjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelayannelayan
yang bekerja sendiri dengan alat‐alat —seperti tongkat kail, kailnya dan perahu— kepunyaan
sendiri. Dan begitupun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari
hasilnya. Orang‐orang semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami. Semua menjadi pemilik
dari alat produksi mereka sendiri, jadi mereka bukanlah rakyat proletar. Mereka punya sifat yhas
tersendiri.
Mereka tidak termasuk dalam salah satu bentuk penggolongan. Kalau begitu, apakah mereka ini
sesungguhnya? Itulah yang menjadi renunganku berhari‐hari, bermalam‐malam dan berbulan‐bulan.
Apakah sesungguhnya saudaraku bangsa Indonesia itu? Apakah namanya para pekerja yang demikian,
yang oleh ahli ekonomi disebut dengan istilah “Penderita Minimum”? Di suatu pagi yang indah aku
bangun dengan keinginan untuk tidak mengikuti kuliah, ini bukan tidak sering terjadi. Otakku sudah
terlalu penuh dengan soal‐soal politik, sehingga tidak mungkin memusatkan perhatian pada studi.
Sementara mendayung sepeda tanpa tujuan —sambil berpikir— aku sampai di bagian selatan kota
Bandung, suatu daerah pertanian yang padat dimana orang dapat menyaksikan para petani mengerjakan
sawahnya yang kecil, yang masing‐masing luasnya kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena beberapa
hal perhatianku tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Dia seorang diri.
Pakaiannya sudah lusuh. Gambaran yang khas ini kupandang sebagai perlambang daripada rakyatku. Aku
berdiri disana sejenak memperhatikannya dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang
ramah, maka aku mendekatinya. Aku bertanya dalam bahasa Sunda, “Siapa yang punya semua yang
engkau kerjakan sekarang
ini?”.
Dia berkata kepadaku, “Saya, juragan.”
Aku bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki tanah ini bersama‐sama dengan orang lain?”.
“0, tidak, gan. Saya sendiri yang punya.”
“Tanah ini kaubeli?”.
“Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun.”
Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali ….. aku menggali secara mental. Pikiranku mulai
bekerja. Aku memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir, tanyaku semakin bertubi‐tubi pula.
“Bagairnana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ka’il kepunyaanmu juga?”
“Ya, gan”
“Dan cangkul?”
“Ya, gan.”
“Bajak?”
“Saya punya, gan.”
“Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?”
“Untuk saya, gan.”
“Apakah cukup untuk kebutuhanmu?”
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri. “Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang
isteri dan empat orang anak?”
“Apakah ada yang dijual dari hasilmu?” tanyaku.
“Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual.”
“Kau mempekerjakan orang lain?”
“Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya.”
“Apakah engkau pernah memburuh?”
“Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya.”
Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, “Siapa yang punya rumah itu?”
“Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.”
“Jadi kalau begitu,” kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, “Semua ini engkau
punya?”
“Ya, gan.”
Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanjy. “Marhaen.” Marhaen adalah
nama yang biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai
nama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakan
rakyatku rakyat Marhaen. Selanjutnya di hari itu aku mendayung sepeda berkeliling mengolah
pengertianku yang baru. Aku memperlancarnya. Aku mempersiapkan kata‐kataku dengan hati‐hati. Dan
malamnya aku memberikan indoktrinasi mengenai hal itu kepada kumpulan pemudaku. “Petani‐petani
kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali.
Mereka adalah korban dari sistim feodal, dimana pada mulanya petani pertama diperas oleh bangsawan
yang pertama dan seterusnya sampai ke anak cucunya selama berabad‐abad. Rakyat yang bukan
petanipun menjadi korban daripada imperialisme perdagangan Belanda, karena nenek mojangnya telah
dipaksa untuk hanya bergerak di bidang usaha yang kecil sekedar bisa memperpanjang hidupnya. Rakyat
yang menjadi korban ini, yang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen.” Aku
menunjuk seorang tukang gerobak, “Engkau … engkau yang di sana. Apakah engkau bekerja di pabrik
untuk orang lain?”, Tidak,” katanya. “Kalau begitu engkau adalah Marhaen.” Aku menggerakkan tangan
ke arah seorang tukang sate. “Engkau … engkau tidak punya pembantu, tidak punya majikan engkau juga
seorang Marhaen.
Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat‐alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil,
dengan alat‐alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang
sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada
penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam
praktek.” Perkataan “Marhaenisme” adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami.
Begitupun nama tanah air kami harus menjadi lambang. Perkataan “Indonesia” berasal dari seorang ahli
purbakala bangsa Jerman bernama Jordan, yang beladar di negeri Belanda. Studi khususnya mengenai
Rantaian Kepulauan kami. Karena kepulauan ini secara geografis berdekatan dengan India, ia namakanlah
“Kepulauan dari India”. Nesos adalah bahasa Yunani untuk perkataan pulau‐pulau, sehingga menjadi
Indusnesos yang akhirnya menjadi Indonesia.
Ketika kami merasakan perlunya untuk menggabungkan pulau‐pulau kami rnenjadi satu kesatuan yang
besar, kami berpegang teguh pada nama ini dan mengisinya dengan pengertian‐pengertian politik hingga
iapun menjadi pembirnbing dari kepribadian nasional. Ini terjadi ditahun 1922‐1923. Dalam tahun‐tahun
inilah, ketika kami sebagai bangsa yang dihinakan diperlakukan seperti sampah di atas bumi oleh orang
yang menaklukkan kami. Karni tidak dibolehkan apa‐apa. Ditindas dibawah tumit pada setiap kali, bahkan
kami dilarang mengucapkan perkataan “lndonesia”. Telah terjadi sekali ditengah berapi‐apinya pidatoku,
kata “lndonesia” melompat dari mulutku.
“Stop …. stop ….. “perintah polisi. Mereka meniup peluitnya. Mereka memukulkan tongkatnya. “Dilarang
sama sekali mengucapkan perkataan itu …… hentikan pertemuan.” Dan pertemuan itu dengan segera dihentikan. Di Surabaya aku tak ubah seperti seekor burung yang mencari‐cari tempat untuk bersarang.
Akan tetapi di Bandung aku sudah menjadi dewasa. Bentuk fisikku berkembang dengan sewajarnya.
Bintang matinee Amerika yang menjadi idaman di jaman itu adalah Norman Kerry dan, supaya kelihatan
lebih tua dan lebih ganteng, aku memelihara kumis seperti Kerry. Tapi sayang, kumisku tidak melengkung
ke atas pada ujung‐ujungnya seperti kumis bintang itu. Dan isteriku menyatakan, bahwa Charlie
Chaplinlah yang berhasil kutiru. Akhirnya usahaku satu‐satunya untuk meniru seseorang berakhir dengan
kegagalan yang menyedihkan dan semua pikiran itu kemudian kulepaskan segera dari ingatan. Di tahun
1922 aku untuk pertama kali mendapat kesukaran. Ketika itu diadakan rapat besar di suatu lapangan
terbuka di kota Bandung. Seluruh lapangan menghitam oleh manusia. Ini adalah rapat Radicale
Concentratie, suatu rapat raksasa yang diorganisir oleh seluruh organisasi kebangsaan sehingga wakilwakil
dari setiap partai yang ada dapat berkumpul bersama untuk satu tujuan, yaitu memprotes berbagai
persoalan sekaligus. Setiap pemimpin berpidato. Dan aku, aku baru seorang pemuda. Hanya
mendengarkan. Akan tetapi tiba‐tiba terasa olehku suatu dorongan yang keras untuk mengucapkan
sesuatu. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Mereka semua membicarakan omong kosong.
Seperti biasa mereka meminta‐minta. Mereka tidak menuntut. Naiklah tangan yang berapi‐api dari
Sukarno, mercusuar dari Perkumpulan Pemuda, untuk minta izin ketua agar diberi kesempatan berpidato
dihadapan rapat. “Saya ingin berbicara,” aku berteriak. “Silakan,” ketua berteriak kembali. Disana ada
P.I.D., Polisi Rahasia Belanda, yang bersebar di segala penjuru Tepat di mukaku berdiri seorang polisi
bermuka merah mengancam dan berbadan besar. Ini adalah alat yang berkuasa yaitu kulit putih. Hanya
dia sendiri yang dapat menyetopku. Dia seorang dirinya, dapat membubarkan rapat. Dia seorang dirinya,
dengan kekuasaan yang ada padanya dapat mencerai‐beraikan pertemuan kami dan menjebloskanku ke
dalam tahanan. Akan tetapi aku masih muda, tidak mau peduli dan penuh semangat. Jadi naiklah aku ke
mimbar dan mulai berteriak, “Mengapa sebuah gunung seperti gunung Kelud meledak? Ia meledak oleh
karena lobang kepundannya tersumbat Ia meledak oleh karena tidak ada jalan bagi kekuatan‐kekuatan
yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Kekuatan‐kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit
demi sedikit dan ….. DORRR. Keseluruhan itu meletus. “Kejadian ini tidak ada bedanya dengan Gerakan
Kebangsaan kita Kalau Belanda tetap menutup mulut kita dan kita tidak diperbolehkan untuk mencari
jalan keluar bagi perasaan‐perasaan kita yang sudah penuh, maka saudara‐saudara, nyonya‐nyonya dan
tuan‐tuan, suatu saat akan terjadi pula ledakan dengan kita. “Dan rnanakala perasaan kita meletus, Den
Haag akan terbang ke udara. Dengan ini saya menantang Pemerintah Kolanial yang membendung
perasaan kita.
Dari sudut mataku aku melihat Komisaris Polisi itu menuju ke depan untuk mencegahku terus berbicara,
akan tetapi aku begitu bersemangat dan menggeledek terus. “Apa gunanya kita puluhan ribu banyaknya
berkumpul disini jikalau yang kita kerjakan hanya menghasilkan petisi? Mengapa kita selalu merendah diri
memohon kepada ‘Pemerintah’ untuk meminta kebaikan hatinya supaya mendirikan sebuah sekolah
untuk kita? Bukankah itu suatu Politik Berlutut? Bukankah itu suatu politik memohon dengan mendatangi
Yang Dipertuan Gubernur Djendral Hindia Belanda, yang dengan rnemakai dasi hitam menerima delegasi
yang membungkuk‐bungkuk dan menunjukkan penghargaan kepadanya dan menyerahkan kepada
pertimbangannya suatu petisi? Dan merendah diri memohon pengurangan pajak? Kita merendah diri …
memohon, merendah diri, memohon ….. Inilah kata‐kata yang selalu dipakai oleh pemimpin‐pemimpin
kita.
“Sampai sekarang kita tidak pernah menjadi penyerang. Gerakan kita bukan gerakan yang mendesak,
akan tetapi gerakan kita adalah gerakan yang meminta‐minta. Tak satupun yang pernah diberikannya
karena kasihan. Marilah kita sekarang menjalankan politik percaya pada diri sendiri dengan tidak
mengemis‐ngemis. Hayo kita berhenti mengemis. Sebaliknya, hayo kita berteriak, “Tuan Imperialis, inilah yang kami TUNTUT ! “Kemudian, polisi‐polisi yang maha kuasa dan maha kuat ini, yang punya kekuasaan
untuk menghentikan rapat ini, bertindak. Mereka menyetop rapat dan menyetopku. Heyne, Kepala Polisi
Kota Bandung, sangat marah. Sambil menyiku kanan‐kiri melalui rakyat yang berdiri berjejal‐jejal, ia
melompat ke atas mimbar, menarikku ke bawah dan mengumumkan, “Tuan Ketua, sekarang saya
menyetop seluruh pertemuan. Habis. Tamat. Selesai. Tuan‐tuan semua dibubarkan. Sernua pulang
sekarang. KELUAR !”. Begitu pertama kali Sukarno membuka mulutnya, ia segera harus berhubungan
dengan hukum. Dengan cepat aku mendadi buah tutur orang dan setiap orang mengetahui nama
Sukarno. Aku memperoleh inti pengikut yang kuat. Akan tetapi, sayang, akupun mengembangkan
pengikut yang banyak diantara polisi Belanda. Kemanapun aku pergi mereka ikuti.
Maka menjalarlah dari mulut ke mulut: “Di Sekolah Teknik Tinggi ada seorang pengacau. Awasi dia.”
Dengan satu pidato si Karno —yang pendiam, yang suka menarik diri dan dicintai membuat musuh‐musuh
jadi geger dan selama 20 tahun kemudian aku tak pernah dicoret dari daftar hitam mereka. Prestasiku
yang pertama ini menimbulkan kegemparan hebat, sehingga aku segera dipanggil ke kantor Presiden
universitas. “Kalau engkau ingin melanjutkan pelajaran disini,” Professor Klopper memperingatkan,
Engkau harus bertekun pada studimu. Saya tidak keberatan jika seorang mahasiswa mempunyai cita‐cita
politik, akan tetapi haruslah diingat bahwa ia pertama dan paling utama memenuhi kewajiban sebagai
seorang mahasiswa. Engkau harus berjanji, mulai hari ini tidak akan ikut campur dalam gerakan politik.
“Aku tidak berdusta kepadanya. Aku menerangkan persoalanku dengan jujur. “Professor, apa yang akan
saya janjikan ialah, bahwa saya tidak akan melalaikan pelajaran‐pelajaran yang tuan berikan dalam
kuliah.” Bukan itu yang saya minta kepadamu.” Hanya itu yang dapat saya jandjikan, Professor.
Akan tetapi janji ini, saya berikan dengan sepenuh hati. Saya berjanji dengan kesungguhan hati untuk
menyediakan lebih banyak waktu pada studi saya.” Ia sangat baik mengenai hal ini. “Apakah kata‐katamu
dapat saya pegang, bahwa engkau akan berhenti berpidato dalam rapat umum selama masih dalam
studi?” “Ya, Professor,” aku berjanji, “Tuan memegang ucapan saya yang sungguh‐sungguh. “Dan janji ini
kupegang teguh. Berbicara di hadapan massa bagiku lebih daripada segala‐galanya untuk mana aku
hidup. Oleh karena aku tidak dapat berbicara membangkitkan semangat rakyat jelata dalam keadaan
sesungguhnya maka kulakukanlah ini dalam khayalan. Pada suatu malam rumah Inggit yang disediakan
juga untuk bayar makan penuh dan kami terpaksa membagi tempat. Aku membagi tempat tidurku
dengan seorang pelajar.
Di tengah malam aku diserang oleh suatu desakan untuk berpidato dengan nafsu yang bernyala‐nyala,
seakan‐akan aku berbicara dihadapan 10.000 orang yang bersorak‐sorai dengan gegap gempita. Sambil
berdiri tegak aku menganggap tempat tidurku sebagai mimbar dan aku mulai menggegap geletar.
“Engkau tahu apakah Indonesia?” aku berteriak ke punggung temanku setempat tidur. “Indonesia adalah
pohon yang kuat dan indah ini. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega
putih yang lamban itu. Indonesia adalah udara yang hangat ini.” Saudara‐saudaraku yang tercinta, laut
yang menderu memukul‐mukul ke pantai di cahaya senja, bagiku adalah jiwanya Indonesia yang bergerak
dalam gemuruhnya gelombang samudera. Bila kudengar anak‐anak ketawa, aku mendengar Indonesia.
Manakala aku menghirup bunga‐bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah air kita bagiku.
“Setelah beberapa jam mendengarkan perkataanku yang membakar hati, Djoko Asmo lebih memerlukan
tidur daripada mendengarkan golakan perasaanku. Jam dua tengah malam dia tertidur nyenyak ditengahtengah
pidatoku yang mencacau. Aku kehabisan tenaga sama sekali sehingga ditengah pidato
pembelaanku yang bersemangat akupun terhempas lena. Esok paginya kami baru tahu, bahwa kami lupa
mematikan lampu. Kelambu kami hampir hangus sama sekali. Lampu itu menyala sepanjang malam
sampai menjilat ke bagian bawah dan kami kedua‐duanya hampir kelemasan oleh udara dan asap yang
hebat. Tapi untunglah. Kami tidak turut terbakar. Terpikir olehku, kalau seseorang hendak menjadi Juru selamat daripada bangsanya di kemudian hari untuk membebaskan rakyatnya, haruslah ia
menyelamatkan dirinya sendiri lebih dulu. Aku masih terlalu banyak mencurahkan waktu untuk pemikiran
politik, jadi tak dapatlah diharapkan akan menjadi mahasiswa yang betul‐betul gemilang. Kenyataan
bahwa aku masih dapat melintasi batas nilai sedang sungguh mengherankan. Siapa yang belajar? Bukan
aku. Tidak pernah. Aku mempunyai ingatan seperti bayangan gambar dan dalam pada itu aku terlalu
sibuk memompakan soal‐soal politik ke kepalaku, sehingga tidak tersisa waktuku untuk membuka buku
sekolah. Dewi dendamku adalah ilmu pasti. Aku tidak begitu kuat dalam ilmu pasti.
Menggambar arsitektur bagiku sangat menarik, akan tetapi kalkulasi bangunan dan komputasi jangan
tanya. Kleinste Vierkanten atau yang dinamakan Geodesi, semacam penyelidikan tanah secara ilrnu pasti
dimana orang mengukur tanah dan belajar membaginya dalam kaki persegi, dalam semua ini aku gagal.
Untuk ujian ilmu pasti kuakui, bahwa aku bermain curang. Tapi hanya sedikit. Kami semua bermain
curang dengan berbagai jalan. Ambillah misalnja pelajaran menggambar konstruksi bangunan. Aku kuat
dalam pelajaran ini. Dalam waktu ujian dosen berdalan pulang‐balik diantara meja‐meja memperhatikan
setiap orang. Segera setelah ia berada di bagian lain dalam ruangan ketika menghadapkan punggungnya
pada kami, salah seorang yang berdekatan mendesis, “Ssss, Karno, buatkan bagan untukku, kau mau?”
Aku bertukar kertas dengan dia. dengan terburu‐buru membuat gambar yang kedua dan dengan cepat
menyerahkan kembali kepadanya. Kawan‐kawanku membalas usaha ini dalam pelajaran Kleinste
Vierkanten kalau Professor membuat tiga pertanyaan di papan tulis dan hanya memberi kami waktu 45
menit untuk mengerjakannya. Kawan‐kawan menempatkan kertasnya sedemikian rupa di sudut bangku,
sehingga aku dapat dengan mudah menyalin jawabannya. Sudah tentu aku mencontoh dari mahasiswa
yang lebih pandai dalam ilmu pasti.
Cara ini bukanlah semata‐mata apa yang dinamakan orang berbuat curang. Di Indonesia ini adalah wajar
jika digolongkan dalam apa yang kami sebut kerja‐sama yang erat. Gotong‐royong. Alasan mengapa aku
gagal dan hanya memperoleh nilai tiga adalah karena pada suatu kali sang Professor melakukan taktik
licik terhadap kami. Ia mengejutkan kami dengan ujian lisan, dimana kami menempuhnya satu persatu.
Hanya Professor dan seorang mahasiswa yang ada dalam ruangan. Aku karenanya jatuh.Semua kuliah
diajarkan dalam bahasa Belanda. Aku berpikir dalam bahasa Belanda. Bahkan sekarangpun aku memakimaki
dalam bahasa Belanda. Kalau aku mendoa kehadirat Tuhan Yang MahaKuasa, maka ini kulakukan
dalam bahasa Belanda. Kurikulum kami disesuaikan menurut kebutuhan masyarakat penjajahan Belanda.
Pengetahuan yang kupelajari adalah pengetahuan teknik kapitalis. Misalnya, pengetahuan tentang sistem
irigasi. Yang dipelajari bukanlah tentang bagaimana caranya mengairi sawah dengan jalan yang terbaik.
Yang diberikan hanya tentang sistem pengairan tebu dan tembakau. Ini adalah irigasi untuk kepentingan
Imperialisme dan Kapitalisme. Irigasi dipelajari tidak untuk memberi makan rakyat banyak yang
kelaparan, akan tetapi untuk membikin gendut pemilik perkebunan. Pelajaran kami dalam pembuatan
jalan tidak mungkin dapat menguntungkan rakyat. Jalan‐jalan yang dibuat bukan melalui hutan dan
antar‐pulau sehingga rakyat dapat berjalan atau bepergian lebih mudah. Kami hanya diajar
merencanakan jalan‐jalan tambahan sepanjang pantai dari pelabuhan ke pelabuhan, jadi pabrik‐pabrik
dengan demikian dapat mengangkut hasilna secara maksimal dan komunikasi yang cukup antara kapalkapal
yang berlayar. Ambillah ilmu pasti. Universitas manapun tidak memberi pelajaran rantai ukuran.
Kami diberi. Ini adalah sebuah pita yang panjangnya 20 meter yang hanya dipakai oleh para pengawas di
perkebunan‐perkebunan.
Diruangan bagan, kalau kami membuat rencana kota teladan, kamipun harus menunjukkan tempat
kedudukan “Kabupaten”, yaitu tempat tinggal Bupati yang mengawasi rakyat desa membanting tulang.
Di minggu terakhir ketika diadakan pelantikan aku mempersoalkan ini dengan Rector Magnificus dari
Sekolah Teknik Tinggi ini, Professor Ir. G. Klopper M.E. “Mengapa kami diisi dengan pengetahuanpengetahuan
yang hanya berguna untuk mengekalkan dominasi Kolonial terhadap kami?” tanyaku. “Sekolah Teknik Tinggi ini,” ia menerangkan, didirikan terutama untuk memajukan politik Den Haag di
Hindia. Supaya dapat mengikuti kecepatan ekspansi dan eksploitasi, pemerintah saya merasa perlu untuk
mendidik lebih banyak insinyur dan pengawas yang berpengalaman.”Dengan perkataan lain, kami
mengikuti perguruan tinggi ini untuk memperkekal polilik Imperialisme Belanda disini?”Ya, tuan Sukarno,
itu benar,” ia menjawab. Dan begitulah, sekalipun aku harus mempersembahkan seluruh hidupku untuk
menghancurkan kekuasaan Kolonial, rupanya aku harus berterima‐kasih pula kepada mereka atas
pendidikan yang kuterima. Dengan dua orang kawan bangsa Indonesia yang berhasil bersama‐sama
denganku, maka pada tanggal 25 Mei 1926 aku memperoleh promosi dengan gelar “Ingenieur”. Ijazahku
dalam jurusan teknik sipil menentukan, bahwa aku adalah seorang spesialis dalam pekerjaan jalan raya
dan pengairan. Aku sekarang diberi hak untuk menuliskan namaku: Ir. Raden Soekarno. Ketika ia
memberi gelar sarjana teknik kepadaku, Presiden universitas berkata, “Ir. Sukarno, ijazah ini dapat robek
dan hancur menjadi abu di satu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu‐satunya kekuatan yang bisa
hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun
sesudah mati.” Aku tak pernah melupakan kata‐kata ini.

BAHASA INDONESIA
BAB VII: Bahasa Indonesia
JANJIKU sudah terpenuhi. Pendidikanku sudah selesai. Mulai saat ini untuk seterusnya tidak ada yang akan menghalang‐halangiku menjalankan pekerjaan untuk mana aku dilahirkan.Semenjak aku berdiri diatas jambatan di Surabaya itu dan mendengarkan jeritan rakyatku, aku menyadari bahwa akulah yang harus berjuang untuk mereka. Hasrat yang menyala‐nyal untuk membebaskan rakyatku bukanlah hanya ambisi perorangan. Jiwaku penuh dengan itu. Ia melewati sekujur badanku. Ia mengisi padat lubang hidungku. Ia mengalir melalui urat nadiku. Untuk itulah orang mempersembahkan seluruh hidupnya. Ia lebih daripada hanya sebagai kewajiban. Ia lebih daripada panggilan jiwa. Bagiku ia adalah satu …… kejakinan. Menurut para mahaguru tesisku tentang konstruksi pelabuhan dan jalanan air ditambah dengan teoriku tentang perencanaan kota mempunyai “nilai penemuan dan keaslian yang begitu tinggi”, sehingga untukku disediakan jabatan sebagai assisten dosen. Aku menolaknya. Juga ditawarkan pekerjaan pemerintahan kota. Inipun kutolak. Salah seorang mahaguru, Professor Ir. Wolf Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warna kulit. Baginya tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginya tidak ada pengikatan atau kebebasan. Dia hanya menundukkan kepala kepada kemampuan seseorang. “Saya menghargai kecakapanmu,” katanya. “Dan saya tidak ingin kecakapan ini tersia‐sia. Engkau mempunyai pikiran yang kreatif. Jadi saya minta supaya engkau bekerja dengan pemerintah. “Sungguhpun aku keberatan, ia menyerahkanku kepada Direktur Pekerdjaan Umum yang meminta kepadaku untuk merencanakan suatu proyek untuk perumahan Bupati. Insinyur kepalanya sudah tentu seorang Belanda yang tidak mengenal sama sekali kehidupan orang Indonesia dan kebutuhannya. Akan tetapi oleh karena aku tidak menghendaki pekerjaan ini, kusampaikan kepadanya pendapatku tentang rencana arsitekturnya, “Maafkan saya, tuan, konsepsi tuan didasarkan pada semangat pedagang rempah rempah Belanda. Setiap orang Belanda merencanakan secara teknis salah. Persil‐persil di Bandung hanya 15 meter lebar dan 20 meter ke dalam dan rumah‐rumahnya sempit. Kota Bandung direncanakan seperti kandang ayam. Bahkan jalannya sempit, karena ia dibuat menurut cara berpikir Belanda yang sempit. Sama saja dengan proyek yang tuan rencanakan. Ia tidak mempunyai ‘Schwung’. “Karena aku telah menolak pekerjaan yang diberikan itu, aku merasa wajib memberi penjelasan kepada Professor Schoemaker, “Tuan telah menyatakan, bahwa saya dalam ruang lingkup yang kecil memiliki daya cipta. Yah, saya ingin mencipta,” kataku dengan hebat. “Akan tetapi untuk saya sendiri.
Saja tidak yakin dikemudian hari akan menjadi pembangun rumah. Tujuan saya ialah untuk menjadi pembangun dari suatu bangsa. “Politik usang dari Gerakan Kebangsaan kami, yaitu mengadakan dengan pemerintah dengan cara mengemis‐ngemis, hanya menghasilkan janji‐janji yang.tidak ditepati. Dengan usaha saya, kami baru‐baru ini memulai politik non‐kooperasi. Ini didasarkan pada kehendak percaya pada diri sendiri dan di bidang ekonomi terlepas dari bantuan negara asing. “Kawanku itu mendengarkan dengan tenang, kemudian berkata, “Anak muda, hendaknya bakatmu dipergunakan secara maksimal. Kalau engkau berdiri sendiri, ini akan memakan waktu bertahun‐tahun untuk bisa maju. Hanya orang‐orang Belanda yang berpangkat tinggi atau pegawai pemerintahlah yang bisa berhasil mengadakan biro arsitek. Dan mereka tentu keberatan untuk mempekerjakan seorang muda yang tidak berpengalaman dan juga kebetulan berada paling atas dalam daftar hitam polisi, karena dianggap sebagai pengacau. Usul saya ini adalah permulaan yang baik untukmu.” Pandangannya itu memang baik. “Professor, saya menolak untuk bekerja‐sama, supaya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saya bekerja dengan pemerintah, secara diam‐diam saya membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu. Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan untuk menjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama‐lamanya.” “Jangan terima pekerjaan jangka lama, kalau sekiranya perasaan tidak senangmu begitu kuat,” ia mempertahankan, “Akan tetapi buatlah satu rumah ini saja untuk Bupati. Cobalah kerjakan ….. Kerjakanlah atas permintaan saya. “Aku melakukan sebagaimana yang dimintanya. Pekerjaan ini sangat berhasil dan aku dibanjiri dengan permintaan untuk mengerjakan karya teknik semacam itu untuk pejabat‐pejabat lain. Sungguhpun bantuan uang dari keluargaku sudah tidak ada lagi semenjak aku selesai dan sekalipun aku tidak mempunyai jalan yang nyata untak membantu isteriku, aku menolaknya. Aku membuat rencana Kabupaten hanya karena sangat menghargai dan menghormati Professor itu. Akan tetapi ini adalah yang pertama dan terakhir aku bekerja untuk Pemerintah. Kemudian, ketika Departemen Pekerdjaan Umum menawarkan kedudukan tetap kepadaku, aku menolaknya dengan alasan bahwa aku memperjuangkan non‐kooperasi. Aku sangat memerlukan uang dan pekerjaan. Aku sudah tidak mempunyai harapan sama sekali untuk memperoleh kedua‐duanya ini ketika aku mendengar lowongan di sekolah Yayasan Ksatrian yang diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi. Mereka mencari seorang guru yang akan mengajar dalam dua mata pelajaran. Yang pertama adalah sejarah, untuk mana aku sangat berhasrat besar. Mata pelajaran yang lain? Ilmu pasti! Dan dalam segala segi‐seginya lagi! Jadi sebagaimana telah kutegaskan dengan segala kejujuran yang pahit, kalau ada mata pelajaran yang sama sekali tidak bisa kuatasi, maka itulah dia ilmu pasti. Akan tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Guru yang ditugaskan untuk melakukan tanya jawab bertanya, “Ir. Sukarno, tuan adalah insinyur yang berijazah, jadi tentu tuan ahli dalam ilmu pasti, bukankah begitu?” ,”Oh, ya tuan,” aku menyeringai merecik kepercayaan. — “Ya, tuan. Ya, betul. Saya menguasainya.” Baiklah, tuan dapat mengadar ilmu pasti?” tanyanya. “Mengapa tidak,” aku membohong. “Saya menguasai betul ilmu pasti. Menguasainya sungguh‐sungguh. Ini mata pelajaran yang saya senangi.” Inggit dan aku sudah kering sama sekali, tidak mempunyai apa‐apa lagi. Apa yang dapat kami suguhkan kepada tamu hanya secangkir teh encer tanpa
gula. Jadi, apa yang harus kukatakan kepadanya? Bahwa aku sama sekali tidak dapat mengajar ilmu pasti? Bahwa sesungguhnya aku gagal dalam pelajaran itu?. Kalau demikian, tentu aku tidak akan memperoleh pekerjaan itu. Temanku, Dr. Setiabudi, datang sendiri kepadaku dan sekali lagi bertanya, “Bagaimana pendapatmu sesungguhnya, bisakah engkau mengajar?” Dan kuulangi dengan suara yang tergoncang dan tersinggung, “Apakah saya bisa mengajar? Tentu saya bisa mengajar. Tentu saja saya bisa. Sudah pasti.” Ilmu pasti juga?” Ya, ilmu pasti juga.” Aneh, kenyataannya aku menghadapi kesukaran justru dalam pelajaran sejarah. Kelasku berjumlah 30 orang murid, termasuk Anwar Tjokroaminoto. Tak seorangpun memberiku petunjuk dalam cara mengajar. Jadi aku mencobakan caraku sendiri. Sayang, aku tidak berhasil mendekati metode yang resmi. Dalam pelajaran sejarah aku mempunyai gayaku sendiri. Aku tidak menyesuaikan sama sekali teori bahwa anak‐anak harus diajar secara kenyataan. Angan‐anganku ialah hendak menggerakkan mereka supaya bersemangat. Aku lebih berpegang pada pengertian sejarah daripada mengajarkan nama‐nama, tahun dan tempat. Aku tak pernah memusingkan kepala tentang tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau tahun berapa Napoleon gagal di Waterloo atau hal‐hal lain yang sama remehnya seperti apa yang biasanya mereka ajarkan di sekolah. Kalau seharusnya aku memperlakukan murid‐muridku sebagai anak‐anak yang masih kecil, yang kemampuannya dalam mata pelajaran ini terpusat pada mengingat fakta‐fakta, maka aku berfalsafah dengan mereka. Aku memberikan alasan mengapa ini dan itu terdjadi. Aku memperlihatkan peristiwaperistiwa sejarah secara sandiwara. Aku tidak memberikan pengetahuan secara dingin dan kronologis. Ooo tidak, Sukarno tidak memberikan hal semacam itu. Itu tidak bisa diharapkan dari seorang orator yang berbakat dari lahirnya. Aku mengayunkan tanganku dan mencobakannya. Kalau aku bercerita tentang Sun Yat Sen, aku betul‐betul berteriak dan memukul meja. Sudah menjadi aturan dari Departemen Pengajaran Hindia Belanda, sekolah‐sekolah dikunjungi oleh penilik‐penilik sekolah pada waktu‐waktu tertentu. Pada waktunja jang tepat seorang penilik sekolah datang mendengarkan pelajaran sejarahku. Dia duduk dengan tenang dibelakang kelas untuk memperhatikan. Selama dua jam aku mengajar dengan cara yang menurut pikiranku paling baik, sementara mana aku menyadari bahwa dia mendengarkan dengan saksarna. Secara kebetulan pelajaran kali ini berkenaan dengan Imperialisme. Karena aku sangat menguasai pokok persoalan ini, aku menjadi begitu bersemangat sehingga aku terlompat‐lompat dan mengutuk seluruh sistemnya. Dapatkah engkau membayangkan? Di hadapan penilik sekolah bangsa Belanda yang memandang padaku dengan wajah tidak percaya, aku sungguh‐sungguh menamakan Negeri Belanda sebagai “Kolonialis yang terkutuk ini”! Ketika pelajaran dan kisahku kedua‐duanya selesai, penilik sekolah itu menyatakan dengan seenaknya bahwa menurut pendapatnya sesungguhnya aku bukan pengajar yang terbaik yang pernah dilihatnya dan bahwa aku tidak mempunyai masa depan yang baik dalam pekerjaan ini. Ia berkata kepadaku, “Raden Sukarno, tuan bukan guru, tuan seorang pembicara!” Dan inilah akhir daripada karierku yang singkat sebagai guru. 26 Djuli 1926 aku membuka biro teknikku yang pertama, bekerjasama dengan seorang teman sekelas, Ir. Anwari. Aku tak pernah lagi mendapat kesempatan untuk memasuki Ruang Keilmuan. Kehidupan segera memikulkan beban di atas pundakku dan melemparkan aku ke atas tumpukan sampah dan ke dalam pondok‐pondok yang bocor dan goyah. Kehidupan melemparkan daku ke pasar‐pasar. Kehidupan membuangku ke hutan‐hutan, ke kampung‐kampung dan sawah‐sawah. Aku tidak mendjadi guru. Aku menjadi juru khotbah. Mimbarku adalah pinggiran jalan. Kumpulanku? Massa rakyat menggerumut yang sangat merindukan pertolongan. Di tahun 1926 aku mulai mengkhotbahkan nasionalisme terpimpin. Sebelum itu aku hanya memberikan kepada pendengarku kesadaran nasional lebih banyak daripada yang mereka ketahui sebelumnya. Sekarang aku tidak saja mengoyak‐oyak mereka untuk bangun, akan tetapi aku memimpin mereka. Aku menerangkan, bahwa sudah datang waktunya untuk menjelmakan suatu masyarakat baru yang demokratis sebagai ganti feodalisme yang telah bercokol selama berabad‐abad. Aku berkata kepada para pendengarku, “Kita tidak lagi akan membiarkan diri kita secara patuh mengikuti cara hidup yang akan membawa kita kepada kehancuran kita sendiri. Kehidupan yang terdiri dari kelas‐kelas, kasta‐kasta dan yang punya dan tidak punya menimbulkan perbudakan. Di dalam kehidupan modern manusia berjuang untuk meninggikan harkat kehidupan rakyat. Mereka yang tidak menghiraukan hal ini akan dibinasakan oleh rakyat banyak dan oleh bangsa‐bangsa yang berjuang untuk memperoleh haknya. “Kita memerlukan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan selama hidup kita. Mari kita tanggalkan pemakaian gelar‐gelar. Walaupun saya dilahirkan dalam kelas
ningrat, saya tidak pernah menyebut diriku raden dan saya minta kepada saudara‐saudara mulai dari saat ini dan untuk seterusnya supaya saudara‐saudara jangan memanggil saya raden. Mulai dari sekarang jangan ada seorangpun menyebutku sebagai Tedaking Kusuma Rembesing Madu “Keturunan Bangsawan”. Tidak, aku hanya cucu dari seorang petani. Feodalisme adalah kepunyaan masalah yang sudah dikubur. Feodalisne bukan kepunyaan Indonesia di masa yang akan datang. “Sementara aku mendidik para pendengarku untuk menghabisi sistem feodal, aku melangkah selangkah maju, ialah ke bidang bahasa. Dalam bahasa Jawa saja terdapat 13 tingkatan yang pemakaiannya tergantung pada siapa yang dihadapi berbicara, sedang kepulauan kami mempunyai tidak kurang dari 86 dialek semacam itu. “Sampai sekarang,” kataku, “bahasa Indonesia hanya dipakai oleh kaum ningrat. Tidak oleh rakyat biasa. Nah, mulai dari hari ini menit ini mari kita berbicara dalam bahasa Indonesia. “Hendaknya rakyat Marhaen dan orang bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. Hendaknya seseorang dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara‐saudaranya di pulau lain dalam bahasa yang sama. Kalau kita, yang beranak‐pinak seperti kelinci, akan menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita harus mempunyai satu bahasa persatuan. Bahasa dari Indonesia Baru.”Sebelurn ini, seorang Jawa dari golongan rendah tidak boleh sekali‐kali menanyakan kepada orang Jawa yang lebih tinggi derajatnya, ‘Apakah engkau memanggil saya?’ Dia tidak akan berani mengucapkan begitu saja perkataan “engkau” kepada orang yang lebih atas. Seharusnya ia memakai perkataan “kaki tuan” atau “kelom tuan”. Dia harus mengucapkan, “Apakah kelom tuan memanggil saya? “Tingkatan perhambaan semacam inipun dinyatakan dengan gerak. Aku menunjuk dengan jari telunjukku, akan tetapi orang jang lebih rendah tingkatnya dihadapanku akan menunjuk dengan ibu jari. Keramahan yang demikian itu memberikan kepada si penjajah suatu senjata rahasia yang membantu melahirkan suatu bangsa “cacing” dan “katak” seperti mereka menamakannya. Kamipun disebut sebagai “rakyat yang paling pemalu di dunia. “Bertahun‐tahun kemudian aku tergila‐gila pada seorang Puteri yang muda dan cantik dari salah satu kraton di Jawa, akan tetapi penasehatpenasehatku menyatakan, bahwa aku sebagai orang yang telah bergabung dengan rakyat jelata tidak mungkin mengawininya. Sekalipun hatiku luka, mereka menunjukkan bagaimana aku telah memimpin pemberontakan melawan feodalisme, jadi tidak bisa sekarang memasuki golongan itu. Dan berahirlah hubungan ini dengan suatu kisah percintaan secara platonis. Di kalangan kaum bangsawan di Jawa seorang isteri tidak pernah kehilangan derajatnya yang tinggi. Kalau ia mengawini seorang lelaki yang lebih rendah derajatnya, suaminya harus mengajukan permohonan untuk berbuat sesuatu. Bahkan untuk bercintaan dengan isterinya sendiri, si suami yang boleh jadi bergelar raden, terlebih dulu harus meminta izin dari isterinya. Mungkin maksudnya baik. Akan tetapi, aku tidak dapat melihat Sukarno dalam
kedudukan yang demikian. Di jaman Feodal kami tidak mempunyai bentuk panggilan yang luas seperti Mister, Mistres, Miss atau yang dapat mencakup seluruh lapisan dan tingkat seseorang. Ketika aku memaklumkan Bahasa Indonesia, kami memerlukan suatu rangkaian sebutan yang lengkap yang dapat dipakai secara tidak berubah‐ubah antara tua dan muda, kaya dan miskin, Presiden dan rakyat tani. Di saat itulah kami mengembangkan sebutan Pak atau Bapak, Bu atau Ibu dan Bung yang berarti saudara. Di jaman Revolusi Kebudayaan inilah aku mulai dikenal sebagai Bung Karno. Tahun 1926 adalah tahun dimana aku
memperoleh kematangan dalam tiga segi. Segi yang kedua adalah dalam kepercayaan. Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata‐mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu melalui permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku maka kemerdekaan bagi seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama. Ketika konsep keagamaanku meluas, ideologi dari Pak Tjokro dalam pandanganku semakin sempit dan semakin sempit juga. Pandangannya tentang kemerdekaan untuk tanah air kami semata‐mata ditinjau melalui lensa mikroskop dari agama Islam. Aku tidak lagi menoleh kepadanya untuk belajar. Juga kawan‐kawannya tidak lagi menjadi guruku. Sekalipun aku masih seorang pemuda, aku tidak lagi menjadi penerima. Aku sekarang sudah menjadi pemimpin. Aku mempunyai pengikut. Aku mempunyai reputasi. Aku sudah menjadi tokoh politik yang sederajat dengan Pak Tjokro. Dalam hal ini tidak terjadi pemutusan tiba‐tiba. Ini terjadi lebih mirip dengan pemisahan diri secara pelahan sedikit demi sedikit. Sekalipun antara Pak Tjokro dan aku terdapat perbedaan yang besar di bidang politik, akan tetapi antara kami tetap terjalin hubungan yang erat. Orang Asia tidak menemui kesukaran untuk membedakan ideologi dengan peri‐kemanusiaan. Ketika seorang nasionalis bernama Hadji Misbach menyerang Pak Tjokro secara serampangan dalam suatu kongres, kuminta supaya dia
minta ma’af kepada kawan lamaku itu. Hadji Misbach kemudian menyatakan penyesalannya. Menentang seseorang dalam bidang politik tidaklah berarti bahwa kita tidak mencintainya secara pribadi. Bagi kami, yang satu tidak ada hubungannya dengan yang lain. Hal ini tidak dapat diselami oleh pikiran orang Barat, tapi ini senada dengan mentalita orang Timur. Misalnya saja, kusebut Pak Alimin dan Pak Muso. Keduaduanya sering bertindak sebagai guruku dalam politik ketika aku tinggal di rumah Pak Tjokro. Kemudian mereka berpindah kepada Komunisme, pergi ke Moskow dan belakangan di tahun 1948, setelah aku menjadi Presiden, mengadakan pemberontakan Komunis dan usaha perebutan kekuasaan. Mereka merencanakan kejatuhanku. Akan tetapi orang Jawa mempunyai suatu peribahasa, “Gurumu harus dihormati, bahkan lebih daripada orangtuamu sendiri.” Ketika Pak Alimin sudah terlalu amat tua dan sakit, aku mengunjunginya. Lalu surat‐surat kabar mengoceh, “Hee, lihat Sukarno mengunjungi seorang Komunis! “Ya, Pak Alimin telah mencoba menjatuhkanku. Akan tetapi dia adalah salah‐seorang guruku di hari mudaku. Aku berterima kasih kepadanya atas segala yang baik yang telah diberikannya kepadaku. Aku berhutang budi kepadanya. Yang sama beratnya untuk dilupakan ialah kenyataan, bahwa dia adalah salah seorang perintis kemerdekaan. Seseorang yang berjuang untuk pembebasan tanah airnya —tak pandang bagaimana perasaannya terhadapku kemudian — berhak mendapat penghargaan dari rakyatnya dan dari Presidennya. Sama juga halnya dengan Pak Tjokro. Sampai di hari aku akan menutup mata untuk selama‐lamanya, aku akan tetap menulis namanya dengan hati yang lembut. Dalam bidang politik Bung Karno adalah seorang Nasionalis. Dalam kepercayaan Bung Karno seorang yang beragama. Akan tetapi Bung Karno mempunyai kepercayaan yang bersegi tiga. Dalam bidang ideologi, ia sekarang menjadi sosialis. Kuulangi bahwa aku menjadi sosialis. Bukan Komunis. Aku tidak menjadi Komunis. Masih saja ada orang yang berpikir bahwa Sosialisme sama dengan Komunisme. Mendengar perkataan sosialis mereka tidak dapat tidur. Mereka melompat dan memekik, “Haaa, saya sudah tahu! Bahwa Bung Karno seorang Komunis!” Tidak, aku bukan Komunis. Aku seorang SosiaIis. Aku seorang Kiri. Orang Kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis, imperialis yang ada sekarang. Kehendak untuk menyebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat bercekcok dengan orang Komunis. Kiriphobi, penyakit takut akan cita‐cita kiri, adalah penyakit yang kutentang habis‐habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilisme. Bagaimana suatu negeri yang miskin menyedihkan seperti negeri kami dapat menganut suatu aliran lain kecuali haluan sosialis? Mendengar aku berbicara tentang demokrasi, seorang pemuda menanyakan apakah aku seorang demokrat. Aku berkata, “Ya, aku pasti sekali seorang demokrat.” Kemudian dia berkata, “Akan tetapi menurut pandangan saya tuan seorang sosialis.” Saya sosialis, jawabku. Ia menyimpulkan semua itu dengan, “Kalau begitu tentu tuan seorang sosialis demokrat.” Mungkin ini salah satu jalan untuk menamaiku. Orang Indonesia berbeda dengan bangsa lain di dunia. Sosialisme kami adalah sosialisrne yang dikurangi dengan pengertian rnaterialistisnya yang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang terutama takut dan cinta kepada Tuhan. Sosialisme kami adalah suatu campuran. Kami menarik persamaan politik dari Declaration of Independence dari Amerika. Kami menarik persamaan spiritual dari Islam dan Kristen. Kami menarik persamaan ilmiah dari Marx. Ke dalam campuran yang tiga ini kami tambahkan kepribadian nasional: Marhaenisme. Kemudian kami memercikkan ke dalamnya Gotong‐royong yang menjadi jiwa, inti daripada bekerja bersama, hidup bersama dan saling bantu‐membantu. Kalau ini dicampurkan semua, maka hasilnya adalah Sosialisme Indonesia. Konsepsi‐konsepsi ini, yang dimulai semenjak tahun duapuluhan dan tak pernah aku menyimpang daripadanya, tidak termasuk begitu saja dalam penggolongan sesuai dengan jalan pikiran orang Barat, tetapi memang orang harus mengingat, bahwa aku tidak mempunyai jalan pikiran Barat. Merubah rakyat sehingga mereka tergolong dengan baik dan teratur ke dalam kotak Barat tidak mungkin dilakukan. Para pemimpin yang telah mencoba, gagal dalam usahanya. Aku selalu berpikir dengan cara mentalita Indonesia. Semenjak dari sekolah menengah aku telah menjadi pelopor. Dalam hal politik aku tidak berpegang kepada salah satu contoh. Mungkin inilah yang menyebabkan, mengapa aku jadi sasaran dari demikian banyak salah pengertian. Aliran politikku tidak sama dengan aliran orang lain. Tapi disamping itu latar belakangku pun tidak bersamaan dengan siapapun juga. Nenekku memberiku kebudajaan Jawa dan Mistik. Dari bapak datang Theosofisme dan Islamisme. Dari ibu Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Dari Pak Tjokro datang Sosialisme. Dari kawan‐kawannya datang Nasionalisme.Aku menambah renungan‐renungan dari Karl Marxisme dan Thomas Jeffersonisme. Aku belajar ekonomi dari Sun Yat Sen. Aku belajar kebaikan dari Gandhi. Aku sanggup mensynthese pendidikan secara ilmu modern dengan kebudayaan animistik purbakala dan mengambil ibarat dari hasilnya menjadi pesan‐pesan pengharapan yang hidup dan dapat dihirup sesuai dengan pengertian dari rakyat kampung. Hasil yang keluar dari semua ini dinamakan orang —dalam istilah biasa— Sukarnoisme. Aku tumbuh dari Sarekat Islam, akan tetapi belum menukarnya dengan partai lain yang formil. Apa yang disebut organisasi politikku di tahun 1926 adalah pertumbuhan dari Bandung Studenten Club yang disponsori oleh universitas, agar para mahasiswa dapat bermain bridge atau bilyar. Ia didirikan untuk pesta‐pesta dan kegembiraan. Anak Bumiputera dibolehkan masuk club itu akan tetapi, setelah mengikutinya, aku menyadari bahwa kami tidak dapat menjadi anggota pengurus. “Saya tidak dapat menerima keadaan semacam itu,” kataku, “Saya akan keluar dari perkumpulan ini.” Seperti di Mojokerto, setiap orang main ikut‐ikutan dengan pemimpin. Pada waktu Sukarno keluar dari Bandung Studenten Club ini, anak Indonesia lainnya pun mengikutinya. Dengan lima orang anak Indonesia aku mendirikan Perkumpulan Studi. Aku memilih bahan bacaan yang bernilai seperti “Handelingen der Tweede Kamer van de Staten Generaal” (Kegiatan Tweede Kamer dari Staten Generaal Negeri Belanda) dari perpustakaan. Dan kami secara berganti‐ganti membacanya seminggu seorang. Pada setiap penutupan lima mingguan sekali kami mengadakan pertemuan —biasanya di rumahku — dan duduk sepanjang malam memperdebatkan pokokpokok dari strategi yang ada di dalamnya. Orang selalu dapat mengetahui, kapan Bung Karno mempelajari buku itu. Kalimat‐kalimat yang perlu, diberi bergaris dibawahnya. Paragraf‐paragraf diberi lingkaran. Siapa saja yang membacanya setelah itu dapat melihat dengan mudah aliran pikiranku. Kutuliskan kritik‐kritikku dipinggir pinggir halaman. Aku memberi tanda halaman‐halaman yang kusetujui
dan memberi catatan dibawah halaman‐halaman yang tidak kusetujui. Tadinya segar dan bersih dari rak perpustakaan, jilid‐jilid yang berharga itu kemudian tidak lagi bersih sesudah itu. Ke dalam Algemeene Studiclub ini hinggaplah intellektuil‐intellektuil muda bangsa Indonesia, banyak yang baru saja kembali dari Negeri Belanda dengan ijazah kesarjanaannya yang gilang‐gemilang ditangan mereka. Pertukaran buah‐pikiran dalam bidang politik yang aktif adalah kegiatan kami yang pokok. Cabang‐Cabang dari Studieclub ini tumboh di Solo, Surabaya dan kota lainnya di Jawa. Kami kemudian menerbitkan majalah perkumpulan — Suluh Indonesia Muda — dan, sebagaimana dapat diduga, Ketua Sukarno adalah penyumbang tulisan yang pertama. Karena aku begitu terikat dalam soalsoal politik sehingga kurang memikirkan soal‐soal lain, maka biro teknikku merosot sehingga ia mati sama sekali. Pikiranku terlalu sangat tertuju kepada segi yang dalam dari kehidupan ini daripada memikirkan yang tidak berarti, sehingga dimalam terang bulan yang penuh gairah aku bahkan lebih memikirkan isme daripada memikirkan Inggit. Pada waktu muda‐mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan “Das Kapital”. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi. Jadi aku mendekati achir daripada windu yang ketiga. Sewindu adalah suatu jangka waktu yang lamanya delapan tahun. Tahun 1901 sampai 1909 adalah windu dengan pemikiran kanak‐kanak. 1910 sampai 1918 adalah windu pengembangan. 1919 sampai 1927 windu untuk mematangkan diri. Aku sudah siap sekarang

MENDIRIKAN P.N.I

BAB VIII: Mendirikan P.N.l.
WAKTUNYA sudah tepat bagiku untuk mendirikan partaiku sendiri. Ada dua faktor. Di tahun 1917 dinasti dari Hohenzollern terpecah‐pecah di Jerman, Franz Josef jatuh, Czar Alexander goyah. Sepihan‐sepihan dari mahkota‐mahkota dunia yang telah dibinasakan itu melayang‐layang melalui telinga Ratu Wilhelmina dan geledek dari revolusi yang berdekatan menggulung‐gulung melalui pekarangannya.1917 membawa pemberontakan Bolsjewik dari Lenin dan lahirnya Uni Soviet. Bela Kun memimpin suatu pemberontakan di Hongaria. Buruh Jerman mendirikan Republik Weimar. Di sebelah kanan Negeri Belanda dan disebelah kirinya menganga jurang chaos. Sedang ia sendiri setelah tiga tahun peperangan hancur dalam segi materil dan spirituil. Karena hubungan antara Negeri Belanda dan Hindianya terputus akibat gangguan peperangan dan perhubungan laut yang hampir sama sekali tidak ada, maka bagian terbesar dari kekayaannya —kekayaan yang berasal dari anak tirinya Indonesia— punah. Pun di bidang politik ia lumpuh. Kebutuhannya yang besar menjebabkan kekosongan yang serius, yang segera diisi oleh ketidakpuasan dan kekacauan. Untuk melengkapi nasib sialnya, maka seorang Sosialis bernama Dr. Pieter Jelles Troelstra mengadakan gerakan revolusioner proletariat. Pertama perang, kemudian timbulnya revolusi, menyebabkan negeri Belanda menjadi lemah. Digerakkan oleh peristiwa‐peristiwa ini nasionalisme di Hindia Belanda tumbuh bagai bisul‐bisul. Orang Belanda menyadari, bahwa mereka harus melunakkan hati penduduknya yang berkulit sawo matang disepanjang katulistiwa, oleh karena Belanda sudah cukup banyak menghadapi kesukaran di pekarangan muka rnereka sendiri, hal mana tidak memberi kemungkinan untuk bisa memadamkan pemberontakan bila berkobar di Indonesia. Hindia adalah gabusnya tempat Belanda mengapung Dengan segala daya upaya mereka perlu membelenggu terus “saudara‐saudara” mereka yang berkulit sawo matang secara patuh. Karena negeri dibalik pematang itu terlalu lemah untuk menggunakan kekuatan, maka udara dari peristiwa‐peristiwa dunia membawa mereka kepada Djandji Nopember sebagai jalan untuk menenangkan keadaan. Di bulan Nopember tahun 1918 Gubernur Djendral, Graaf van Limburg Stirum, menjanjikan kepada kami hak‐hak politik yang lebih luas, kebebasan yang lebih besar, kemerdekaan untuk mengadakan rapat‐rapat umum, hak bersuara di Dewan Rakyat. Segera kami menyadari, bahwa Negeri Belanda tidak mempunyai maksud untuk menepati janji‐janji yang terkenal busuk dan pendek umurnya itu. Dalam setahun Belanda mengkhianati kami dengan mengangkat Gubernur Djendral Dirk Fock, Yang paling reaksioner dari segala jaman. Secara perbandingan maka rezim‐rezim sebelumnya adalah moderat. Akan tetapi Fock sikapnya lebih menindas dan mengurangi hak‐hak yang telah pernah diberikan. Ia menekan, mengejar‐ngejar dan mengadakan undang‐undang yang mengurangi kebebasan apapun juga yang kami peroleh sebelumnya. Kalau seseorang mengeluarkan celaan, sekalipun “tersembunyi”, dapat menyebabkannya masuk penjara. Dengan perkataan lain, kalau engkau seorang diri dalam sebuah gua dan ucapanmu yang mengigau dalam pengasingan itu dilaporkan kepada polisi, engkau dapat dijatuhi hukuman enam tahun. Engkau bahkan masuk penjara karena berbicara dalam mimpi! Pemerintahan ini memberikan peluang bagi pemakaian “Undang‐undang Luar biasa”, yang menyebabkan demikan banyak saudara kami laki‐laki dan perempuan dikirim ke tempattempat yang membikin berdiri bulu roma. Undang‐undang itu memberi kekuasaan untuk menginternir atau mengeksternir seorang Bumiputera masuk penjara atau pengasingan tanpa diadili terlebih dulu. Pada waktu Negeri Belanda memperoleh kekuatan, maka keadaan semakin memburuk. Fock yang keterlaluan itu digantikan oleh De Graeff yang lebih jahat lagi. Waktunya sudah datang untuk mendesakkan nasionalisme. Tapi bagaimana? Kami tidak mempunyai satu partaipun yang kuat. Sarekat Islam pecah dua. Pak Tjokro tetap memegang kendali dari bagian yang sudah lemah, sedang bagian yang lain merobah namanja menjadi Sarekat Rakyat. Dengan dalih perselisihan maka Komunisme menyusup ke dalam Sarekat Rakyat. Dalam tahun 1926 mereka merencanakan dan menjalankan “Revolusi Fisik Besar untuk Kemerdekaan dan Komunisme”. Pemberontakan ini menemui kegagalan yang menyedihkan. Belanda menindasnya dengan serta‐merta dan lebih dari 2.000 pemimpin diangkut dengan kapal ke pelbagai tempat pengasingan. 10.000 orang lagi dipenjarakan. Akibat selanjutnja adalah chaos. Serekat Rakyat dinyatakan terlarang. Mereka yang memilih Sarekat Rakyat sekarang tidak punya apa‐apa. Mereka yang semakin tidak puas dengan Tjokropun tidak punya apa‐apa Tidak ada lagi inti gerakan nasional yang kuat. Dalam pada itu aku sudah menemukan pegangan dalam bidang politik. Pada setiap cangkir kopi tubruk, di setiap sudut dimana orang berkumpul nama Bung Karno menjadi buah‐mulut orang. Kebencian umum terhadap Belanda dan kepopuleran Bung Karno memperoleh tempat yang berdampingan dalam setiap buah tutur. Pada tanggal empat Juli 1927, dengan dukungan dari enam orang kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan P.N.I., Partai Nasional Indonesia. Rakyat sudah siap. Bung Karno sudah siap. Sekarang tidak ada yang dapat menahan kami —kecuali Belanda. Tujuan daripada P.N.I. adalah kemerdekaan sepenuhnya. SEKARANG. Bahkan pengikut‐pengikutku yang paling setia gemetar oleh tujuan yang terlalu radikal ini, oleh karena organisasi‐organisasi sebelumnya selalu menyembunyikan sebagian dari tujuannya, supaya Belanda tidak mengganggu mereka. Denganku, tidak ada yang perlu disembunyikan, tanpa tedeng aling‐aling. Dalam perdebatan di ruangan yang tertutup, beberapa orang mencoba menggelincirkanku dari rel itu. “Rakyat belum lagi siap,” kata mereka. “Rakyat SUDAH siap,” jawabku dengan tajam. “Dan menjadi semboyan kitalah: ‘Indonesia merdeka SEKARANG.’ Kukatakan ‘Indonesia merdeka SEKARANG.” Ini tidak mungkin dilakukan, Bung,” mereka memotong “Tuntutan Bung Karno terlalu keras. Kita akan dihancurkan sebelum mulai. Memang massa rakyat mendengarkan Bung Karno, mengikuti Bung Karno secara membabi‐buta, akan tetapi Indonesia merdeka SEKARANG adalah terlalu radikal. Pertama kita harus mencapai persatuan nasional terlebih dahulu.” Kita tidak bersatu. Betul. Kita terlalu banyak mempunyai ideologi. Setuju. Kita harus memperoleh persatuan nasional. Ya. Akan tetapi kita tidak lagi berjalan pelahan‐lahan. 350 tahun sudah cukup pelahan! “Mereka mencoba menerangkan pandangannya yang hebat. “Pertama kita harus mendidik rakyat kita yang jutaan. Mereka belum dipersiapkan supaya dapat mengendalikan diri sendiri. Kedua, kita harus memperbaiki kesehatan mereka supaya dapat berdiri tegak. Lebih baik kalau segala sesuatu sudah lengkap dan selesai terlebih dahulu.” Satu‐satunya saat kalau segala sesuatu sudah lengkap dan selesai ialah bilamana kita sudah mati,” aku berteriak. “Untuk mendidik mereka secara pelahan akan memakan waktu beberapa generasi. Kita tidak perlu menulis thesis atau membasmi malaria sebelum kita memperoleh kemerdekaan. Indonesia merdeka SEKARANG!. Setelah itu baru kita mendidik, memperbaiki kesehatan rakyat dan negeri kita. Hayolah kita bangkit sekarang.” Tentu Belanda akan menangkap kita.” Belandapun akan mempunyai respek sedikit terhadap kita. Sudah menjadi sifat manusia untuk meludahi yang lemah, akan tetapi sekalipun kita menghadapi lawan yang gagah berani, setidak‐tidaknya kita merasa bahwa dia pantas menjadi lawan. “Aku memandang diriku sebagai seorang pemberontak. Kupandang P.N.I. sebagai tentara pemberontak. Di tahun 1928 aku mengusulkan. agar semua anggota memakai pakaian seragam. Usulku ini menimbulkan polemik yang hebat. Seorang wakil yang setia dari Tegal berdiri dan menyatakan, “Ini tidak sesuai dengan kepribadian nasional. Seharusnya kita memakai sarung tanpa sepatu atau sandal. Hendaklah kita kelihatan seperti orang‐orang revolusioner sebagaimana kita seharusnya. “Aku tidak setuju. “Banjak orang yang kaki ayam, akan tetapi mereka bukan orang yang revolusioner. Banjak orang yang berpangkat tinggi memakai sarung, tapi mereka bekerja dengan sepenuh hati untuk kolonialis. Yang menandakan seseorang itu revolusioner adalah bakti yang telah ditunaikannya dalam perjuangan. Kita adalah suatu tentara, saudara‐saudara. “Selanjutnya saya menganjurkan untuk tidak memakai sarung, sekalipun berpakaian preman. Pakaian yang kuno ini menimbulkan pandangan yang rendah. Di saat orang Indonesia memakai pantalon, disaat itu pula ia berjalan tegap seperti; setiap orang kulit putih. Akan tetapi begitu ia memasangkan lambang feodal disekeliling pinggangnya ia lalu berjalan dengan bungkukan badan yang abadi. Bahunya melentur ke muka. Langkahnya tidak jantan. Ia beringsut dengan merendahkan diri. Pada saat itupun ia bersikap ragu dan sangat hormat dan tunduk.” Sungguhpun begitu,” Ali Sastroamidjojo S.H. membalas, yang ketika itu mendjadi ketua Cabang P.N.I. dan kemudian di tahun limapuluhan menjadi Dutabesar Indonesia yang pertama di Amerika Serikat, “Sarung itu sesuai dengan tradisi Indonesia.” Tradisi Indonesia dimasa yang lalu, “betul,” aku meledak, “Akan tetapi tidak sesuai dengan Indonesia Baru dari masa datang. Kita harus melepaskan diri kita dari pengaruh‐pengaruh masa lampau yang merangkak‐rangkak seperti pelayan, jongos dan orang dusun yang tidak bernama dan tidak berupa. Mari kita tunjukan bahwa kita sama progressif dengan orang Belanda. Kita harus tegak sama tinggi dengan mereka. Kita harus memakai pakaian modern.”Ali berdiri lagi. “Untuk memperoleh pakaian seragam perlu biaya yang besar, sedangkan kita tidak punya uang.” Kita akan usahakan pakaian yang paling murah,” aku menyarankan. Cukup dengan baju lengan pendek dan pantalon. Supaya kita kelihatan gagah dan tampan tidak perlu biaya yang besar. Kita harus berpakaian yang pantas dan kelihatan sebagai pemimpin.” Ada yang memihak kepadaku. Sebagian lagi menyokong Ali. Aku kalah. Sungguhpun demikian keinginan untuk berpakaian seragam ini tidak pernah hilang dari pikiranku. Dan begitulah, setelah mengambil sumpah sebagai Presiden di tahun 1945 aku mulai memakai uniform. Pers asing kemudian mengeritikku. Mereka mengejek. Uhhh, Presiden Sukarno memakai kancing dari emas. Uhhh! Dia pakai uniform hanya untuk melagak. “Cobalah pertimbangkan, aku seorang ahli ilmu jiwa massa. Memang ada pakaianku yang lain. Akan tetapi aku lebih suka memakai uniform setiap muncul dihadapan umum, oleh karena aku menyadari bahwa rakyat yang sudah diinjak‐injak kolonialis lebih senang melihat Presidennya berpakaian gagah. Taruhlah Kepala Negaranya muncul dengan baju kusut dan berkerut seperti seorang wisatawan dengan sisi topinya yang lembab dan penuh keringat, aku yakin akan terdengar keluhan kekecewaan. Rakyat Marhaen sudah biasa melihat pakaian semacam itu dimanamana. Pemimpin Indonesia haruslah seorang tokoh yang memerintah. Dia harus kelihatan berwibawa. Bagi suatu bangsa yang pernah ditaklukkan memang perlu hal‐hal yang demikian itu Rakyat kami sudah begitu terbiasa melihat orang‐orang asing kulit putih mengenakan uniform yang hebat, yang dipandangnya sebagai lambang dari kekuasaan. Dan merekapun bagitu terbiasa melihat dirinya sendiri pakai sarung, seperti ia jadi tanda dari rasa rendah diri. Ketika aku diangkat menjadi Panglima Tertinggi, aku menyadari bahwa rakyat menginginkan satu tokoh pahlawan. Kupenuhi keinginan mereka. Pada mulanya aku bahkan memakai pedang emas di pinggangku. Dan rakyat kagum. Sebelum orang lain menyebutnya, akan kukatakan padamu lebih dulu. Ya, aku tahu bahwa aku kelihatan lebih pantas dalam pakaian seragam. Akan tetapi terlepas daripada kesukaan akan pakaian necis dan rapi, kalau aku berpakaian militer maka secara mental aku berpakaian dalam selubung kepercayaan. Kepercayaan ini pindah kepada rakyat. Dan mereka memerlukan ini.1928 adalah tahun propaganda dan pidato. Bandung kubagi dalam daerah‐daerah politik: Bandung Utara, Bandung Selatan, Bandung Timur, Barat, Tengah, daerah sekitar dan sebagainya. Di tiap daerah itu aku berpidato sekali dalam seminggu, sehingga aku diberi julukan sebagai “Singa Podium”. Kami tidak mempunyai pengeras suara, karena itu aku harus berteriak sampai parau. Di waktu sore aku memekik‐rnekik kepada rakyat yang menyemut di tanah lapang. Di malam hari aku membakar hati orang‐orang yang berdesak‐desak sampai berdiri dalam gedung pertemuan. Dan di pagi hari aku menarik urat leher dalam gedung bioskop yang penuh sesak dengan para pencinta tanah air. Kami pilih gedung bioskop untuk pertemuan pagi, oleh karena pada jam itu kami dapat menyewanya dengan ongkos murah. Lalu berdatangan pulalah para pejoang kemerdekaan dari segala penjuru pulau Jawa ke Bandung untuk mendengarkan aku berpidato. Seorang laki‐laki mengadakan perjalanan dari Sumatra Selatan untuk mendengarkan pidato dari Singa Podium yang, katanya, “sungguh‐sungguh menyentuh tali hati setiap orang seperti pemain ketjapi”. Kenyataan ini adalah kesa yang sangat luar biasa baginya, oleh karena ia tidak mempunyai uang. Aku terpaksa meminjam uang segobang untuk membelikannya nasi. Keadaan kami terlalu melarat, sehingga uang sepeserpun ada harganya. Aku tidak punja uang supaya dapat membantunya sekalipun hanya sekian. Akan tetapi kesetiaan dari patriot utama ini patut dihargai. Setelah dua tahun ia kukirim kembali untuk menjalankan tugas di daerahnya sendiri. Kamaruddin ini menjadi salah seorang kawan seperjuanganku yang akrab sekarang. Masa ini jamannua kerja keras. Jaman yang memberikan kegembiraan sebesarbesarnya yang pernah kualami. Membikin keranjingan massa rakyat sampai mereka mabuk dengan anggurnya ilham adalah suatu kekayaan yang tak ternilai bagiku, untuk mana aku mempersembahkan hidup ini. Bagiku ia adalah zat hidup. Apabila aku berbicara tentang negeriku, semangatku berkobar‐kobar. Aku menjadi perasa. Jiwaku bergetar. Aku dikuasai oleh getaran jiwa ini dalam arti yang sebenar‐benarnya dan getaran ini menjalar kepada orang‐orang yang mendengarkan. Sayang, diantara pendengarku semakin banyak anggota polisi. Mereka selalu berada dimana saja, kalau aku berpidato dan menguraikan siasatku dengan teliti. Memang ada cara‐cara untuk mengelabui orang‐orang‐asing sehingga mereka tidak bisa menangkap setiap insinuasi. Engkau dapat menggunakan peribahasa daerah atau menyatakan suatu pengertian dengan gerak. Rakyat mengerti. Dan mereka bersorak. Di jaman kami, kami tidak membalas dendam kepada polisi. Taruhlah kami dapat berbuat sedemikian, akan tetapi hasilnya jauh lebih menyenangkan dengan mempermainkannya. Kalau aku berhadapan dengan wajah baru yang. Mengikutiku dari belakang setelah selesai berpidato, sikapku selalu ramah. Aku tidak pernah membesarkan suara dan mengeledek, “Hee, apa‐apaan kamu mengikuti aku, ha?” Tidak pernah sekasar itu. Dengan senyum yang menyenangkan aku seenaknya membiarkannya melakukan pengejaran di belakangku dalam teriknya sinar matahari menuju salah satu daerah pesawahan di pinggir kota. Dari pesawat terbang maka daerah pesawahan dengan petak‐petak kecil kelihatan menghampar bagai selimut yang ditambal‐tambal. Dan pematang‐pematang yang mengelilingi tiap petak merupakan dinding penahan air supaya tetap tinggal dalam petak itu dan menggenangi benih. Kubiarkan orang itu mengikuti jejakku ke pinggir daerah pesawahan, kuletakkan sepeda diatas rumput dan berlari sepanjang pematang ke rumah seorang kawan. Karena tiba‐tiba timbul dalam pikiranku hendak mengunjunginya. Sudah tentu aku memilih kawan yang tinggal cukup jauh dari jalan dan kira‐kira setengah mil melalui pematang sawah. Aku tahu betul, bahwa orang Belanda yang gemuk dan goblok itu tidak boleh meninggalkan sepeda mereka dinpinggir jalan kalau tidak ada yang menjaga. Dan adalah tugas kewajiban mereka untuk tidak membiarkan lawan seperti Bung Karno lepas dari pandangannya. Jadi, apa akal orang Belanda terkutuk itu? Tiada akal mereka lain selain memikul sepeda yang berat itu, lalu berjalan dengan terhuyunghunyung merencahi air sawah atau meniti pematang yang kecil itu sebisa‐bisanya. Memandangi orangorang ini berkeringat, memusatkan tenaga dan terhunyung‐hunyung itu memberikan kegembiraan kepadaku yang tak ada taranya. Cobalah bayangkan ketegangan dari masa ini. Kami adalah peloporpelopor revolusi. Bersumpah untuk menggulingkan Pemerintah. Dan Sukarno —menjadi duri yang paling
besar. Setiap hari tajuk rencana menentangku dan tak pernah terluang waktu barang sejam dimana aku tidak dikejar‐kejar oleh dua orang detektif atau beberapa orang mata‐mata semacam itu. Aku menjadi sasaran utama bagi Belanda. Mereka mengintipku seperti berburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap gerak‐gerikku. Sangat tipis harapanku agar bisa luput dari intipan ini. Kalau para pemimpin dari kota lain datang, aku harus mencari tempat rahasia untuk berbicara. Seringkali aku mengadakan pertemuan penting dibagian belakang sebuah mobil dengan merundukkan kepala. Dengan begini polisi tidak dapat mendengar atau melihat apa yang terdjadi. Kami harus menjalankan cara penipuan yang demikian itu. Aku memikirkan siasat gila‐gilaan untuk membikin bingung polisi. Tempat lain yang kami pergunakan untuk pertemuan ialah rumah pelacuran. Aduh, ini luar biasa bagusnya. Hanya semata‐mata untuk memenuhi kepentingan tugasku. Kemana lagi seseorang yang dikejar‐kejar harus pergi, supaya aman dan bebas dari kecurigaan dan dimana kelihatannya seolah‐olah kepergiannya itu tidak untuk menggulingkan pemerintah? Coba …. dimana lagi? Jadi berapatlah kami disana, di tempat pelacuran, sekitar jam delapan dan sembilan malam, yaitu waktu yang tepat untuk itu. Kami pergi sendiri‐sendiri atau dalam kelompok kecil. Setelah memperoleh kebulatan kata kami bubar; seorang melalui pintu depan, dua orang lagi melalui pintu samping, aku mengambil jalan belakang dan seterusnya. Selalu pada hari berikutnya aku harus berurusan dengan Komisaris Besar Polisi, Albrechts. Setelah memeriksa tentang gerak‐gerikku ia menyerang “Sekarang dengarlah, tuan Sukarno, kami tahu dengan pasti, bahwa tuan ada di sebuah rumah pelacuran semalam. Apakah tuan mengingkarinya?” “Tidak, tuan” jawabku dengan suara rendah sambil memandang seperti orang yang berdosa, hal mana sepantasnya bagi orang yang sudah kawin. “Saya tidak dapat berdusta kepada tuan. Tuan mengetahui saya, saya kira. “Kemudian ia menarik mulutnya kebawah ke dekat mulutku dan bersuara seperti menyalak, “Untuk apa? Kenapa tuan pergi kesana?” Lalu kujawab, “Apa maksud tuan? Bukankah saya seorang lelaki? Bukankah umur saya lebih dari 16 tahun?” Nah,” ia meringis, mermandang kepadaku dekat‐dekat. “Kami tahu. Apa tuan pikir kami bodoh? Lebih baik terus terang. Tuan dapat menceritakan kepada kami mengapa tuan kesana. Apa alasannya?” Yaaahhh, dugaan tuan untuk apa saya kesana?” Kataku agak kemalu‐maluan. “Untuk bercintaan dengan seorang perempuan, itulah alasan ya.”, “Saya akan buat laporan lengkap mengenai ini.” Untuk siapa? Isteri saya?” Tidak, untuk Pemerintah,” dia membentak. “O,” kataku terengah mengeluarkan keluhan yang bersuara, “Baiklah.” Pelacur adalah matamata yang paling baik di dunia. Aku dengan segala senang hati menganjurkan ini kepada setiap Pemerintah Dalam gerakan P.N.I.‐ku di Bandung terdapat 670 orang dan mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh daripada anggota lain yang pernah kuketahui. Kalau menghendaki mata‐mata yang jempolan, berilah aku seorang pelacur yang baik. Hasilnya mengagumkan sekali dalam pekerjaan ini.Tak dapat dibayangkan betapa bergunanya mereka ini. Yang pertama, aku dapat menyuruh mereka menggoda polisi Belanda. Jalan apa lagi yang lebih baik supaya melalaikan orang dari kewajibannya selain mengadakan percintaan yang bernafsu dengan dia. ‘kan? Dalam keadaan yang mendesak aku menunjuk seorang polisi tertentu dan membisikkan kepada bidadariku, “Buka kupingmu. Aku perlu rahasia apa saja yang bisa kaubujuk dari babi itu.” Dan betul‐betul ia memperolehnya. Polisi‐polisi yang tolol ini tidak pernah mengetahui, dari mana datangnya keterangan yang kami peroleh. Tak satupun anggota partai yang gagah dan terhormat dari jenis laki‐laki dapat mengerjakan tugas ini untukku! Masih ada prestasi lain yang mengagumkan dari mereka ini. Perempuan‐perempuan lacur adalah satu‐satunya diantara kami yang selalu mempunyai uang. Mereka menjadi penyumbang yang baik apabila memang diperlukan. Anggota‐anggotaku ini bukan saja penyumbang yang bersemangat, bahkan menjadi penyumbang yang besar. Sokongannya besar ditambah lagi dengan sokongan tambahan. Aku dapat menggunakannya lebih dari itu.Sudah tentu tindakanku ini mendapat kecaman hebat karena memasukkan para pelacur dalam partai. Sekali lagi Ali yang berbicara. “Sangat memalukan,” keluhnya. “Kita merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal — kalau Bung Karno dapat mema’afkan saya memakai nama itu. Ini sangat memalukan.”Kenapa?” aku menentang. “Mereka jadi orang revolusioner yang terbaik. Saya tidak mengerti pendirian Bung Ali yang sempit.” Ini melanggar susila”, katanya menyerang. “Apakah Bung Ali pernah menanyakan alas an mengapa saya mengumpulkan 670 orang perempuan lacur?” tanyaku kepadanya. “Sebabnya ialah karena saya menyadari, bahwa saya tidak akan dapat maju tanpa suatu kekuatan. Saya memerlukan tenaga manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagi saya persoalannya bukan soal bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang ampuh, itulah satu‐satunya yang kuperlukan.” Kita cukup mempunyai kekuatan tanpa mendidik wanita ….. ” wanita ini,” Ali memprotes. “P.N.I. mempunyai cabang‐cabang di seluruh tanah air dan semuanya ini berjalan tanpa anggota seperti itu. Hanya di Bandung kita melakukan semacam ini.” “Dalam pekerjaan ini maka gadis‐gadis pesanan —pelacur atau apapun nama yang akan diberikan kepadanya— adalah orang‐orang penting,” jawabku. “Anggota lain dapat kulepaskan. Akan tetapi melepaskan perempuan lacur — tunggu dulu. Ambillah misalnya Mme. Pompadour —dia seorang pelacur. Lihat betapa masyhurnya dia dalam sejarah. Ambil pula Theroigne de Merricourt, pemimpin besar wanita dari Perancis. Lihat barisan roti di Versailles. Siapakah yang memulainya? Perempuan‐perempuan lacur. “Kupu‐kupu malam ini yang jasanya diperlukan untuk mengambil bagian hanya di bidang politik, ternyata memperlihatkan hasil yang gilang gemilang pun di bidang lain. Mereka memiliki daya‐ enarik seperti besi berani. Setiap hari Rabu cabang partai mengadakan kursus politik dan anggota‐anggota dari kaum bapak akan datang berduyun‐duyun apabila dapat melepaskan pandang pada tentaraku yang cantik‐cantik itu. Jadi, aku tentu harus mengusahakan supaya mereka datang setiap minggu. Tidak saja musuh‐musuhku yang datang bertamu kepada gadis‐gadis itu guna memenuhi kebutuhannya, akan tetapi dari anggota kami sendiripun ada juga. Dan menjadi tanggung‐jawab yang paling besarlah untuk membasmi anasir‐anasir dalam partai —baik laki‐laki maupun perempuan— yang tidak bisa menyimpan rahasia. Kamipun harus membasmi cucunguk‐cucunguk, yaitu orang yang dibayar untuk memata‐matai partainya sendiri. Setiap tempat mempunyai cucunguk‐cucunguk. Untuk meyakinkan, apakah agen‐agen kami judur dan dapat menutup mulutnya, kami menguji mereka. Selama enam bulan sampai setahun gadis‐gadis pelacur itu menjadi “Calon Anggota”. Ini berarti bahwa, sementara kami memberi bahan dan mengawasinya, mereka tetap sebagai calon. Kalau sudah diangkat menjadi mata‐mata yang diakui kecakapannya, maka itu tandanya kami sudah yakin ia dapat dipercaya penuh. Sebagai perempuan jalanan seringkali mereka harus berurusan dengan hukum dan dikenakan penjara selama tujuh hari atau denda lima rupiah. Akan tetapi aku mendorongnya supaya menjalani hukum kurungan saja. Suatu kali diadakan razia dan seluruh kawanan dari pasukan Sukarno diangkat sekaligus. Karena setia dan patuh kepada pemimpinnya, maka ketika hakim meminta denda mereka menolak, “Tidak, kami tidak bersedia membayar. “Keempatpuluh orangnya dibariskan masuk penjara. Aku gembira mendengarnya, oleh karena penjara adalah sumber keterangan yang baik. Tambahan lagi, ada baiknya untuk masa yang akan datang sebab mereka sudah mengenal para petugas penjara.Kemudian kusampaikanlah instruksi yang kedua untuk dijalankan nanti setelah bebas. Misalkan setelah itu armadaku mencari sasarannya di suatu malam. Umpamakan pula di saat yang bersamaan kepala rumah penjara sedang berjalan‐jalan makan angin menggandeng isterinya. Pada waktu ia melalui salah seorang bidadari pilihanku ini, si gadis harus tersenyum genit kepadanya dan menegur dengan merdu, “Selamat malam” sambil menyebut nama Belanda itu. Beberapa langkah setelah itu tak ragu lagi tentu ia akan berpapasan dengan gadisku yang lain dan diapun akan menyebut namanya dan merayu. “Hallo …. Selamat malam untukmu.” Isterinya akan gila oleh teguran ini. Muslihat ini termasuk dalam perang urat syaraf kami. Di jaman P.N.I. ini orang telah mengakuiku sebagai pemimpin, akan tetapi keadaanku masih tetap melarat. Inggit mencari penghasilan dengan menjual bedak dan bahan kecantikan yang dibuatnya sendiri di dapur kami. Selain itu kami menerima orang bajar makan, sekalipun rumah kami di Jalan Dewi Sartika 22 kecil saja. Orang yang tinggal dengan kami bernama Suhardi, seorang lagi Dr. Samsi yang memakai beranda muka sebagai kantor akuntan dan seorang lagi kawanku Ir. Anwari. Kamar tengah menjadi biro arsitek kami. Sewa rumah seluruhnya 75 sebulan. Uang makan Suhardi kira‐kira 35 rupiah. Kukatakan “kira‐kira” oleh karena selain jumlah itu aku sering meminjam beberapa rupiah ekstra. Bahkan Inggit
sendiripun meminjam sedikit‐sedikit dari dia. Adalah suatu rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih, bahwa kami diberi‐Nya nafkah dengan jalan yang kecil‐kecil. Kalau ada kawan mempunyai uang kelebihan beberapa sen, tak ayal lagi kami tentu mendapat suguhan kopi dan peuyeum. Sekali aku menjandjikan kepada Sutoto kawan sekelas, bahwa aku akan mentraktirnya, oleh karena ia sering mengajakku minum. Di sore berikutnya ia datang bersepeda untuk berunding dengan pemimpinnya. Rupanya ia kepanasan dan payah setelah mendayung sepedanya dengan cepat selama setengah jam. Dan pemimpin dari pergerakan nasional terpaksa menyambutnya dengan, “Ma’af, Sutoto, aku tidak dapat bertindak sebagai tuan rumah untukmu. Aku tidak punya uang.” Kemudian Sutoto mengeluh, “Ah, Bung selalu tidak punya uang.”Selagi kami duduk‐duduk dengan muka suram di tangga depan, seorang wartawan lewat bersepeda.”Heee, kemana?” aku memanggil. Cjari tulisan untuk koranku,” ia berteriak menjawab. “Aku akan buatkan untukmu.” Berapa?” tanyanya mengendorkan jalan sepedanya. “10 rupiah!” Wartawan itu seperti hendak mempercepat jalan sepedanya. “Oke, lima rupiah.”Tidak ada jawaban. Aku menurunkan tawaranku. “Dua rupiah bagaimana? Akan kuberikan padamu. Pendeknya cukuplah untuk bisa mentraktir kopi dan peuyeum. “Setuju ?” Setuju!”Kawanku itu menyandarkan sepedanya ke dinding rumah dan sementara dia dan Sutoto duduk di samping aku menulis seluruh tajuk. Tambahan lagi dengan pena. Tak satupun yang kuhapus, kucoret atau kutulis kembali. Begitu banyak persoalan politik yang tersimpan di otakku. sehingga selalu ada saja yang akan diceritakan. 15 menit kemudian kuserahkan kepadanya 1.000 perkataan. Dan dengan seluruh uang bayaranku itu aku membawa Sutoto dan Inggit minum kopi dan menikmati penyeum. Bagi kami kemiskinan itu bukanlah sesuatu yang patut dimalukan. Akan kuceriterakan padamu, bagaimana kami hidup di tahun‐tahun duapuluhan. Pada akhir liburan Natal saudara J.A.H. Ondang, seorang kawan, datang ke rumah di larut malam. “Bung,” katanya. “Aku dalam kesulitan. Apa Bung mau menolongku?” Tentu, akan kutolong, Bung”, aku tersenyum. “Kecuali kalau perlu uang jangan tanya padaku, karena kami sendiripun butuh uang.” Dengarlah,” ia menerangkan, “Aku pulang dalam libur ini dan kembali kesini dua hari lebih cepat daripada dugaan semula. Rupanya nyonya tempatku bayar rnakanpun pergi berpakansi dan dia belun pulang. Aku tidak bisa masuk ke rumah.” Ke hotel saja,” saranku. “Tidak bisa. Aku tidak sanggup membayarnya. Isi kantongku cuma dua rupiah. Itulah seluruh milikku. Aku sesungguhnya tidak mau mengganggu Bung, akan tetapi hanya Bung satu‐satunya yang kukenal baik di Bandung ini. Apa bisa aku bermalam disini?” Boleh saja, cuma rumah kami yang kecil ini sudah penuh. Kalau tidak keberatan sekamar dengan kami laki‐isteri dan kalau mau tidur di tikar, ya, dengan senang hati kami terima Bung menginap disini.” Bukan main! Dia berterima‐kasih. Selama tiga malam ia tinggal dengan kami. Kami saling bantu‐membantu di hari‐hari ini. Seringkali kami mendapat tamu. Para simpatisan yang berada dalam pengawasan polisi ketika masih belajar di Negeri Belanda, dengan diam‐diam diselundupkan ketanah air dan dibawa ke rumahku untuk minta pertimbangan. Kadang‐kadang bermalam di tempat kami orang yang membawa “Indonesia Merdeka” yang terlarang, yaitu berkala yang dicetak oleh kawan‐kawan di Negeri Belanda, dan tidak boleh beredar di tanah air. Karena itu kawan‐kawan di Amsterdam menggunting artikel‐artikel yang penting dan menyisipkannya ke dalam majalah yang tidak terlarang. Dengan jalan demikian banyak bahan keterangan yang dapat dikirimkan pulang‐pergi melalui samudra luas. Pada tanggal 28 Oktober tahun ’28 Sukarno dengan resmi mengikrarkan sumpah khidmat: “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Di tahun 1928 untuk pertama kali kami menyanyikan lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”. Dan di tahun 1928 itu pulalah aku didakwa di depan Dewan Rakyat. Gubernur Djendral yang menyatakan kegiatanku sebagai persoalan yang serius memperingatkan, bahwa ia sangat menyesalkan sikap non‐kooperasi dari P.N.I.,” yang katanya mengandung unsur‐unsur yang bertentangan dengan kekuasaan Belanda. “Bulan Desember 1928 aku berhasil mengadakan suatu federasi dari partaiku sendiri —Partai Nasional Indonesia— dengan semua partai‐partai utama yang berhaluan kebangsaan. Permufakatan Perhimpunan‐Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia ini, yang disingkat P.P.P. K.I., memungkinkan kami bergerak dengan satuan kekuatan yang lebih besar daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Dan badan inipun memberikan kemungkinan bahaya yang lebih besar pula kepadaku sebagai ketua daripada yang pernah kuhadapi sebelumnya. Maka mulailah Pemerintah Hindia Belanda mengadakan pengawasan yang tak kenal ampun terhadap P.N.I. dan P.P.P.K.I. Pengaruh dari ucapan‐ucapanku yang sanggup menggerakkan rakyat banyak merupakan antjaman jang njata bagi Belanda. Apabila Sukarno berpidato, rakyat tentu berkumpul seperti semut. Dengan tuntutanku kami selegggarakanlah kegiatan bersama di seluruh pulau. Rapat‐rapat yang diadakan pada umumnya dikendalikan oleh pembicara‐pembicara dari P.N.I. dalam mana Sukarno menjadi tokoh penarik yang paling banyak diminta. Pemerintah Hindia Belanda menjamin apa yang dinamakannya kemerdekaan berbicara, asal pertemuan itu diselenggarakan “di dalam ruangan dan tidak dapat didengar dari luar” dan asal rapat diadakan “dibawah satu atap dan dibatasi oleh empat dinding” dan asal jang mendengarkan “di atas umur 18 tahun”. Merekapun menghendaki, supaya setiap pengunjung memperlihatkan surat undangan. Jadi, kami cetaklah sendiri undangan itu dan dengan diam‐diam membagikannya pada waktu orang masuk. Uang untuk biaya diterima dari orang‐orang yang tidak dikenal. Seperti misalnya dari amtenar bangsa Indonesia yang bersimpati dan secara diam‐diam menyerahkan sumbangannya kepada kami. Untuk mengadakan rapat umum di lapangan terbuka kami harus minta izin dari Pemerintah seminggu sebelumnya. Aturan yang menggelikan ini patut dihargai oleh karena kami dapat minta izin untuk mengutuk pemerintah. Aku teringat akan peristiwa di suatu hari Minggu di Madiun. Seperti biasanya kalau Bung Karno berbicara, lapangan rapat begitu sesak sehingga ada diantaranya yang jatuh pingsan. Di bagian depan, diatas kursi yang keras dengan sandarannya yang tegak kaku, duduklah empat orang inspektur polisi. Sudah menjadi kebiasaanku untuk memanaskan hadirin terlebih dulu dengan pidato orang lain sebelum tiba giliranku. Kalau aku akan berbicara selama satu jam, maka pembicara sebelumku hanya berpidato lima menit. Apabila aku berbicara pendek saja, orang yang berpidato sebelumku mengambil waktu 45 menit. Ali juga hadir. Kutanyakan kepadanya, apakah dia akan menyampaikan pidato pokok. “Tidak Bung, tidak!”, jawabnya menolak. “Bung tahu saya baru keluar dari penjara. Saya harus menjaga gerak‐gerik saya. Kalau tidak begitu, polisi akan bertindak lagi. Biarlah saya duduk saja dan mendengarkan Bung Karno. Terlalu berbahaya kalau saya bangkit dan berbicara, sekalipun hanya mengucapkan beberapa perkataan. “Lautan manusia menunggu giliranku. Mereka menunggu dengan hati herdebar‐debar. Aku duduk dengan tenang di atas panggung, mendo’a’ seperti masih kulakukan sekarang sebelum mulai berpidato. Ketua memperkenalkanku, aku meminum air seteguk dan melangkah menuju mimbar. “Saudara‐saudara,” kataku. “Di sebelah saya duduk salah seorang dari saudara kita yang baru saja keluar dari penjara, tidak lain karena ia berjuang untuk cita‐cita. Tadi dia menyampaikan kepada saya keinginannya untuk menyampaikan beberapa pesan kepada saudara‐saudara. “Rakyat gemuruh menyambutnya. Ali sendiri hampir mau mati. Mata hari menyinarkan panas yang menghanguskan akan tetapi Ali berkeringat lebih daripada itu. Aku tidak mau menjerumuskannya ke dalam kesukaran. Akan tetapi secara psychologis hal ini penting buat yang hadir, supaya mereka melihat wajah salah seorang dari pemimpinnya jang telah meringkuk dalam penjara karena memperjuangkan kejakinannya dan masih saja mau mencoba lagi. Dengan hati yang berat Ali bangkit. Ia mengucapkan beberapa patah kata. Lalu duduk kembali dengan segera. Keempat inspektur polisi itu tidak mau melepaskan pandangannya dari wajah Ali. Kemudian aku berdiri dan mengambil alih ketegangan dari Ali dan menggelorakan semangat untuk berontak. “Senjata imperialisme yang paling jahat adalah politik “Divide et Impera”. Belanda telah berusaha memecah‐belah kita menjadi kelompok yang terpisah‐pisah yang masing‐masing membenci satu sama lain. Kita harus mengatasi prasangka kesukuan dan prasangka kedaerahan dengan menempa suatu keyakinan, bahwa suatu bangsa itu tidak ditentukan oleh persamaan warna kulit ataupun agama. Ambillah misalnya Negara Swiss. Rakyat Swiss terdiri dari orang Jerman, orang Perancis dan orang Italia, akan tetapi mereka ini semua bangsa Swis. Lihat bangsa Amerika yang terdiri dari orang‐orang yang berkulit hitam, putih, merah, kuning. Demikian juga Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suku.,”Sejak dunia terkembang, para pesuruh dari Yang Maha Pentjipta telah mengetahui bahwa hanya dalam persatuanlah adanya kekuatan. Mungkin saya ini seorang politikus yang berjiwa romantik, yang terlalu sering memainkan kecapi dari pada idealisme. Ketika orang Israel memberontak terhadap Firaun, siapakah yang menggerakkan kesaktian? Yang menggerakkan kesaktian itu adalah Musa. Nabi Musa ‘alaihissalam. Beliaupun bercita‐cita tinggi. Dan apakah yang dilakukan oleh Nabi Musa? Nabi Musa telah mempersatukan seluruh suku menjadi satu kekuatan yang bulat. “Nabi Besar Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam pun berbuat demikian. Nabi Besar Muhammad adalah seorang organisator yang besar. Beliau mempersatukan orang‐orang yang percaja, menjadikannya satu masyarakat yang kuat dan secara gagah perwira melawan peperangan peperangan, pengejaranpengejaran dan melawan penyakit dari jaman itu. “Saudara‐saudara, apabila kita melihat suatu gerakan di dunia, mula mula kita lihat timbulnya perasaan tidak senang. Kemudian orang bersatu di dalam organisasi. Lalu mengobarkan revolusi! Dan bagaimana pula dengan pergerakan kita? Pergerakan kitapun demikian juga. Maka oleh karena itu, saudara‐saudara, marilah kita ikuti jejak badan kita yang baru, yaitu P.P.P.K.I., yang meliputi seluruh tanah air. Hayolah kita bergabung menjadi keluarga yang besar dengan satu tujuan yang besar: menggulingkan Pemerintah Kolonial. Melawannya bangkit bersama‐sama dan ….. ”Inspektur Polisi yang memakai tongkat memukulkan tongkatnya sambil berteriak, “Stop …. Stop…..” Kemudian keempat‐empatnya melompat dari tempat duduk mereka. Rakyat yang sudah tegang pikirannya berada dalam suasana berbahaya karena polisi mengancamku dan mereka seperti hendak menyerang keempat inspektur itu ketika seorang memanjat ke atas panggung dan berlari ke belakang sambil bersiul minta bantuan. Lima menit kemudian muncullah sebuah bis membawa 40 orang polisi bersenjata lengkap. Aku ditarik ke belakang panggung, turun tangga menuju ke jalanan dan diiringkan ke kantor polisi. Setelah mendapat peringatan yang sungguh‐sungguh aku dibebaskan lagi. “Jangan mencari perkara, tuan Sukarno. Kalau terjadi sekali lagi, kami akan giring tuan ke dalam tahanan. Tuan akan meringkuk di belakang jeruji besar untuk waktu yang lama. Mulai sekarang ini jagalah langkah tuan. Tuan tidak akan begitu bebas lagi lain kali “. Malam itu Inggit mendapat suatu bayangan mimpi. Ia melihat polisi berpakaian seragam menggeledah rumah kami. Penglihatan ini datang lagi kepadanya dengan kekuatan yang sama persis sampai yang sekecil‐kecilnya selama lima malam berturut‐turut Di hari yang kelima aku harus pergi ke Solo untuk menghadiri rapat umum. Dengan sedih ia mengikutiku sampai ke pintu depan. Wajahnya berkerut dan tegang. Sewaktu aku pergi, suatu firasat telah menyekap batinya. Ia memanggil nama kecilku dengan lembut. “Kus,” katanya lunak, “Jangan pergi …… jangan kau pergi.”

MASUK TAHANAN

BAB IX
: Masuk Tahanan
SEPANJANG hari dan malam senantiasa melekat di kepala kami ancaman masuk penjara. Di dalam Kitab
Undang‐Undang Hukum Pidana telah dinyatakan, bahwa: “Seseorang yang kedapatan mengeluarkan
perasaan‐perasaan kebencian atau permusuhan secara tertulis maupun lisan—atau seseorang yang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan‐kegiatan yang menghasut untuk
mengadakan pengacauan atau pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, dapat dikenakan hukuman
setinggi‐tingginya tujuh tahun penjara.” Dengan semakin pesatnya pertumbuhan dari P.P.P.K.I., maka
pengawasan terhadap Sukarno semakin diperkeras pula. Aku sudah mendapat peringatan dan aku
menyadari sungguh‐sungguh akibat dan peringatan ini. Semua orang revolusioner bertindak demikian. Ini
adalah bagian dari peperangan hebat yang kami jalankan. Dalam perjalanan ke Solo dengan salah
seorang wakil dari P.N.I., Gatot Mangkupradja, aku menyinggung soal ini. “Bung, setiap agitator dalam
setiap revolusi tentu mengalami nasib masuk penjara,” aku menegaskan.
“Di suatu tempat, entah dengan cara bagaimana, suatu waktu tangan besi dari hukum tentu akan jatuh
pula diatas pundakku. Aku mempersiapkanmu sebelumnya.”Apakah Bung Karno takut ?” tanya Gatot.
“Tidak, aku tidak takut,” jawabku dengan jujur. “Aku sudah tahu akibatnya pada waktu memulai pekerjaan
ini. Akupun tahu, bahwa pada satu saat aku akan ditangkap. Hanya soal waktu saja lagi. Kita harus siap
secara mental.” “Kalau Bung, sebagai pemimpin kami, sudah siap, kamipun siap.” katanya. “Seseorang
hendaknya jangan melibatkan dirinya ke dalam perjuangan mati‐matian, jika ia sebelumnya tidak insyaf
akan akibatnya. Musuh akan mengerahkan segala alat‐alatnya berulang‐ulang kali supaya dapat terusmenerus
memegang cengkeramannya yang mematikan. Tapi, sekalipun berabad‐abad mereka
menjerumuskan puluhan ribu rakyat masuk bui dan masih saja melemparkan kita ke dalam pembuangan
di tempat‐tempat yang tidak berpenduduk, jauh dari masyarakat manusia, saatnya akan tiba pada waktu
mana mereka akan musnah dan kita memperoleh kemenangan. Kemenangan kita adalah suatu
keharusan sejarah —tidak bisa dielakkan.” ,,Kata‐kata itu memberikan keberanian padaku, Bung Karno.”
kata Gatot. ,,Dalam perjalanan diatas gerobak sampah menudju ke tiang gantungan, Pemimpin Revolusi
Perancis berkata kepada dirinya sendiri: ‘Aurlace, Danton Toujours de l’audace’. Ia terus‐menerus
mengulangi kata‐kata itu: ‘Beranikan dirimu, Danton. Jangan kau takut !’ Karena ia yakin, bahwa
perbuatan‐perbuatannya akan dilukis dalam sejarah dan tantangan terhadapnya pun merupakan saat
yang bersejarah.
Dia tidak pernah meragukan akan datangnya kemenangan yang terakhir dan gilang‐gemilang. Jadi,
akupun begitu.”,,Ada diantara pejuang kita yang selalu keluar masuk bui secara tetap,” kata Gatot
menerangkan. ,,Seorang pemimpin yang di Garut. Dia sudah masuk 14 kali. Pembesar di sana
menamakannya sebagai pengacau. Dalam jangka waktu enam tahun dia meringkuk selama enam bulan di
dalam penjara, setelah itu bebas selama dua bulan, lalu masuk selama enam bulan dan keluar lagi tiga
bulan, kemudian delapan bulan dibelakang jeruji besi. Setelah itu dia bebas lagi selama satu setengah
tahun dan hukumannja yang terakhir adalah dua tahun. “Kami berangkat dengan taksi. Supir kami,
Suhada, tergolong sebagai simpatisan. Dia sudah terlalu tua untuk dapat mengikuti kegiatan kami. Dia
turut dengan kami cuma untuk mendengarkan dan menyaksikan saja. Sejak permulaan perjalanan
Suhada tidak membuka mulutnya, tapi kini dia bertanya dengan ramah, ,,Berapa banyak saudara‐saudara
kita yang meringkuk dalam pembuangan?” Aku tidak perlu berpikir menjawabnya. Aku tahu jumlahnya di
luar kepala. ,,Lebih dari duaribu dibuang di Tanah Merah, di tengah‐tengah hutan Boven Digul di Nieuw
Guinea yang keadaannya masih seperti di Zaman Batu. Dan pada waktu pembawa‐pembawa obor
kemerdekaan ini diusir masuk ke dalam hutan lebat, mereka pergi dengan tersenyum. Ketika mereka
tidak mau mundur setapakpun dari keyakinannya, maka 300 orang diantaranya dibawa ketempat yang
lebih menyedihkan, yaitu kamp konsentrasi di Tanah Tinggi. Di situ bertaburanlah kuburan mereka.
Dari yang 300 orang itu hanya 04 orang yang masih hidup.” ,,Pengorbanan seperti itu telah pula terjadi di
pulau Muting dan pulau Banda,” kataku melanjutkan. ,,Tapi ingatlah, tidak ada pengorbanan yang sia‐sia.
Ingatkah engkau tentang keempat pemimpin yang digantung di Ciamis?” Mereka menganggukkan
kepala. ,,Salah seorang dari mereka berhasil menyusupkan surat kepadaku di malam sebelum menjalani
hukumannya. Surat itu berbunyi: ‘Bung Karno, besok saya akan menjalani hukuman gantung. Saya
meninggalkan dunia yang fana ini dengan hati gembira, menuju tiang gantungan dengan keyakinan dan
kekuatan batin, oleh karena saya tahu bahwa Bung Karno akan melanjutkan peperangan ini yang juga
merupakan peperangan kami. Teruslah berjuang, Bung Karno, putarkan jalannya sejarah untuk semua
kami yang sudah mendahului sebelum perjuangan itu selesai.’ “Keadaan dalam mobil menjadi sunyi. Tak
seorangpun yang hendak mengucapkan sesuatu. Suhada terus mengemudikan kendaraan dengan air
mata berlinang. Satu‐satunya suara ialah denyutan jantung kami yang menderap‐derap serentak dalam
satu pukulan irama. Di Solo dan dekat Jogyakarta kami mengadakan beberapa rapat umum. Malam itu
aku berbicara untuk pertamakali tentang “Perang Pasifik” yang akan berkobar. Tahun ini adalah 1929.
Setiap orang mengira aku ini gila. Dengan darahku yang mengalir cepat karena golakan perasaan yang
gembira dan hampir tak tertahankan, keluarlah dari mulutku ucapan yang sekarang sudah terkenal:
“Imperialis, perhatikanlah!.
Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar‐nyambar
membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudra Pasifik menjadi merah oleh darah
dan bumi di sekelilingnya menggelegar oleh ledakan‐ledakan bom dan dinamit, maka disaat itulah rakyat
Indonesia melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka.” Ucapan ini
bukanlah ramalan tukang tenung, iapun bukan pantulan daripada harapan berdasarkan keinginan belaka.
Aku melihat Jepang terlalu agressif. Bagiku, apa yang dinamakan ramalan ini adalah hasil daripada
perhitungan berdasarkan situasi revolusioner yang akan datang. Rapat ini bubar pada waktu tengah
malam. Kami bermalam di rumah Suyudi, seorang pengacara dan anggota kami di Jogya yang tinggal
pada jarak kurang dari dua kilometer dari situ. Kami memasuki tempat tidur pada jam satu. Jam lima pagi,
ketika dunia masih gelap dan sunyi, kami terbangun oleh suara yang keras. Ada orang menggedor pintu.
Aku terbangun begitu tiba‐tiba, sehingga pada detik itu aku mengira ada tetangga yang berkelahi.
Gedoran itu masih terus terdengar. Ia semakin lama semakin keras, semakin lama semakin mendesak
Gedoran ini diiringi oleh suara yang kasar di sekitar rumah Suyudi. “Inikah rumah tempat pemimpin
revolusioner menginap?” satu suara bertanya. “Yah, inilah tempatnya,” suara garang yang lain menjawab.
Kemudian lebih banyak suara terdengar meneriakkan perintah‐perintah. ,,Kepung rumah ini —halangi
pintu—.” Sementara itu bunyi yang meremukkan dari pukulan gada di pintu …… semakin lama semakin
keras, kian lama kian cepat. Dengan gemetar aku menyadari, bahwa inilah saatnya. Nasibku sudah pasti.
Gatot Mangkupradja yang pertama pergi ke pintu. Ia membukanya dan masuklah seorang inspektur
Belanda dengan setengah lusin polisi bangsa Indonesia. Kami menamakannya “reserse”. Semua
berpakaian seragam. Semua memegang pistol di tangan. Mereka ini adalah pemburu. Kami binatang
buruan. Rentak sepatu yang menunjukkan kekuasaan terdengar menggema ke seluruh daerah sebelahmenyebelah,
rentak sepatu pada waktu mereka menderap sepanjang rumah.
Orang kulit putih yang bertugas itu berteriak, “Dimana kamar tempat Sukarno tidur?” Kamarku sebelah
menyebelah dengan kamar Suyudi. Ketujuh orang itu berbaris melalui kamar Suyudi dan terus ke
kamarku. Aku keluar dari tempat tidur dan berdiri di sana dengan pakaian piyama. Aku tenang. Sangat
tenang. Aku tahu, inilah saatnya. Inspektur itu berhadap‐hadapan denganku dan berkata, “Atas nama Sri
Ratu saya menahan tuan.” Aku telah mempersiapkan diri selalu untuk menghadapi kesulitan. Betapapun,
pada waktu tiba saatnya timbul juga perasaan yang tidak enak. “Kenakan pakaian tuan,” ia
memerintahkan. “Dan ikut dengan saya.” Ia berdiri dalam kamar itu dan menungguku berpakaian. Aku
tidak diizinkan membawa barang‐barangku. Bahkan tas dengan pakaian penggantipun tidak boleh.
Hanya yang lekat dibadanku. Di luar, dengan senapan dalam sikap sedia, berdiri 50 orang polisi
mengepung rumah dengan sekitarnya dan jalan yang menuju kesana. Tiga buah mobil telah siap. Yang
tengah adalah kendaraan khusus dimana kami, penjahat‐penjahat yang berbahaya, dimasukkan dan
diiringkan ke kantor polisi. Ke dalam mobil itu dimasukkan pula Gatot dan supir taksi itu, yang sama sekali
tidak bersalah dalam menghasut rakyat. Kesalahannya hanyalah karena ia terlalu mencintai.
Ia mencintai negerinya, dan ia mencintai pemimpinnya. Suhada dibebaskan segera, akan tetapi
sementara itu mereka mencatat namanya, karena orang inipun kelihatan seperti penjahat besar dimata
mereka. Beberapa tahun kemudian ia meninggal. Permintaannya yang terakhir ialah, “Tolonglah, saya
ingin mempunyai potret Bung Karno di dada saya.” Permintaannya itu dipenuhi. Ia lalu melipatkan
tangannya yang kerisut memeluk potretku dan kemudian berlalu dengan tenang. Dengan penjagaan yang
kuat, diiringkan di kiri‐kanan oleh sepeda motor dan dengan sirene meraung‐raung dan lonceng
berdentang‐dentang, Sukarno, Gatot dan sopir tua itu dibawa ke Margangsan, penjara untuk orang
gila.Kami diperiksa satu demi satu dan dimasukkan ke dalam sel. Ketika pintu besi terkunci rapat di muka
kami, seluruh dunia kami tertutup. Kami berada dalam kesunyian. Segala sesuatu terjadi begitu cepat,
sehingga kami tidak punya kesempatan untuk menyelundupkan sepatah kata kepada pengikut kami.
Tidak seorangpun yang mengetahui dimana kami berada. Mereka bahkan tidak memberi kesempatan
kepadaku untuk mengadakan kontak dengan Inggit. Tidak ada percakapan. Kami tidak diperbolehkan
apa‐apa. Sekalipun demikian, apa hendak dikata. Kami tahu apa artinya ini dan masing‐masing
tenggelam dengan pikirannya sendiri. Apa yang terlintas dalam pikiranku ialah, bahwa aku tidak
memperoleh firasat. Tidak ada tanda‐tanda bahaya.
Aku dengan mudah tertidur malam itu tanpa mengalami sesuatu sensasi, bahwa pada tanggal 9
Desember 1929 bagi kami akan menjadi hari nahas. Semua ini mengejutkanku. Seluruh gerakan telah
mereka rencanakan dengan baik. Jam dua siang kami diberi nasi. Sebelum dan sesudah itu tidak ada
hubungan dengan seorangpun. Setelah satu hari satu malam penuh esok paginya seperti di pagi
sebelumnya tepat jam lima polisi datang. Mereka tidak berkata apa‐apa. Pun tidak menyampaikan
kemana kami akan dibawa. Begitupun tentang apa yang akan diperbuat terhadap kami. Dua buah
kendaraan membawa kami ke stasiun. Empat orang polisi dengan uniform dan pistol duduk di tiap
kendaraan itu. Pengangkutan ini direncanakan sampai kepada menit dan detiknya. Begitu kami sampai,
sebuah kereta api hendak berangkat. Kami diperintahkan naik. Sebuah gerbong istimewa telah tersedia
buat kami. Pintu‐pintu pada kedua ujungnya dikunci, setiap jendela ditutup rapat. Kami dilarang berjalanjalan
atau berdiri untuk maksud apapun juga. Kalau kami akan pergi ke belakang seorang sersan
mengiringkan kami.
Dengan diapit oleh polisi duduklah kami di tempat yang berhadap‐hadapan. Selama 12 jam tidak boleh
buka mulut. Satu‐satunya yang dapat kukerjakan sehari penah ialah memandangi Belanda yang pandir
itu. Jam tujuh malam kami diperintahkan turun di Cicalengka yang letaknya 30 kilometer dari Bandung.
Mereka dengan sengaja menurunkan kami di situ untuk menghindarkan ketegangan yang mungkin
timbul. Disana satu pasukan barisan pengawal telah menantikan kami. Lima Komisaris, dua pengendara
sepeda motor, setengah lusin inspektur beserta arak‐arakan kami yang terdiri dari sedan‐sedan hitam
meluncur ke Bandung. Perjalanan itu tidak lama. Kami hanya sempat menggetar gugup sesaat ketika
sampai di rumah kami yang baru. Di depannya tertulis: Rumah Penjara Banceuy

PENJARA BANCEUY

BAB X:
Penjara Banceuy
BANCEUY adalah penjara tingkat rendah. Didirikan di abad kesembilanbelas, keadaannya kotor, bobrok
dan tua. Disana ada dua macam sel. Yang satu untuk tahanan politik, satu lagi untuk tahanan pepetek.
Pepetek —sebangsa ikan yang murah dan menjadi makanan orang yang paling miskin— adalah nama
julukan untuk rakyat jelata. Pepetek tidur diatas lantai. Kami tahanan tingkat atas tidur di atas pelbed besi
yang dialas dengan tikar rumput setebal karton. Makanannya makanan pepetek nasi merah dengan
sambal. Segera setelah aku masuk, rambutku dipotong pendek sampai hampir botak dan aku disuruh
memakai pakaian tahanan berwarna biru pakai nomor dibelakangnya.
Rumahku adalah Blok F. Suatu petak yang terdiri dari 36 sel menghadap ke pekarangan yang kotor. 32
buah masih tetap kosong. Mulai cari ujung maka empat buah nomor yang berturut‐turut telah terisi. Aku
tinggal di nomor lima. Gatot tujuh. Esok paginya Maksum dan Supriadinata, dua orang wakil P.N.I.
lainnya, dimasukkan berturut‐turut ke nomor sembilan dan sebelas. Penahanan kami bukanlah keputusan
yang mendadak. Ia telah dipersiapkan dengan baik—sampai kepada sel‐selnya. Berbulan‐bulan sebelum
kami ditangkap, kawan‐kawan di Negeri Belanda telah menulis, “Hati‐hatilah. Pemerintah Belanda lebih
mengetahui tentang kegiatanmu daripada yang kau ketahui sendiri. Tidak lama lagi engkau akan
ditangkap.”
Sebagaimana kuketahui dari Maskun dan Supriadinata, yang ditangkap di Bandung pada saat yang
bersamaan denganku, di minggu pagi itu telah diadakan penggeledahan di seluruh Jawa. Ribuan orang
telah ditahan, termasuk 40 orang tokoh P.N.I., dengan dalih bahwa Pemerintah telah mengetahui tentang
rencana pemberontakan bersenjata yang katanya akan diadakan pada permulaan tabun 1930. Ini bohong.
Ini adalah tipu‐muslihat, agar dapat mengeluarkan perintah segera untuk menangkap Sukarno. Malam itu
kereta api dijaga, stasiun‐stasiun bis dikepung, milik perseorangan disita dan diadakan penyergapan
secara menyeluruh dan serentak di rumah‐rumah dan kantor‐kantor kami di seluruh Jawa dan Sumatra.
Usaha untuk memperingatkanku gagal. Polisi menyelidiki dimana aku berada. “Dimana Sukarno?” tanya
mereka ketika datang memeriksa rumah Ali Sastroamidjoo di Solo dimana aku bermalam dihari
sebelumna. Ali meneruskan berita ini, akan tetapi pada waktu ia mengadakan hubungan dengan Jogya,
kepadanya telah disampaikan, “Terimakasih atas peringatan itu. Mereka telah membawa Bung Karno
sepuluh menit yang lalu.”
Gatot, Maskun, Supriadinata dan aku dipisahkan sama sekali dari masyarakat luar. Tidak boleh menerima
tamu. Tidak ada hubungan. Tak seorangpun yang dapat kami lihat, termasuk tahanan yang lain. Tak
seorangpun yang dapat mendekati kami. Setelah beberapa hari datang seorang penyelidik khusus dan
berlangsunglah pemeriksaan. Ia menanyaku minggu demi minggu selama tiga bulan. Aku tidak mengerti,
mengapa dia begitu susah‐susah. Persoalannya sudah cukup jelas. Ini bukan perkara perampokan, dalam
hal mana mereka harus menyiasati dimana barang‐barang rampokan itu disembunyikan. Ini bukan
perkara kejahatan, dimana mereka harus mengetahui sebab‐sebabnya. Mereka tahu apa yang kami
lakukan dan mengapa kami melakukannya.
Selku lebarnya satu setengah meter —separuhnya sudah terpakai untuk tidur— dan panjangnya betulbetul
sepanjang peti mayat. Ia tidak berjendela tempat menjenguk dan tidak berjeruji supaya bisa
mengintip keluar. Tiga buah dinding dari kuburanku adalah semen mulai dari lantai sampai ke loteng.
Penjara Belanda di jaman kami tidak dapat disamakan dengan penjara yang bisa disaksikan di layar putih
dimana penjahat dijebloskan ke dalam sel yang luas berjeruji besi, pakai lampu dan masuk udara dari
segala penjuru. Pintu kami terbuat dari besi hitam padat dengan sebuah lobang kecil. Lobang ini ditutup
dari luar. Penjaga dapat melihat ke dalam, akan tetapi ia tertutup buat kami. Tepat setinggi mata ada
sebuah celah tempat mengintip lurus keluar. Dari celah itu aku tidak mungkin melihat arah kebawah, ke
atas ataupun ke samping. Pun tidak mungkin melihat daerah sekitar itu seluruhnya ataupun melihat mata
lain yang mengerdip kepadamu dari balik pintu besi di seberangnya. Sesungguhnya tiada yang terlihat
selain tembok dan kotoran.
Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan. Memang, aku telah lebih seribu kali menghadapi hal ini
semua dengan diam‐diam jauh dalam kalbuku sebelum ini akan tetapi ketika pintu yang berat itu tertutup
rapat di hadapanku untuk pertama kali, aku rasanya hendak mati. Pengalaman yang meremukkan. Aku
adalah seorang yang biasa rapi dan pemilih. Aku adalah seorang yang suka memuaskan perasaan. Aku
menyukai pakaian bagus, makanan enak, mencintai sesuatu dan tak dapat menahankan pengasingan,
kekotoran, kekakuan, penghinaan‐penghinaan keji yang tak terhitung banyaknya dari kehidupan
tawanan. Aku berjingkat di udung jari kaki mengintip melalui celah itu dan berbisik, “Engkau terkurung,
Sukarno. Engkau terkurung.”
Hanya cicaklah yang menjadi kawanku selama berada di Banceuy. Binatang kecil yang abu‐abu
kehidjauan itu dapat berubah warna menurut keadaan sekitarnya. Ia sering terlihat merangkak di
sepanjang loteng dan dinding kalau hari sudah mulai gelap. Di daerah beriklim panas binatang‐binatang
ini merupakan penangkis nyamuk ciptaan alam. Mungkin orang lain tidak menyukai binatang ini dan tidak
menganggapnya lucu, tapi bagiku ia adalah ciptaan Tuhan yang paling mengagumkan selama aku berada
dalam tahanan.
Makanan kami diantarkan ke sel. Jadi apabila cicak‐cicakku berkumpul, akupun memberinya makan.
Kuulurkan sebutir nasi dan menantikan seekor cicak kecil merangkak dari atas loteng. Tentu ia akan
merangkak turun di dinding, mengintip kepadaku dengan mata seperti butiran mutiara, kemudian
melompat dan memungut nasi itu, lalu lari lagi. Aku tetap duduk disana menantikannya dengan tenang
tanpa bergerak dan, lima menit kemudian ia datang lagi dan aku memberikan butiran nasi yang lain. Ya,
aku menyambutnya dengan senang hati dan menjadi sangat terpikat kepada binatang ini. Dan aku sangat
bersukur, karena masih ada makhluk hidup yang turut merasakan pengasinganku ini bersama‐sama. Yang
paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah
malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga
kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Dan aku tidak dapat
menahankannya. Rasanya aku tidak dapat bernapas. Kupikir lebih baik aku mati.
Ketika keadaan ini semakin terasa menekan, suatu perasaan ganjil menyusupi diriku. Ada saat‐saat
dimana badanku terasa membesar melebihi daripada biasa. Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama
sekali daripada keadaan normal. Aku berbaring diatas tempat tidurku yang keras dan memejamkan mata.
Tapi keras, tertutup keras. Dengan pelahan, karena bayangan pikiran yang kuat, aku merasa tangan
kananku membesar. Ia semakin besar …. besar ….. besar …. besar …… besar ….. lebih besar dari pada
selku sendiri. Ia mengembang dan mengembang, dan membinasakan dinding sel. Tangan kanan adalah
lambang kekuatan, namun apakah ini sebagai pertanda daripada hari depanku atau tidak, aku tidak
mengerti. Aku hanya tahu, bahwa hal ini datang menguasai diriku disaat aku berada dalam keadaan
sangat tertekan. Dan kemudian ia menyusut lagi secara pelahan ….. pelahan ….. pelahan sekali sampai ia
mencapai ukuran yang biasa lagi. Kadang‐kadang di malam itu juga ia muncul kembali. Aku tak pernah
melihat, akan tetapi aku merasakannya.
Aku mengalami suatu bayangan yang lain. Penjara Banceuy terletak di pusat kota, tidak di luar di tengahtengah
tempat yang lapang. Di sana tidak ada burung. Sekalipun demikian, jauh di tengah malam, bila
semua sudah senyap kecuali pikiranku, dan di saat Gatot, Maskun dan Supriadinata sudah tidur nyenjak
semua, aku mendengar burung perkutut diatas atap kamarku. Kudengar burung‐burung itu bersiul dan
rnenyanyi, begitu jelas seakan ia hinggap di pangkuanku. Tak seorangpun pernah mendengarnya, keuali
aku. Dan aku sering mendengarnya.
Setelah empatpuluh hari, aku diizinkan untuk pertama kali bertemu dengan Inggit. Sampai saat itu tiada
hubungan apapun juga. Bahkan suratpun tidak. Kami bertemu di ruang tamu. Jaring kawat memisahkan
kami. Penjaga‐penjaga berdiri di sekeliling menuliskan segala yang kami ucapkan. Kami boleh berbahasa
Indonesia atau Belanda, dan tidak boleh dalam bahasa daerah. Kami tidak boleh saling berpelukan. Itu
terlarang. Dan yang kedua, bukanlah menjadi kebiasaan orang Timur. Isteriku hanya memandang ke
dalam mataku dan dengan seluruh kasih yang dapat dicurahkannya ia berkata, “Apa kabar ?”
Aku tersenyum dan berkata, “Baik, terimakasih.”
Apa lagi yang dapat kuucapkan? Demikian banyak yang harus dicurahkan, sehingga apa lagi yang dapat
kuucapkan? Dalam lima menit yang diberikan kepada kami, kami membicarakan bayangan gaib yang
diperolehnya. lnggit senantiasa menjadi jimat bagiku. Kemana saja aku pergi, dia turut. Akan tetapi kali ini
adalah yang pertama kali ia tidak ikut denganku.
Baru sekarang setelah dalam tawanan ia menerangkan, “Aku tinggal di minggu itu karena aku kuatir,
kalau‐kalau polisi‐polisi yang kulihat dalam bayangan itu betul‐betul datang dan menggerebek rumah.
Memang itulah yang terdjadi. Persis seperti yang kulihat dalam bayanganku itu.”
Penjaga memberi isyarat supaya berbicara lebih keras. “Apakah hidupmu terjamin?” tanyaku.
“P.N.I. memberiku uang dan kawan‐kawanmu juga mengirimi uang dan oleh‐oleh kalau mereka datang
menjengukku. Jangan susahkan tentang diriku.
Bagaimana keadaanmu?” Bagaimana keadaanku? Dari mana aku akan mulai berceritera kepadanya. Kami
terlalu saling menxintai satu sama lain untuk bisa rnemikul bersama‐sama beban yang berat dalam hati
kami. Aku tidak ingin dia turut merasakan detik‐detik yang berat dalam siksaan dan ia pun tidak ingin aku
turut merasakan kesusahannya. Kami berbicara bagai dua orang asing di tengah jalan. Aku ingin
menahannya. Aku ingin meneriakkan bahwa aku mencintainya dan perlakuan terhadap kami tidak adil
sama sekali. Akan tetapi dengan nada yang hambar tiada bergaya hidup aku bersungut, “Semua baik. Aku
tidak mengeluh.”
Pengawas penjara di Banceuy orang Belanda semua. Di tingkat yang lebih rendah, yaitu mereka yang
sebenarnya memegang kunci, adalah orang‐orang Indonesia. Blok dari sel kami yang terpisah dijaga
khusus oleh seorang sipir yang tugasnya semata‐mata mengawasi kami. Bung Sariko baik sekali
terhadapku. Ia mengakui tawanan yang istimewa ini sebagai pemimpin politiknya. Ia adalah penjagaku,
akan tetapi dalam hatinya ia mengakui bahwa aku pelindungnya.
Secara diam‐diam semua petugas penjara berpihak kepadaku. Selalu mereka berbuat sesuatu untukku.
Sarikolah yang pertama‐tama membuka jalan dengan memberiku rokok, buku‐buku dan membawa
berita bahwa Iskaq, bendahara kami, telah ditahan. Setelah memperlihatkan kesungguhannya, di suatu
pagi ia berbisik, “Bung, kalau hendak menyampaikan pesan ke dalam atau keluar, katakanlah. Saya akan
bertindak sebagai perantara. Inilah cara saya untuk menyumbangkan tenaga.”
Surat kabar tidak dibolehkan sama sekali. Di saat itu keinginanku untuk memperolehnya melebihi
daripada segala sesuatu di dunia ini, “Surat kabar, Bung,” aku berbisik kembali. “Carikanlah saya surat
kabar.”
Di hari berikutnya aku berada di kamar‐mandi mencuci di bak. Pada waktu mengambil handuk aku dapat
merasakan ada surat kabar dilipatkan kedalamnya. Di hari selanjutnya ketika makananku diantarkan ke
dalam, sebuah surat kabar diselipkan di bawah piring.
Aku memikirkan suatu akal, sehingga kami semua dapat membacanya. Aku berhasil memperoleh benang
jahit dan pada jam enam, sebelum dikurung untuk malam hari, aku merentangkan benang halus itu di
tanah sepanjang empat sel, sehingga ia merentang dari pintuku ke pintu Supriadinata. Kalau aku sudah
selesai membaca surat kabar itu, kuikatkan ia ke ujung benang, mengintai keluar, ragu‐ragu sebentar
untuk melihat apakah ada orang yang datang, kemudian berteriak, “Vrij.” Ini sebagai tanda bahwa blok
kami tertutup dan tidak ada penjaga berdiri di posnya saat itu. Kemudian aku memanggil “Gatot !”
sebagai tanda untuk Gatot supaya menarik benangnya. Dengan menariknya secara hati‐hati surat kabar
itu sampai ke pintunya dan kemudian menariknya melalui bawah pintu. Begitupun caranya untuk Maskun
dan Supriadinata. Kalau sekiranya penjaga kami melihat benang itu di cahaya senja, ia melengah.
Sariko pun memberitahu kepadaku kapan akan diadakan pemeriksaan. Kalau sel kami kotor pada waktu
pengawas kami lewat untuk memeriksa, kami menjadi sasaran hukuman. Jam lima tigapuluh setiap pagi
tugas kami yang pertama ialah membersihkan sel dan mengosongkan kaleng tempat buang air. Aku
selalu kuatir terhadap Maskun, karena dia yang paling muda dan agak serampangan. Kuperingatkan dia.
“Maskun, kau harus melatih diri untuk kebersihan, karena engkau bisa jadi korban percuma karena ini.”
Ia menyeringai, “Bung terlalu hati‐hati dengan segala sesuatu dan ini disebabkan karena Bung orang tua.
Bung sudah 28 tahun. Alasanku bersifat lebih serampangan karena aku baru 21. Masih muda !”,,Baiklah,
anakmuda pengacau,” jawabku kepadanya. “Baik kita lihat siapa yang dapat hukuman siapa yang tidak.”
Pada pemeriksaan selanjutnya tidak lama setelah itu Maskun dihukum tiga hari di tempat. Ini berarti,
bahwa dia tidak dapat membaca buku dan rekreasi. Ia terpaksa tinggal terasing dalam kamarnya. Untuk
mencegah hal ini jangan terjadi lagi aku memikirkan satu tanda. Perhubungan hanya dapat dilakukan
dengan bunyi, karena kami tidak dapat saling melihat. Kami menggunakan tanda‐tanda ketokan.
Misalkan aku mendapat berita, bahwa esok paginya akan diadakan pemeriksaan mendadak. Aku
mengetok pada daun pintu besi yang menggetar tok …. tok. Dua ketokan berat berarti, “Besok pengawas
datang, jadi bersihkan selmu.”
Ada di antara petugas bangsa Belanda yang merasa, bahwa kami tidak patut dipersalahkan melakukan
kejahatan, karena mencintai kemerdekaan. Merekapun bersikap rarnah kepada kami. Disamping itu, ia
mau melakukan sesuatu asal diberi uang. Apa saja. Bahkan tidak perlu diberi banyak‐banyak. Mula‐mula
aku menyangka, bahwa mereka sangat takut pada jabatannya untuk mau menerima suap, tapi ternyata
mereka ini termasuk dalam jenis yang rendah, yang mau mengkhianati prinsip‐prinsip mereka dengan
sangat murah. Seharga sebotol bir.
Ketika aku berhadapan dengan seorang yang baik hati, aku menerangkan, “Saudara, saya bekerja untuk
rakyatku. Itulah satu‐satunya kejahatanku. Mengapa saudara menjaga saya begitu teliti ? Cobalah
melengah sedikit.” Terkadang ini berhasil, terkadang tidak. Tapi kebanyakan ada hasilnya. Itulah
sebabnya mengapa aku berkawan dengan pengawas bui bernama Bos. Tuan Bos adalah seorang Belanda
yang baik tapi goblok. Aku tak pernah mencoba mempengaruhi pikirannya dalam pandangan politik. Aku
sudah cukup bersyukur dapat mempergunakannya kadang‐kadang untuk suatu kesenangan. Pada suatu
hari Bos datang dengan menyeret‐nyeretkan kakinya ke tempatku yang gelap dan aku dapat melihat
sebelah matanya bengkak seperti balon. “Hee, Bos,” aku berteriak, “Kenapa matamu ? Bengkak dan biru
!”
Ia berdiri di sana terhuyung‐huyung dan memegang mata yang sakit itu. ,,Oooohhh,” ia mengeluh
kesakitan, “Pernah kau lihat yang keterlaluan begini. Oooohhhh, aku sakit sekali. Rasanya sakit sekali.”
Orang yang malang itu betul‐betul sangat menderita. “Katakanlah, Bos.” kataku. “Kenapa kau?” Ia
mengintip kepadaku dengan matanya jang satu lagi dan mengeluh, “Ooohh, ooohh, Sukarno, kenapa aku!
Tiga hari yang lalu aku bercintaan dengan seorang pelacur. Dan pada waktu aku selesai aku menghapus
badanku dengan saputangan.”
“Apa hubungannja dengan matamu ?”
“Ya, tentu saja ada hubungannya, kumasukkan saputanganku kembali ke dalam kantong sewaktu sudah
selesai sewaktu sudah selesai. Beberapa jam kemudian, tanpa berpikir, aku mengeluarkan saputanganku
lagi dan menggosok mataku dengan itu. Nah, inilah hasilnya. Gadis itu tentu tidak bersih dan mataku
infeksi, yang berasal dari gadis itu. Dan sekarang……sekarang……kaulihat aku ini ! !”
“Aah, kasihan. Bos, kasihan, kasihan,” kataku seperti ayam berkotek. “Aku merasa kasihan padamu.” Dan
memang sesungguhnya aku kasihan kepadanya. Aku tawanannya. Dia berkeluyuran di luar, telah
melepaskan hawa nafsunya pada seorang perempuan lacur, sedang aku dikurung dalam sel yang dingin
dan tak pernah diberi kesennpatan sekalipun memegang tangan isteriku …. dan aku…. kasihan
kepadanya.
Ketika Bos menyusup pergi sambil mengeluh dan merintih, aku gembira, karena Bos tidak mengatakan
padaku bahwa gadis itu adalah salah seorang anggota partaiku. Hal yang demikian dapat meruntuhkan
persahabatan kami. Ketika aku tak dapat lebih lama lagi menelan kesepian, kegelapan dan keadaan kotor,
maka aku mulai bermain dengan Gatot. Aku berhasil mendapat buku wayang. Wayang ini adalah bentuk
seni yang paling populer di Indonesia. Dengan menggunakan bentuk‐bentuk dari kulit yang memberikan
bayangan pada layar putih maka dalang menggambarkan kisah‐kisah Mahabharata dan Ramayana, kisahkisah
Hindu klasik dari masa lampau. Ini adalah drama keramat dari Indonesia.
Gatot kusuruh membaca buku ini. Aku sudah hafal semua kisah‐kisah itu. Semenjak kecil aku mengagumi
cerita wayang. Sewaktu masih di Mojokerto aku menggambar‐gambar wayang di batu tulisku. Di
Surabaya aku tidak tidur semalam suntuk sampai jam enam esok paginya mendengarkan dalang
menceritakan kisah‐kisah yang mengandung pelajaran dan sedikit bersamaan dengan dongeng kuno di
Eropa. Setelah Gatot dengan tekun mempelajari buku itu, aku menyuruhnya, “Sekarang letakkan buku itu
dan ceritakan kembali dengan suara keras apa yang sudah kau baca tanpa melihat ke buku.”
“Jadi Bung meminta aku memerankan bagian‐bagiannya ?”
“Ya,” aku berteriak kembali. “Jjadi dalang.” Percakapan kami dilakukan dengan suara keras sekali, karena
sel kami terpisah empat meter jauhnja dan setiap satu meter dibatasi oleh dinding‐batu yang padat.
Gatot mulai. Aku mendengarkan sambil menahan napas, sehingga ia sampai pada bagian yang
mengisahkan pahlawan kegemaranku, Gatotkaca. “Gatotkaca lalu berhadapan dengan Buta,” teriak
Gatot. “Dia kalah dalam pertarungan dan dia jatuh. Gatotkaca dikalahkan sementara.”
“Ya,” aku berteriak yakin. “Tapi itu hanya untuk sekali. Dia akan bangkit lagi. Dia akan menang sekali lagi.
Engkau tidak bisa membiarkan pahlawan jatuh. Tunggulah saatnya.”
Gatot Mangkupraja melanjutkan, menguraikan pertempuran. Akhirnya ia sampai pada: “Gatutkaca sudah
bangkit lagi. Gatutkaca sudah berdiri. Dia membunuh Buta itu.”
Oooo! Aku gembira! Aku berteriak tak terkendalikan. “Haa! Aku tahu itu. Bukankah sudah kukatakan?
Seorang pahlawan yang hanya mau mengerjakan yang baik tidak pernah kalah untuk selama‐lamanya.”
Kelakuan kami dengan melakonkan wayang ini tidak hanya menyenangkan dan menghiburku, akan tetapi
ia juga meringankan perasaan dan memberi kekuatan pada diriku. Bayangan‐bayangan hitam di kepalaku
melebur bagai kabut dan aku bisa tidur pulas dengan rasa puas akan keyakinanku, bahwa yang baik akan
mengungguli yang jahat.

PENGADILAN

BAB XI: Pengadilan
16 JUNI 1930, berita sura tkabar tentang pidato Gubernur Jendral pada pembukaan sidang Dewan Rakyat
memuat pengurnuman bahwa “Sukarno akan dihadapkan di muka pengadilan dengan segera.
“Tanggalnya sudah ditetapkan untuk pengadilan ini. Hanya tiga minggu sebelum aku bertemu dengan
pembela‐pembelaku yang kupilih sendiri: Suyudi S.H., ketua P.N.I. cabang Jawa Tengah, yaitu tuan rumah
dimana aku ditangkap; Sartono S.H., seorang rekan dari Algemeene Studieclub yang lama dan tinggal di
Jakarta dan menjadi Wakil Ketua yang mengurus soal keuangan partai; Sastromuljono S.H., seorang
kawan dan patriot yang tinggal di Bandung. Tidak dengan bayaran. Dan memang tidak ada uang untuk
membayar. Para pembelaku bahkan menanggung pengeluaran mereka masing‐masing.
Dalam pertemuanku yang pertama dengan Sartono aku mengatakan, “Terlintas dalam pikiran saya
bahwa menjadi kewajibankulah untuk mempersiapkan pembelaanku sendiri.”
“Bung maksud dari segi politik?”
“Ya, sedang tanggung jawab Bung mempersiapkan segi juridisnya.”
Ia kelihatan memikirkan soal itu. “Saya tahu,” ia mengerutkan dahi, “bahwa dalam kedudukan Bung
sebagai Ketua Partai, bagian Propaganda Politik, tak seorangpun yang sanggup mempersiapkan pokokpokok
persoalan seperti Bung. Akan tetapi menurut pendapat Bung, apakah prosedur ini lazim dalam
pengadilan?”
Aku memandang dalam kemata kawanku yang kelihatan suram memikirkan soal ini. Ia kelihatan seperti
memerlukan lebih banyak bantuan daripada yang kuperlukan. Aku menempatkan sebelah tanganku ke
atas bahunya untuk menyenangkan hatinya. “Sartono,” kataku, “bukan maksud saya untuk
membanggakan diri saya. Akan tetapi ketika saya masuk bui, begitulah yang kuputuskan. Kalau sudah
nasib saya untuk menahankan siksaan, biarkanlah saya. Bukankah lebih baik Sukarno menderita untuk
sementara daripada Indonesia menderita untuk selama‐lamanya?”
“Saya masih berpikir apakah ini jalan yang paling baik agar Bung bebas dari tuntutan hukum,” katanya
dengan sedih.
Ia tahu dan aku tahu, bahwa aku takkan bisa bebas. Kami diizinkan untuk bertemu antara empat mata di
suatu ruangan tersendiri selama satu jam dalam seminggu. Tiada seorangpun yang mendengarkan kami,
jadi akulah yang pertama harus mengajak untuk membicarakan apa yang terselip dalam pikiran kami
berdua. “Bung tahu betul,” aku mulai dengan lunak, “bahwa semuanya hanya akan berpura‐pura saja.
Berita bahwa kepada saya sudah dijatuhkan hukuman, telah menetes dari kawan‐kawan kita di Negeri
Belanda. Sekalipun informasi yang demikian tidak dikirimkan kepada saya, tapi saya tahu bahwa
pengaduan ke depan pengadilan ini hanya sandiwara saja. Bung pun tahu. Mereka harus menghukum
kita. Terutama saya. Saya adalah biang keladinya.”
“Ya,” keluhnya, “Saya sudah membaca berita pers di surat kabar.”,,Seperti misalnya kepala berita harian
“Sukarno PASTI dihukum’ dan ‘Tidak mungkin membebaskan Sukarno dari tuntutan kata para pembesar.’
Saya tahu. Sayapun membacanya.” Sartono membuka kaca matanya, membersihkannya lalu
memakainya kembali.
“Semenjak tanggal 29 Desember suasana hangat dari masyarakat di sini dan di Negeri Belanda tidak
henti‐hentinya menghasut,” aku menyatakan, “Kedua negeri ini menoleh padaku untuk buka suara. Aku
tidak dapat menyerahkan hal ini kepada orang lain. Ya, memang ada Bung dan pehasehat‐penasehat
lainnya, akan tetapi saudara‐saudara mempunyai segi‐segi hukumnya sendiri untuk diajukan. Tinggal dua
minggu lagi ke depan pengadilan.”
“Saja cepat‐cepat datang kemari, segera setelah mendengar kabar,” ia minta maaf, “Akan tetapi polisi
mempersulit persoalannya. Nampaknya untuk beberapa waktu seakan‐akan saya sendiri berada dalam
bahaya penahanan.”
Aku melihat kepadanya dengan mata berlinang karena terimakasih. “Sartono, saya menghargai segala
usahamu. Namun, cara ahli hukum bekerja tidak menyimpang dari ketentuan hukum. Dia sangat terikat
untuk menjalankan hukum. Suatu revolusi melemparkan hukum yang ada dan maju terus tanpa
menghiraukan hukum itu. Jadi sukar untuk merencanakan suatu revolusi dengan ahli hukum. Kita
memerlukan getaran perasaan kemanusiaan. Inilah yang akan saya kemukakan.”
Aku menyediakan kertas dari rumah. Tinta dari rumah. Sebuah kamus dari perpustakaan penjara.
Pekerjaan ini sungguh meremukkan tulang‐punggung. Aku tidak punya meja untuk dapat bekerja dengan
enak. Selain daripada tempat tidur, satu‐satunya perabot yang ada dalam selku adalah sebuah kaleng
tempat buang air. Kaleng yang menguapkan bau tidak enak itu adalah perpaduan dari tempat buang air
kecil dan tempat melepaskan hajat besar. Ia terbagi dua untuk masing‐masing keperluan itu. Perkakas
yang buruk ini tingginya sekira dua kaki dan lebar dua kaki. Setiap pagi aku harus menyeretnya dari bawah
tempat tidur, kemudian menjinjingnya ke kakus dan membersihkan kaleng itu.
Malam demi malam dan tak henti hentinya selama sebulan setengah aku mengangkat kaleng itu ke atas
tempat tidur. Aku duduk bersila dan rnenempatkannya dihadapanku.
Ia kualas dengan beberapa lapis kertas sehingga tebal dan aku mulai menulis. Dengan cara begini aku
bertekun menyusun pembelaanku yang kemudian menjadi sejarah politik Indonesia dengan nama
“lndonesia Menggugat”. Dalam buku ini aku mengungkapkan secara terperinci penderitaan yang
menyedihkan dari rakyatku sebagai akibat penghisapan selama tiga setengah abad di bawah penjajahan
Belanda. Thesis tentang kolonialisme ini, yang kemudian diterbitkan dalam selusin bahasa di beberapa
negara dan yang diguratkan dengan kata yang bernyala‐nyala, adalah hasil penulisan di atas kaleng
tempat buang air yang bertugas ganda itu.
18 Agustus 1930, setelah delapan bulan meringkuk dalam tahanan. perkara ini dihadapkan di muka
pengadilan. Secara formil aku dituduh melanggar Pasal 169 dari Kitab Undang‐undang Hukum Pidana dan
menyalahi pasal 161, 171 dan 153. Ini adalah ‘de Haatzaai Artikelen’ yaitu pasal‐pasal pencegah
penyebaran rasa benci. Secara formil aku dituduh “mengambil bagian dalam suatu organisasi yang
mempunyai tujuan menjalankan kejahatan di samping … usaha menggulingkan kekuasaan Hindia
Belanda …..”
Gedung pengadilan yang terletak di Jalan Landraad penuh sesak oleh manusia. Udara di dalam terasa
menyesakkan. Langit‐langit papan yang berwarna suram bahkan menambah pekatnya kesuraman dari
udara yang melemaskan dalam ruang pengadilan itu. Ketika aku memulai pidatoku tiada satupun
terdengar suara. Tiada satupun yang bergerak. Tiada gemerisik. Hanya putaran lembut dari kipas angin di
atas kepala terdengar merintih. Sambil berdiri di atas bangku pesakitan yang ditinggikan aku menghadap
ke meja hijau hakim dan aku mulai berbicara. Aku berbicara berjam‐jam. Pokok‐pokok dakwaan terhadap
Belanda kukemukakan menurut yang sesungguhnya. Setelah hampir mendekati akhir, ketenanganku
yang biasa melebur menjadi pernyataan kekecewaan. Aku teringat kembali ketika terpaksa berhenti
sebentar dan berusaha menguasai pikiranku. Kemudian aku mempersihkan kerongkonganku lalu
mencetuskan perasaan.
“Pengadilan menuduh kami telah menjalankan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami menjalankan
kejahatan, tuan‐tuan Hakim yang terhormat? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom? Senjata kami
adalah rencana, rencana untuk mempersamakan pemungutan pajak, sehingga rakyat Marhaen yang
mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang
kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 setahun.
“Tujuan kami adalah exorbitante rechten, hak‐hak luar biasa dari Gubernur Jendral, yang singkatnya
secara perikemanusian tidak lain daripada pengacauan yang dihalalkan. Satu‐satunya dinamit yang
pernah kami tanamkan adalah suara jeritan penderitaan kami. Medan perjuangan kami tak lain daripada
gedung‐gedung pertemuan dan surat‐surat kabar umum.
“Tidak pernah kami melanggar batas‐batas yang ditentukan oleh undang‐undang. Tidak pernah kami
mencoba membentuk pasukan serdadu‐serdadu rahasia, yang berusaha atas dasar nihilisme. Kami punya
modus operandi ialah untuk menyusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam cara‐cara yang legal.
“Ya, kami memang kaum revolusioner. Kata ‘revolusioner’ dalam pengertian kami berarti ‘radikal’, mau
mengadakan perubahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan sebagai kebalikan kata ‘sabar’, kebalikan
kata ‘sedang’. Tuan‐tuan Hakim yang terhormat, sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan
menggeliat dan berbalik‐balik. Begitupun kami. Tidak berbeda daripada itu, Kami mengetahui, bahwa
kemerdekaan memerlukan waktu untuk mencapainya.
Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu helaan nafas saja. Akan tetapi
kami masih saja dituduh, dikatakan ‘menyusun suatu komplotan untuk mengadakan revolusi berdarah
dan terluka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh ditahun 30′. Jikalau ini memang benar,
penggeledahan massal yang tuan‐tuan lakukan terhadap rumah‐rumah kami akan membuktikan satu
tempat persembunyian senjata‐senjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisaupun yang dapat diketemukan.
“Golok. Bom. Dinamit. Keterlaluan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom
dan dinamit itu. Semangat perjuangan rakyat yang berkobar‐kobar akan dapat menghancurkan manusia
lebih cepat daripada ribuan armada perang yang dipersenjatai lengkap. Suatu negara dapat berdiri tanpa
tank dan meriam. Akan tetapi suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan. Ya, kepercayaan,
dan itulah yang kami punyai. Itulah senjata rahasia kami.
“Baiklah, tentu orang akan bertanya, ‘Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan yang
engkau perjuangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan bersenjata?’ “Saya akan
mendjawab: “Tuan‐tuan Hakim yjang terhormat, dengan segala kejujuran hati kami tidak tahu bagaimana
atau dengan apakah langkah terachir itu akan dilakukan. Mungkin juga Negeri Belanda akhirnya
mengerti, bahwa lebih baik mengakhiri kolonialisme secara damai. Mungkin juga kapitalisme Barat akan
runtuh.
“Mungkin juga, seperti sudah sering saya ucapkan, Jepang akan membantu kami. Imperialisme bercokol
di tangan bangsa kulit kuning maupun di tangan bangsa kulit putih. Sudah jelas bagi kita akan kerakusan
kerajaan Jepang dengan menaklukkan semenanjung Korea dan menjalankan pengawasan atas Manchuria
dan pulau‐pulau di Lautan Pasifik. Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya
penyembelihan besar‐besaran dari Jepang. Saya hanya mengatakan, bahwa ini adalah keyakinan saya
jikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul‐mukul ke kiri dan ke kanan, maka Pemerintah
Kolonial tidak akan sanggup menahannya.
“Oleh karena itu, siapakah yang dapat menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami,
jikalau kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang. Yang saya ketahui, bahwa
pemimpin‐pemimpin P.N.I. adalah pencinta perdamaian dan ketertiban. Kami berjuang dengan kejujuran
seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki kesempatan
untuk membangun harga diri daripada rakyat kami.
“Saya menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan
bersenjata. Sungguhpun begitu, jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha Kuasa bahwa gerakan yang
saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya daripada dengan
kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggi‐tingginya ke hadapan
Ibu lndonesia dan mudah‐mudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum semerbak
di atas pangkuan persadanya. Tuan‐tuan Hakim yang terhormat, dengan hati yang berdebar‐debar saya,
bersama‐sama dengan rakyat dari bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan‐tuan Hakim!”
Ketika aku dibawa kembali ke rumah penjara, wakil penuh dari Pemerintah menunjukkan keramahannya
dengan mengulurkan tangan kepadaku. Esok paginya sebuah surat kabar menulis tentang kejadian ini
dengan judul “Meester ir. Kievet de Jonge kelihatan berjabatan tangan dengan pengacau kotor”. Sesudah
tiap sidang yang banjaknya 19 kali itu, maka ada seorang Belanda yang berani memuat tulisan‐tulisan di
surat kabarnya Het Indische Volk mengenai perlakuan yang sungguh‐sungguh tidak adil terhadapku.
Dengan semakin hangatnya tajuk rencana yang dibuatnya, maka kerut dahi rekan‐rekannya semakin
dalam. Mr. J.E. Stokvis banyak kehilangan kawan karena persoalanku.
Di malam akan dijatuhkan putusan pengadilan, enam orang kawan tanpa pemberitahuan terlebih dulu
pergi ke rumah Dr. Sosrokartono, seorang ahli kebatinan yang sangat dihormati di Bandung. Kemudian
diceritakan kepadaku, bahwa keenam orang itu ingin menenangkan pikirannya dan sungguhpun hari
sudah lewat malam, mereka datang juga ke rumah ahli kebatinan itu, tanpa ada perjanjian terlebih dulu.
Sesampai di sana seorang pembantu membukakan pintu dan menyampaikan, “Pak Sosro sudah
menunggu‐nunggu” dan mengiringkan mereka masuk, dimana telah tersedia dengan rapi enam buah
korsi dalam setengah lingkaran. Kawan‐kawanku itu tentu heran. Dengan tidak bertanya terlebih dulu
akan maksud kedatangan mereka, ahli kebatinan itu hanya mengucapkan tiga buah kalimat: “Sukarno
adalah seorang Satria. Pejuang seperti Satria boleh saja jatuh, akan tetapi ia akan bangkit kembali.
Waktunya tidak lama lagi.”
Di hari berikutnya Gatot Mangkupraja, Maskun, Supriadinata dan Sukarno dijatuhi hukuman. Hukuman
Sukarno yang paling berat. Aku dikenakan empat tahun kurungan dalam sel dengan ukuran satu setengah
kali dua seperempat meter. Empat tahun lamanya aku tidak melihat matahari.
Pembela‐pembelaku naik banding ke Rand van Justitie, akan tetapi pengadilan tinggi ini tetap berpegang
kepada keputusan hukuman. Tidak lama setelah itu kami dipindahkan ke dalam lingkungan dinding
tembok yang tinggi dari penjara Sukamiskin.

PELARIAN

BAB XVII: Pelarian
YANG menjadi sasaran pertama dari pendaratan, tentara Jepang adalah kota Palembang, Sumatera
Selatan. Tentara Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tunggang‐langgang, Hanya
untuk satu hal Belanda tidak lari, yaitu untuk mengawasi Sukarno.
Belanda kuatir meninggalkanku, oleh karena Jepang sudah pasti akan menggunakan bakatku untuk
melontarkan kembali segala dendam kesumat terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian juga
terhadap Pasukan Sekutu. Merekapun kuatir terhadap masa datang, kalau perang sudah selesai.
Lepasnya Sukarno ke tali hati rakyat jang sudah sangat bergetar, berarti bukan, mempermudah jalan
untuk menguasai kembali kepulauan Hindia.
Mereka bahkan lebih menyadari daripadaku, bahwa di Jawa dan dimana‐mana rakyat masih belum
melupkan Sukano. Rakyat masih menempatkan Sukano di puncak impian mereka. Boleh jadi ini
disebabkan, karena tidak ada tokoh lain yang dapat menduduki tempat Sukarno di dalam hati rakyat.
Semenjak aku dibuang, maka pergerakan kebangsaan telah bercerai‐berai. Semua pemimpin dimasukkan
ke dalam bui atau diasingkan. Di tahun ’36 sebuah partai yang telah dilemahkan, yaitu Gerindo, bergerak
kembali, akan tetapi tidak mempunyai tokoh yang mudah terbakar. Tidak ada pemberontakan rakyat.
Apa yang dapat dilakukan oleh massa hanyalah mengingat‐ingat kembali waktu yang telah silam. Dan ini
memang mereka lakukan. Selama masa aku dipisahkan dari rakyat, mereka hanya mengenang detikdetik
yang memberi pengharapan dan kemenangan di bawah Singa Podium. Telah ternyata di dalam
sejarah agama dan politik, bahwa jika pihak lawan memerangi usaha seorang pemimpin dengan dalan
pengasingan atau lain‐lain, namanya akan semakin berurat‐berakar dalam hati rakyat. Demikian pula
halnya dengan Sukarno. Kepopuleranku di kalangan rakyat sampai sedemikian, sehingga nampaknya
seolah‐olah aku tidak pernah dipisahkan dari mereka itu.
Tersiarlah berita bahwa Jepang sudah bergerak menuju Bengkulu. Sehari sebelum ia menduduki kota ini
dua orang polisi dengan tergopoh‐gopoh datang ke tempatku. “Kemasi barang‐barang,” perintahnya.
“Tuan akan dibawa keluar.”
“Kapan ?”
“Malam ini juga. Dan jangan banyak tanya. Ikuti saja perintah. Tuan sekeluarga akan diangkut tengah
malam nanti. Secara diam‐diam dan rahasia. Hanya boleh membawa dua kopor kecil berisi pakaian.
Barang lain tinggalkan. Tuan akan dijaga keras mulai dari sekarang, jadi jangan coba‐coba melarikan diri.”
Sukarti yang berumur delapan tahun itu dapat merasakan ketegangan yang timbul. Karena takut dia
bergantung kepadaku dengan kedua belah tangannya. “Pegang saya, Oom,” bisiknya. Oom adalah paman
dalam bahasa Belanda. Ketika polisi itu meneriakkan perintahnya, aku membelai kepala anak itu untuk
menenangkan hatinya. “Boleh saya bertanya kemana kami akan dibawa?” tanyaku.
“Ke Padang. Tuan akan selamat, karena tentara kita dipusatkan di sana untuk membantu pengungsian.
Ribuan pelarian preman dan militer diungsikan dari Padang, yaitu pelabuhan tempat pemberangkatan
menuju Australia. Dan juga telah diatur untuk mengangkut tuan dengan kapal pengungsi yang terakhir.”
“Berapa lama kita di Padang?”
“Hanya satu malam. Iring‐iringan kapal sebanyak tujuh buah sudah siap menanti dan akan berangkat di
hari berikut setelah tuan sampai. Sekarang buru‐buru. Kita berlomba dengan waktu.”
Kami mendapat kesempatan hanya beberapa jam untuk berkemas. Tidak ada waktu untuk takut atau
bingung. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah memang menguntungkan bagiku kalau aku disingkirkan
dari pendudukan tentara Jepang. Ataukah suatu kerugian, jika tetap berada dalam cengkeraman Belanda.
Perasaanku kacau balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti meninggalkan tempat pembuanganku.
Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menuju tempat pembuangan
yang baru. Kalau ini kuingat, hatiku jadi susah. Sekarang ini, melebihi dari waktu‐waktu yang lain, aku
tidak ingin meninggalkan tanah airku yang tercinta. Bagaimana aku bisa membanting tulang demi
kemerdekaan negeriku dari tempat yang ribuan mil jauhnya.
Kejadian‐kejadian susul‐menyusul begitu cepat, sehingga tidak tersisa waktu untuk berpikir. Aku hanya
berhasil mencuri waktu lima menit untuk diriku sendiri. Bengkulu kotanya kecil dan dalam waktu lima
menit aku menyelundup ke rumah paman Fatmawati, dimana seluruh keluarga gadis itu berkumpul
bersama‐sama untuk menguatkan hati mereka dalam menghadapi penyerbuan. Aku mengetuk pintunya
dengan lunak dan berbicara pelahan, “Saya Sukarno. Bukalah pintu. Saya datang untuk mengucapkan
perpisahan.”
Aku memperoleh kesempatan selama satu detik yang singkat berhadapan dengan Fatmawati. Kami
berpegangan tangan dengan erat dan kataku kepadanya, “Hanja Tuhanlah Yang Maha Tahu apa yang
akan terjadi terhadap kita. Mungkin kita tidak akan dapat keluar dari peperangan ini dalam keadaan masih
hidup. Mungkin juga kita terdampar di bagian dunia yang berjauhan. Akan tetapi kemanapun jalan yang
akan kita tempuh, atau apapun yang akan terjadi terhadapmu dan aku, dimanapun kita terkandas, aku
menyadari bahwa Tuhan akan memberkati kita dan memberkati kecintaan kita satu sama lain. Insya
Allah, entah kapan …. entah dimana …. kita akan berjumpa lagi.”
Jam sebelas malam kami mendengar, bahwa musuh sudah berada di Lubuk linggau, kota penghubung
jalan kereta api Palembang — Bengkulu. Di tengah malam itu kepala polisi datang dengan diam‐diam.
Tidak jauh dari rumah kami di belakang semak belukar dia menyembunyikan sebuah mobil pick‐up. Di
dalamnya empat orang polisi. Dalam tempo limabelas menit Inggit, Sukarti, aku sendiri, Riwu —
pembantu kami berumur duapuluh tiga tahun yang dibawa dari Flores dan tidak mau ketinggalan — dan
barang‐barang kami semua dipadatkan dalam kendaraan yang sesak itu.
Dekat rumahku ada dua buah pompa bensin. Yang satu terletak di Fort Marlborough tidak jauh dari situ;
yang satu lagi di pekaranganku sendiri, milik Pemerintah, dibawah serumpun pohon kelapa. Belanda
mulai menjalankan politik bumi hangusnya. Begitu kami meninggalkan pintu depan, maka persediaan
bensin dan minjak pelumas di Fort Marlborough terbang ke udara dengan ledakan yang hebat. Ini sebagai
tanda bagi penjaga kami untuk membakar pula drum‐drum di rumahku. Tindakan ini mempunyai tujuan
berganda. Di samping mencegah, agar ia tidak jatuh ke tangan musuh, iapun memberikan kesenangan.
Ledakannya dapat terdengar ke sekitar sampai bermil‐mil dan sejauh‐jauhnya mata memandang di
seluruh kota hanya kelihatan lautan api. Dalam lindungan keadaan inilah mereka melarikanku keluar kota
Bengkulu.
Untuk menghilangkan jejak, polisi itu mengambil jalan ke arah selatan. Setelah jelas bahwa tidak ada
orang yang mengikuti jejak kami, mereka memutar haluan ke utara menuju Muko‐Muko, sekira 240
kilometer dari Bengkulu di mana kami akan bermalam. Selama dalam perjalanan kami harus mengarungi
tigabelas buah sungai yang lebar berlumpur dan banyak buaya. Tidak ada jembatan sama sekali. Kami
menyeberanginya dengan rakit dan perahu yang dibuat oleh rakyat setempat. Di hari berikutnya jam lima
sore rombongan yang kelelahan ini sampai di Muko‐Muko.
Kami bermalam di sebuah rumah yang dijaga keras oleh polisi. Jam tiga pagi kami dibangunkan lagi. “Mari
kita lanjutkan perjalanan,” gerutu salah seorang yang bertugas. “Sekarang berangkat.”
“Kenapa begini pagi ?” tanyaku.
“Rantau kita masih jauh dan hari ini harus sampai sejauh mungkin sebelum matahari membakar kepala.
Kalau siang sedikit, kita tidak akan tahan panasnya matahari.”
Sesampai di jalanan baru kami ketahui, bahwa pengiring kami dari Bengkulu sudah digantikan oleh enam
orang pengawal bermuka kaku dari Muko‐Muko. Selain dari membawa tempat minum mereka
menyandang senapan dan pistol. Ada lagi perubahan yang lain. Kendaraan kami sudah diganti dengan
gerobak sapi. Ia dimuat dengan persediaan makanan. Beras dan kaleng‐kaleng. Melebihi persediaan
untuk sehari. Cukup untuk seminggu, kukira.
“Perjalanan selanjutnya kita tempuh dengan jalan kaki,” kata seorang yang menyandang tempat minum.
Isteriku mengangkat kepala karena kaget. “Jalan kaki sampai ke Padang?”
“Betul.”
“Sejauh tigaratus kilometer?” tanyanya kehabisan napas.
“Ya, betul,” orang itu memotong. “Hayo kita jalan.”
“Kenapa tidak dengan mobil saja?” tanjaku, ketika kami menaikkan Sukarti dan barang ke atas gerobak.
“Kita melalui hutan lebat, rapat dan susah dijalani. Satu‐satunja cara supaya sampai di Padang dengan
menempuh jalan setapak yang berkelok‐kelok berliku‐liku dan di beberapa tempat susah dilalui.”
Aku bisa tahan berjalan kalau dibandingkan dengan yang lain, oleh karena aku selalu latihan. Akan tetapi
Inggitlah yang menimbulkan kekuatiranku. “Jangan kuatir,” aku membujuknya. “Polisi‐polisi yang bebal
inipun bukan pejalan marathon, sama saja dengan kau.”
Betapapun kekuatiran yang timbul, bagi kami tidak ada pilihan lain. Di belakang kami, tentara Jepang. Di
depan, tentara Belanda. Dikiri‐kanan kami enam orang polisi pakai senapan, mendampingi kami setiap
saat siang dan malam. Jadi kami berjalanlah. Terus berjalan. Tak henti‐hentinya berjalan. Menempuh
hutan yang lebat di sepanjang pantai Barat Sumatera Selatan. Aku memakai sepatu. Isteriku hanya pakai
sandal terbuka seperti yang biasa dipakai oleh wanita Indonesia, dan tidak bisa diharapkan dapat
meringankan perjalanan berhari‐hari melalui hutan rotan dan rumput liar yang kering dan menggoresgores
kaki setinggi lutut bermil‐mil jauhnya. Kaki Inggit lecet dan bengkak. Kadang‐kadang ia naik
gerobak sapi itu. Akan tetapi jalanna curam dan akhirnya bukan sapi itu yang menolong kami, akan tetapi
akulah yang harus menolong sapi itu. Aku menariknya. Dan menolaknya. Seringkali binatang itu hanya
berdiri saja dan menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri.
Di tengah hutan yang demikian sesekali kami menjumpai sebuah pondok yang terpencil kepunyaan
pemburu atau pencari kayu bakar. Jam enam sore kami berhenti di pondok seperti itu. Kami berada
ditengah‐tengah pesawangan, dan kalaupun disuruh berjalan terus tak seorangpun diantara kami yang
masih sanggup berjalan. Kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak‐bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti
tidak memakai topi, badannya terbakar oleh terik matahari.
Pondok itu berbentuk rumah panggung, supaya terhindar dari ancaman binatang. Sekalipun demikian
kami dapat mencium adanya tamu‐tamu yang tidak diundang. Seekor ular menjalar melalui kaki. Cicak
berkeliaran di atas atap. Diatas lantai terhampar sehelai tikar kasar. Aku terkapar di atas tikar itu. Pahaku
menjadi bantal Inggit. Dan Sukarti menggolekkan kepalanya diatas badan ibunya. Bunyi binatang buas di
malam hari di sekeliling tempat pelarian kami membikin badan jadi dingin. Tetangga kami adalah
harimau, beruang, kucing hutan, rusa, babi‐hutan dan monyet tak terhitung banyaknya. Teriakan monyet
yang membisingkan di atas pohon‐pohon kayu tidak henti‐hentinya. “Raja hutan tidak akan menyerang,
kecuali kalau dia lapar,” cerita polisi yang menyandang tempat minum. Kami mendo’a, semoga binatangbinatang
itu tidak mengingini kami. Sebagian besar dari keberanianku adalah berkat kawal kehormatan
kami yang berkeliling tidak lebih dari beberapa kaki jauhnya.
Di tengah malam Sukarti mengintip di pinggir teratak itu yang tidak berpintu. “Saya takut, Oom,” dia
menggigil. “Oom tidak takut?”
“Ya, Karti,” bisikku menenangkan hatinya. “Oom takut. Tapi polisi ini membikin Oom berani.” Aku
merangkak dengan Karti ke bagian pinggir dan mengintip ke bawah. “Kaulihat keenam orang itu? Di
tengah malam sunyipun polisi menjaga berganti‐ganti pakai bedil. Polisi berjaga‐jaga. Mereka lebih takut
lagi daripada kita kalau tidak menyelamatkan kita dari binatang buas. Sangat besar tanggung jawab polisi
untuk menyerahkan Sukarno hidup‐hidup ke tangan pembesar di Padang. Karena itu mari, marilah kita
tidur dan biarlah polisi menjaga keselamatan kita. ya ?”
Di subuh itu kami sarapan dengan buah‐buahan dari hutan, nasi dari persediaan yang dibawa oleh
pengawal kami dan singkong sedikit. Hari masih gelap ketika kami kembali mengayunkan langkah.
Menjelang siang kami jumpai sebuah sungai mengalir. Mandilah kami dengan pakaian yang lekat di badan
di air yang jernih dan sejuk itu dan melepaskan dahaga sepuas‐puas hati. Masuk sedikit lagi ke dalam
semak‐belukar, dikelilingi oleh sawah yang terhampar, ada sebuah dangau. Kami memasuki dangau itu
untuk tidur‐tiduran sekedar pelepas kelelahan.
Kami dapat mendengar gemerisik binatang liar pada dedaunan yang tidak bergerak dan kami melangkahi
jejak harimau yang tak terhitung banyaknya, namun satu‐satunya binatang yang menghalangi jalan kami
ialah siamang. Kami melihat siamang hampir sebesar orang hutan berdiri tegak seperti manusia. Berdiri di
atas kakinya yang belakang binatang‐binatang itu mendekati kami, pada waktu kami lewat dengan
langkah yang berat. Akan tetapi kami tidak diapa‐apakan, selain daripada jantung kami yang memukulmukul
dada dengan keras.
Dengan menggunakan korek api yang dibawa oleh polisi, kami memasak nasi dalam kaleng, memasukkan
sayuran ke dalamnya dan menambahkan ikan yang ditangkap dari sungai. Ini dibagi diantara kami yang
sepuluh orang. Makanan ini tidaklah mewah, tapi kami juga tidak mati kelaparan karenanya. Inggit terlalu
amat lelah, sehingga pada suatu kali ia makan sambil berdiri. “Aku terlalu capek,” ia mengeluh panjang
sambil bersandar lesu ke tebing suatu lurah yang sedang kami lalui. “Kalau aku duduk, takut nanti tidak
bisa lagi berdiri.”
Di hari ketiga salah seorang polisi Belanda menyerah karena putus asa dan kehabisan tenaga. Kami hanya
memikirkan diri kami sendiri, tetapi, di samping matahari yang membakar, haus, kehabisan tenaga dan
gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Mereka tidak ada melakukan
tindakan yang kejam terhadap kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang yang menawan,
kami semua sama merasakan pahit getirnya perjalanan. Tetapi jarang terjadi percakapan. Tiada manusia
yang lewat dan kami tidak merasakan kegembiraan. Aku sendiri berusaha untuk berolok‐olok. Sudah
menjadi pembawaanku untuk selalu bergembira, betapapun suasananya. “Sekalipun ada penyerbuan,
akan tetapi saya berterimakasih kepada saudara‐saudara, karena sudah memperlihatkan daerah
pedalaman ini kepada saya,” aku berolok‐olok.
Seorang yang pendek dan botak tersenyum, “Selama empat tahun di Bengkulu apakah tuan tidak pernah
melangkah keluar batas yang dijaga kuat untuk tuan ?”
“Ada, sekali. Saya membuat suatu cerita sandiwara yang dipertunjukkan pada malam amal di suatu
tempat diluar batas. Ini terjadi tepat setelah Residen baru menggantikan pejabat lama yang saya kenal
baik. Orangnya sejenis manusia yang menghamba kepada.peraturan. Saya bertanya kepadanya, ‘Tuan
Residen, dapatkah tuan mengizinkan saya untuk pergi ke tempat ini yang terletak sedikit diluar batas ?”
“Untuk memutuskan sendiri mengenai persoalan yang sangat penting ini rupanya tidak mungkin baginya.
Karena itu dia bersusah payah mengirim telegram kepada Gubernur Jendral di Jawa. Lalu apa jawab
Gubernur Jendral. Dia menelegram kembali, menyatakan kegembiraannya mendengar semua itu.
Katanya, ‘Saya gembira mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannya
pada pertunjukan sandiwara? Apakah ini tidak menggelikan?!”
Polisi itu terpaksa tertawa menunjukkan penghargaan. Ketika Riwu meluncur dari pohon kelapa dan
membelah kelapa sehingga kami dapat menikmati airnya yang segar, aku menceritakan kisah Manap
Sofiano, seorang pemain yang menjalankan peran primadona dalam pertunjukanku.
“Suatu hari dia membeli piano dalam lelang dan menyampaikan kepada tukang lelang, ‘Sukarno akan
menjamin pembayarannya.’ ‘O, baik,’ jawab orang itu setuju, ‘kalau tuan kawan dari Sukarno, baiklah.’
Tiga bulan kemudian Sofiano mengepak barang‐barangnya hendak pindah. Sebelum dia pergi saya
katakan, ‘Hee, tinggalkan dulu surat perjanjian yang diketahui oleh kepala kampung dan yang
menyatakan bahwa engkau berjanji hendak membayarnya. Dengan begitu, kalau sekiranya kaulupa, saya
mempunyai dasar yang sah.’
“Setelah berbulan‐bulan tidak ada kabar‐berita dari Sofiano, saya menulis surat kepadanya, ‘Sudah
sampai waktunya. Bayar sekarang, kalau tidak, akan saya ajukan ke depan pengadilan.’ Sofiano kemudian
membalas, ‘Saya tidak menyusahkan diri saya sendiri, akan tetapi saya mempunyai lima orang anak.
Kalau saya masuk penjara, mereka akan terlantar.’
“Tentu saya tidak mau menyakiti anak‐anak yang tidak bersalah, jadi apa lagi yang dapat saya lakukan?
Saya kemudian membayar utang sejumlah 60 rupiah itu. Disamping itu,” aku tersenyum meringis, “dia
seorang pemain yang baik, sehingga saya dapat mema’afkan segala‐galanya.”
Dengan percakapan ringan demikian ini aku mencoba menaikkan semangat pasukan kami yang melarat
itu. Di hari yang keempat kami terlepas dari daerah hutan dan menumpang bis menuju kota. Bertepatan
dengan kedatanganku, kapal yang direncanakan untuk mengangkut kami telah meledak menjadi sepihan
dekat pulau Enggano, tidak jauh dari pantai. Tentara Jepang berada dalam jarak beberapa hari perjalanan
di belakang kami. Angkatan laut Jepang sudah berada beberapa mil dari kami.
Kota Padang diselubungi oleh suasana chaos, suasana bingung dan ragu. Hanya dalam satu hal orang
tidak ragu lagi, yaitu bahwa Belanda penakluk yang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para
pedagang meninggalkan tokonya. Terjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup. “Lihat,” kata
seorang Belanda, yang tingginya satu meter delapan puluh lima, mengejek ketika dia hendak lari
membiarkan kami tidak dilindungi, ,Belum lagi kami pergi, kamu orang Burniputera sudah tidak sanggup
mengendalikan diri sendiri.”
Tentara Belanda mencoba untuk mengangkutku dengan pesawat terbang, akan tetapi semuanya terpakai
atau rusak. Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menyelamatkan Sukarno. Persoalan
Negeri Belanda sekarang adalah bagaimana menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka seperti pengecut,
mereka lari pontang panting. Belanda membiarkan kepulauan ini dan rakyat Indonesia jadi umpan tanpa
pertahanan. Tidak ada yang mempertahankannya, kecuali Sukarno. Negeri Belanda membiarkanku
tinggal. Ini adalah kesalahan yang besar dari mereka.
Sesampai di hotel aku mengatakan pada Inggit, “Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu. disini.”
Dimana‐mana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburu‐buru pada detik‐detik terakhir.
“Kau mau kemana?” tanya Inggit gemetar ketakutan.
“Kawanku Waworuntu tinggal disini. Aku harus mencarinya dan berusaha mencari tempat tinggal.”
Waworuntu menyambutku dengan tangan terbuka. Dia mernelukku. “Sukarno, saudaraku,” dia berteriak
dan air mata mengalir ke pipinya. “Saya mendapat rumah bagus disini dan banyak kamarnya, tapi saya
sendirian saja. Isteri saya dan anak‐anak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saya. Bawalah
keluarga Bung Karno kesini …. bawalah kesini dan anggaplah ini rumah Bung sendiri.” Orang yang baik
hati ini dengan kemauannya sendiri pindah dari kamar‐tidurnya yang besar di depan di sebelah ruang
tarnu, dan mengosongkannya untuk Inggit dan aku.
Ini terjadi beberapa hari sebelum Balatentara Kerajaan Dai Nippon menduduki Padang. Ketika aku
berjalan‐jalan di sepanjang jalan aku menyadari, bahwa saudara‐saudaraku yang terlantar, lemah, patuh
dan tidak mendapat perlindungan perlu dikurnpulkan. Tidak ada seorangpun yang mengawasinya. Tidak
seorangpun, kecuali Sukarno. Tindakan‐tindakan yang benar adalah usaha untuk memenuhi bakti kepada
Tuhan. Aku menyadari, bahwa waktunya sudah datang lagi bagiku untuk terus maju dan mendjawab
Panggilan itu. Segera aku mengambil oper tampuk pimpinan.
Disana ada suatu organisasi dagang setempat. Aku menemui ketuanya dan dia berusaha mengumpulkan
orang‐orangnya. Kemudian aku menyuruh Waworuntu ke satu jurusan dan Riwu ke jurusan lain untuk
mengumpulkan yang lain. Diadakanlah rapat umum di lapangan pasar. Disana aku membentuk Komando
Rakyat yang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk menjaga ketertiban. “Saudarasaudara,”
aku menggeledek dalam pidatoku yang pertama semenjak sembilan tahun, “Saya minta kepada
saudara‐saudara untuk mematuhi tentara yang akan datang. Jepang mempunyai tentara yang kuat.
Sebaliknya kita sangat lemah. Tugas saudara‐saudara bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak
mempunyai senjata. Kita tidak terlatih untuk berperang. Kita akan dihancurleburkan, jikalau kita
mencoba‐coba untuk melakukan perlawanan secara terang‐terangan.
“Orang yang tidak bersenjata tidak mungkin melawan prajurit‐prajurit yang puluhan ribu, akan tetapi
sebaliknya ingatlah saudara‐saudara, sekalipun semua tentara dari semua negeri di seluruh jagad ini
digabung menjadi satu tidak akan mampu untuk membelenggu satu jiwa yang tunggal, karena ia telah
bertekad untuk tetap merdeka. Saudara‐saudara, saya bertanya kepada saudara‐saudara semua :
Siapakah yang dapat membelenggu suatu rakyat jikalau semangat rakyat itu sendiri tidak mau
dibelenggu?
“Kita harus mencari kemenangan yang sebesar‐besarnya dari musuh ini. Maka dari itu, saudara‐saudara,
hati‐hatilah. Rakyat kita harus diperingatkan supaya jangan mengadakan perlawanan. Walaupun
bagaimana, hindarkanlah pertumpahan darah di saat‐saat permulaan. Jangan panik. Saya ulangi : jangan
panik. Ketentuan pertama yang diberikan oleh pemimpinmu adalah untuk mentaati orang Jepang. Dan
percaya. Percaja kepada Allah Subhanahuwata’ala, bahwa Ia akan membebaskan kita.”
Rapat itu diakhiri dengan do’a bersama kang kupimpim sendiri sebagai Imam. Orang Islam tidak dapat
mengkhotbahkan atau mengadukan isi daripada do’a. Ia harus pasti. Kata demi kata. Sampai pada satu
titik, disebabkan karena dadaku terlalu bergolak, aku lupa kata‐kata dari Ayat selanjutnya dan di hadapan
ribuan orang yang menunggu‐nunggu lanjutannya aku mendesis kepada seorang Haji yang duduk bersila
dekat itu,
“Ehh — apa lagi terusnya?”
Do’a itu berakhir, rakyat bubar, aku kembali ke rumah Waworuntu dan menunggu. Aku tidak perlu lama
menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu jam empat pagi. Mungkin juga jam lima. Aku
berbaring di tempat tidur, akan tetapi aku tidak tidur. Pikiranku tegang. Mataku nyalang sama sekali.
Malam itu adalah malam yang sunyi sepi. Tiada terdengar suara yang ganjil. Sesungguhnya, pun tidak
terdengar suara yang biasa. Keluargaku tidur dengan tenang. Tiba‐tiba mereka terbangun oleh bunyi
yang semakin santer. Mula‐mula menderu seperti guntur. Suara yang menggulung‐gulung itu semakin
keras, semakin keras, semakin keras lagi. Bunyi yang menakutkan dan membikin badan jadi dingin
membeku adalah gunturnya kereta‐kereta berlapis baja dan tank‐tank dan balatentara berjalan‐kaki
berbaris memasuki kota Padang.
Jepang sudah datang.

KELUAR DARI PENJARA


BAB XIII: Keluar Dari Penjara
BELANDA telah menjalankan daja upaya untuk mencegah agar kebebasanku jangan menimbulkan pawai
dari rakyat. Dimana‐mana diawasi oleh pasukan patroli. Agar tercapai maksud tersebut, maka jalanan di
sekeliling rumahpun dikosongkan. Aku telah menyampaikan supaya bertindak lebih bijaksana
menghadapi ini dan tidak mengadakan penyambutan secara besar‐besaran. Sungguhpun demikian Inggit
dan beberapa ratus pengikut yang setia berbaris dengan rapi di pinggir jalan pada jam tujuh pagi yang
cerah, ketika aku mengakhiri tugasku dengan masyarakat Belanda.
Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk mengadakan selamatan, apabila seseorang keluar dari
penjara. Bukan maksudku sebagai kebiasaan orang Indonesia bila keluar dari penjara saja. Yang
kumaksud, segala kejadian —seperti dalam hal perkawinan, kenaikan kedudukan, anak lahir, ya, malah
keluar dari penjarapun— ditandai oleh suatu pesta kedamaian. Karena itu penyesuaian diriku kepada
masyarakat ramai hampir tidak dapat dilakukan secara berangsur‐angsur. Dari kakus yang gelap dan sepi
langsung melompat ke rumah Inggit, tempat bayar makan yang ribut.
Peristiwa itu menggembirakan sekali dan aku dikuasai oleh perasaan haru. Akan tetapi harus kuakui, di
saat itu yang pertama‐tama kuinginkan bukanlah pesta yang gembira atau alas tempat‐tidur sutera yang
mentereng maupun mandi yang enak, tak satupun dari kesenangan itu. Yang pertama‐tama kuinginkan
adalah seorang perempuan. Akan tetapi walaupun bagaimana, rupanya kehendak ini terpaksa mengalah
dulu. Karena soal‐soal sekunder lebih mendesak kemuka. Ratusan orang datang menyerbu siang dan
malam hendak melihat wajahku. Di malam itu, kawanku Bung Thamrin menyatakan kepadaku, “Mata
Bung Karno menyinarkan cahaya baru.”
“Tidak,” jawabku. “Mata saya menonjol karena saya semakin kurus. Kalau muka kurus, mata kelihatan
cekung.”
“Tidak,” ia menegaskan., Mata Bung jadi sangat besar. Biar gemuk sekalipun dia tetap bersinar menyalanyala.
Saya melihat ada cahaya baru di dalamnya.”
“Entahlah,” jawabku, “Saya hanya merasa bahwa saya betul‐betul dikuasai oleh suatu semangat.”
Pidatoku yang paling terkenal yang pernah kuucapkan selama hidupku adalah pidato yang kusampaikan
di malam berikutnya. Aku berangkat ke Surabaya dengan kereta ekspres untuk menyampaikan kepada
Kongres Indonesia Raya supaya mereka tetap membulatkan tekad, oleh karena Bung Karno sekarang
sudah kembali lagi dan sudah siap untuk berjuang di sisi mereka dan untuk mereka. Dengan mata yang
berlinang‐linang, aku mengakhiri pidato itu dengan menyatakan “Kecintaanku terhadap tanah air kita
yang tercinta ini belumlah padam. Pun tidak ada maksudku untuk sekedar membikin roman dan bersain,.
Tidak. Tekad saya hendak berjuang. Insua Allah, di satu saat kita akan bersatu kembali.” Menghukum
Sukarno berarti menghukum seluruh pergerakan. Belanda mengetahui hal ini. Ketika aku masuk penjara
Sukamiskin, P.N.I. dengan resmi dinyatakan sebagai partai terlarang. Kemudian, wakil‐wakilku
mendirikan Partai Indonesia, yang disingkat Partindo, akan tetapi pergerakan itu tetap tidak berdaya.
Kegiatannya terbatas, jarang mengadakan pertemuan‐pertemuan dan kalaupun diadakan, sedikit sekali
dikunjungi orang, karena tidak adanya tokoh yang menjadi lambang kekuatan.
Karena tidak adanya kepemimpinan yang kuat dan bersifat menentukan, maka dua orang tokoh
berpendidikan Negeri Belanda yaitu Sutan Syahrir dan Hatta, tidak menyetujui cara‐cara bergerak dari
kawan‐kawan seperjuangannya. Maka timbullah pertentangan antara pengikut Hatta dengan pengikut
Sukarno. Akibatnya adalah perpecahan yang tak dapat dihindarkan. Aku memerintahkan Maskun dan
Gatot, yang dibebaskan beberapa bulan sebelumku, untuk membenteng jurang yang timbul itu. Mereka
tak sanggup. Maskun lalu mengirimkan pesan ke dalam penjara, “Saya terlalu muda. Saya tidak dapat
melakukannya.” Gatot kemudian memberi kabar lagi, “Kami berdua terlalu kecil untuk dapat melakukan
pekerjaan ini. Lebih baik kami tunggu empat bulan lagi sampai Bung Karno keluar.”
Segera setelah aku keluar dari penjara, ketika anggota‐anggotaku yang lama meminta supaya aku
memasuki Partindo, aku menolak. “Tidak,” kataku dengan tegas. “Pertama saya harus berbicara dengan
Hatta dulu. Saya ingin mendengar isi hatinya. “Mereka menyatakan kepadaku, “Rakyat akan mengikuti
kemana Bung Karno pergi. Apakah mungkin Bung mengikuti Pendidikan Nasional Indonesia, partai dari
Bung Hatta?”
“Tidak ada pikiranku untuk mengikuti salah satu pihak, saya lebih condong untuk menempa keduaduanya
kembali menjadi satu. Dua partai adalah bertentangan dengan keyakinanku untuk persatuan.
Perpecahan ini hanya menguntungkan pihak lawan.”
Aku bertemu dengan pihak jang bertentangan di rumah Gatot tidak lama setelah aku bebas. “Baiklah
saudara‐saudara, sekarang apa sesungguhnya yang menjadi perbedaan pokok kita,” kataku ketika kami
bertemu pertamakali.
Dengan cara Bung Karno, partai tidak akan bisa stabil,” Hatta mengemukakan, seorang yang berlainan
samasekali denganku dalam sifat dan pembawaan. Bung Hatta adalah seorang ahli ekonomi dalam segi
dagang dan pembawaannya. Saksama, tidak dipengaruhi oleh perasaan, pedantik. Seorang lulusan
Fakultas Ekonomi di Rotterdam, cara berpikirnya masih saja menurut buku‐buku, mencoba menerapkan
rumus‐rumus ilmiah yang tidak dapat dirubah ke dalam suatu revolusi. Seperti biasa ia langsung
memasuki pokok persoalan tanpa omong iseng secara berolok‐olok sebelumnya. “Pada waktu Bung
Karno dengan ketiga orang kawan kita lainnya masuk penjara, seluruh pergerakan bercerai‐berai. Saya
mempunyai ide untuk mengadakan suatu inti dari organisasi yang akan melatih kader yang digembleng
dengan cita‐cita kita.”
“Apa gunanya kader ini? Bukankah lebih baik kita mendatangi langsung rakyat jelata dan membakar hati
mereka, seperti selama ini telah saya kerjakan?”
“Tidak,” katanya. “Konsepsi saya kita menjalankan perjuangan melalui pendidikan praktis untuk rakyat, ini
lebih baik daripada kita bekerja atas dasar daya penarik pribadi dari satu orang pemimpin. Dengan jalan
demikian, kalau para pemimpin atasan tidak ada, partai akan tetap berjalan dengan pimpinan bawahan
yang sudah sadar betul‐betul untuk apa kita berjuang. Dan menurut gilirannya, mereka akan
menyampaikan cita‐cita ini kepada generasi yang akan datang, sehingga untuk seterusnya banyak tenaga
yang akan melanjutkan cita‐cita kita. Kenyataannya sekarang, kalau tidak ada pribadi Sukarno maka tidak
ada partai. Ia terpecah samasekali oleh karena tidak adanya kepercayaan rakyat kepada partai itu sendiri,
yang ada hanya kepercayaan terhadap Sukarno.”
“Mendidik rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun‐tahun, Bung Hatta. Jalan yang Bung
tempuh baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat,” kataku.
“Kemerdekaan tidak akan tercapai selagi saya masih hidup” katanja mempertahankan. “Tapi setidaktidaknya
cara ini pasti. Pergerakan kita akan terus berjalan selama bertahun‐tahun.”
“Siapakah yang akan jadi pimpinan Bung? Bukukah? Kepada siapakah jutaan rakyat akan berpegang?
Kepada kata‐katakah? Tidak seorangpun dapat digerakkan oleh kata‐kata. Kita tidak mungkin
memperoleh kekuatan dengan kata‐kata dalam buku pelajaran. Belanda tidak takut pada kata‐kata itu.
Mereka hanya takut kepada kekuatan nyata, yang terdiri dari rakyat yang menggerumutinya seperti
semut. Mereka tahu, bahwa dengan jalan mencerdaskan rakyat kekuasaan mereka tidak akan terancam.
Memang dengan mencerdaskan rakyat kita terhindar dari penjara, akan tetapi kita juga akan terhindar
dari kemerdekaan.”
“Rakyat akan mentertawakan Bung Karno kalau masuk penjara sekali lagi,” jawab Hatta. “Rakyat akan
mengatakan: Itu salahnya sendiri. Kenapa Sukarno selalu mempropagandakan Indonesia Merdeka,
sedang dia tahu bahwa Belanda akan menyetopnya. Dia itu gila. Jadi perjuangan untuk kemerdekaan
masih akan memakan waktu bertahun‐tahun lagi. Rakyat harus dididik dulu kearah itu.”
Hatta tidak berkisar setapakpun dan dengan hati yang tawar aku meninggalkan pertemuan yang
berlangsung selama beberapa jam itu Perbedaan kami seperti siang dan malam, dan Hatta sama sekali
tidak berubah pendiriannya. Masih aku mencoba untuk menghilangkan keretakan ini. Selama beberapa
bulan aku mencoba. Pada pertemuan kami selanjutnya Hatta mengatakan, “Saya hendak memberikan
jandji kepada para pengikut kita. Kalau Belanda menghalang‐halangi generasi kita ini untuk bergerak —
dan tiap gerakan selanjutnya daripada para pemimpin nasionalis tentu akan mendapat balasan yang
demikian— maka tak usahlah generasi kita ini bergerak lagi. Sebagai gantinya kita mengajar para
intellektuil yang muda‐muda yang pada satu saat akan menggantikan kita untuk meneruskan ajaranajaran
kita dan yang nanti di belakang hari akan membawa kita kepada kemerdekaan. lni adalah jandji
kepada tanah air kita. Ia merupakan soal prinsip. Soal kehormatan.”
Aku tak pernah mengerti sama sekali perkara tetek bengek secara intellektuil yang khayal ini. Hatta dan
Syahrir tak pernah membangun kekuatan. Apa yang mereka kerjakan hanya bicara. Tidak ada tindakan,
hanja bersoal jawab. Aku mencoba usaha yang terakhir. “lni adalah peperangan,” kataku. “Suatu
perjuangan untuk hidup. Ini bukanlah soal keteguhan pendirian dengan generasi yang akan datang
ataupun suatu kehormatan bagi sisa dari pergerakan, sehingga tingkatan yang lebih bawah dapat
memegang tegak prinsip‐prinsip yang telah dikurangi setelah para pemimpin mereka masuk bui.
Kehormatan tidaklah pada tempatnya dalam perjuangan mati‐matian ini. Ini adalah semata‐mata
persoalan kekuatan. Di saat Bung Hatta dan Sjahrir maju terus dengan usaha pendidikan pada waktu itu
pula kepala saudara‐saudara akan dipukul oleh musuh.
“Politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending—pembentukan kekuatan dan pemakaian
kekuatan. Dengan tenaga yang terhimpun kita dapat mendesak musuh ke pojok dan kalau perlu
menyerangnya. Mempersiapkan teori dan membuat keputusan kebijaksanaan penting yang berasal dari
buku‐buku tidaklah praktis. Saya kuatir, Hatta, saudara berpijak diatas landasan revolusioner yang
khajal.”
Pada tahun‐tahun duapuluhan, antara kami telah terdapat keretakan ketika aku menjadi eksponen utama
dari non‐kooperasi, sedang dia sebagai eksponen‐utama dengan pendirian bahwa kerjasama dengan
Pemerintah tidak menjadi halangan untuk mencapai tujuan. Hatta dan aku tak pernah berada dalam
getaran gelombang yang sama. Cara yang paling baik untuk melukiskan tentang pribadi Hatta ialah
dengan menceritakan tentang kejadian di suatu sore, ketika dalam perjalanan ke suatu tempat dan satusatunya
penumpang lain dalam kendaraan itu adalah seorang gadis yang cantik. Di suatu tempat yang
sepi dan terasing ban pecah. Jejaka Hatta adalan seorang yang pemerah muka apabila bertemu dengan
seorang gadis. Ia tak pernah menari, tertawa atau menikmati kehidupan ini.
Ketika dua jam kemudian supirnya kembali dengan bantuan ia mendapati gadis itu berbaring enak di
sudut yang jauh dalam kendaraan itu dan Hatta mendengkur di sudut yang lain. Ah, susah orangnya. Kami
tak pernah sependapat mengenai suatu persoalan.
Pada tanggal 28 Djuli 1932, aku memasuki Partindo dan dengan suara bulat terpilih sebagai ketua.
Pergerakan ini hidup kembali.
Sebagai pemimpin partai aku mendapat 70 rupiah sebulan. Dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi di masa
yang akan datang, aku memperoleh kemajuan dalam segala hal. Pun dalam menonton film. Sekarang aku
duduk di muka layar putih. Maskun dan aku juga mendapat penghasilan sedikit dalam memimpin
bersama‐sama koran partai, “Fikiran Rakjat”, yang diselenggarakan di rumahku. Kemudian ada lagi orang
yang baya ‐makan. Sudah tentu orang‐orang seperti Maskun tidak bayar. Bagaimana aku bisa minta uang
makan daripadanya? Dia kawanku. Aku bahkan memperkenalkannya kepada isterinya.
Kuingat betul di hari perkawinannya akupun mengadakan pidato politik. Penganten baru ini tidak
berbulan madu kecuali mungkin di bawah pohon kayu di suatu tempat, karena segera setelah perkawinan
mereka tinggal dengan Inggit dan aku. Bukanlah menjadi kebiasaan anak gadis Indonesia untuk berteriak
bila orang mengadakan percintaan dengan gadis itu. Dan karena kami tidak mempunyai kasur di hari‐hari
itu, jadi tidak ada yang akan berderak‐derik. Karena itu, sungguhpun kamar kami hanya dipisahkan oleh
dinding bilik, kami tidak terganggu satu sama lain.
Dengan Ir. Rooseno aku mendirikan biro arsitek lagi. Kami mengalami masa yang sulit dengan biro arsitek
ini, karena orang lebih menyukai arsitek Tionghoa atau Belanda dan tidak akan menemui kesulitan
dengan kedua bangsa ini. Sewa kantor kami 20 rupiah. Telpon 7l/2 rupiah. Jadi setidak‐tidaknya kami
harus mendapatkan 271/2 rupiah setiap bulan. Akan tetapi seringkali kami tidak menerimanya.
Penghasilan Rooseno yang terutama didapatnya dari mengajar. Oleh karena kantongnya selalu lebih
penuh daripada kami, kebanyakan pengeluaran kami terpaksa bergantung kepadanya.
Sekali sebulan aku muncul untuk menanyakan bagian keuntunganku. Karena aku mencukupi
kebutuhanku dari kantongnya, aku akan bertanya, “Berapa kau berutang padaku?”
Dan dia akan menjawab, “Bagian Bung 15 rupiah.”
Kataku, “Baik.” Aku tidak pernah memeriksanya. Apa yang dikatakannya aku percaya saja. Kami
mengadakan pembagian kerja yang adil dan cukup beralasan. Rooseno menjadi insinyur kalkulatornya.
Dia mengerjakan soal‐soal detail. Dia yang membuat perhitungan dan kalkulasi dan
mengerjakan perhitungan ilmu pasti yang sukar itu. Sebagai arsitek seniman aku mengatur bentukbentuk
yang baik dari gedung‐gedung. Sudah tentu tidak banyak perlu diatur, akan tetapi sekalipun
demikian ada beberapa buah rumah yang kurencanakan sendiri dan sekarang masih berdiri di Bandung.
Rencanaku bagus‐bagus. Tidak begitu ekonomis akan tetapi indah.
Aku tidak begitu memikirkan benda‐benda duniawi seperti uang. Hanya orang‐orang yang tidak pernah
menghirup apinya nasionalisme yang dapat melibatkan dirinya dalam soal‐soal biasa seperti itu.
Kemerdekaan adalah makanan hidupku. Ideologi. Idealisme. Makanan daripada jiwaku. Inilah semua yang
kumakan. Aku sendiri hidup dalam kekurangan, akan tetapi apa salahnya? Mendayungkan partaiku dan
rakyjatku secara bersama‐sama ke pulau harapan, untuk itulah aku hidup.
Sesuai dengan cita‐cita dari P.N.I., partaiku yang lama, tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin
berpakaian, maka anggota‐anggota mengumpulkan uang untuk mengadakan pakaian untukku. Ganti
kain katun atau linnen, Sukarno tiba‐tiba diberi kain shantung Ganti kemeja sport dengan leher terbuka,
Sukarno mulai memakai dasi yang bagus. Pergerakan kami begitu percaya padaku, sehingga pakaian ini
diusahakan mereka secara sukarela. Aku teringat baju suteraku yang pertama. Pembelinya bernama
Saddak. O. dia sungguh‐sungguh memujaku.
Ini seperti yang dikatakan oleh Injil, “Yang kaya jiwanya membantu yang miskin dalam satu persaudaraan
yang besar.” Aku memberi mereka keberanian. Mereka memberiku pakaian —atau uang. Di pagi hari aku
keluar dari penjara sebagai seorang bebas, seorang laki‐laki yang belum pernah kulihat sebelumnya,
menggenggamkan kepadaku dengan begitu saja uang empat ratus rupiah, lain tidak karena aku tidak
mempunyai uang. Pada waktu sekarang orang ini, yang bernama Dasaad , adalah seorang kapitalissosialis
yang paling kaya di Indonesia dan kawanku yang rapat. Akan tetapi, pada waktu ia menyodorkan
rejeki yang kecil itu kepadaku, ia tak mengharapkan akan memperolehnya kembali. Seingatku ia tak
pernah menerima uang itu kembali. Aku masih saja meminjam‐minjam kepadanya.
Dalam masa ini aku menyadari untuk lebih berhati‐hati dengan ucapan‐ucapanku. Pengaruhku terhadap
rakyat sudah tumbuh sedemikian, sehingga kalau aku berkata, “Makan batu”, mereka akan memakannya.
Kukira ini timbul disebabkan karena apa yang kuucapkan dengan keras sesungguhnya adalah apa yang
mereka sendiri pikirkan dan rasakan dalam hati sanubarinya. Aku merumuskan perasaan‐perasaan yang
tersembunyi dari rakyatku menjadi istilah‐istilah politik dan sosial, yang tentu akan mereka ucapkan
sendiri kalau mereka dapat. Aku menggugat yang tua‐tua untuk mengingat kembali akan penderitaanpenderitaannya
dan melenyapkan penderitaan‐penderitaan itu. Aku menggugat para pemuda untuk
memikirkan nasib mereka sendiri dan bekerja keras untuk masa depan. Aku menjadi mulut mereka.
Sebagai pemuda aku mula‐mula mengisap kata‐kata yang tertulis dari negarawan‐negarawan besar di
dunia, kemudian kuminum ucapan‐ucapan dari para pemimpin besar dari bangsa kami, lalu menggodok
semua ini dengan falsafah dasar yang digali dari hati rakyat Marhaen. Sukarno, Telinga Besar dari rakyat
Indonesia, lalu menjadi Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia.
Aku berbicara kapan saja dan dimana saja. Di dalam dan di luar. Di bawah teriknya sinar matahari dan di
musim hujan. Pada suatu kali air hujan sudah sampai ke mata kakiku dan oleh karena banyak tempat yang
tidak bisa ditempuh, maka aku baru sampai jam tiga pada rapat yang seharusnja diadakan mulai jam
sembilan pagi. Rakyat yang sudah bercerai‐berai berkerumun lagi, berdiri dengan berpayung daun pisang
dan lain‐lain yang dapat dipakai sebagai pelindung kepala. Pada suatu saat cuaca demikian buruknya,
sehingga sekalipun pakai jas hujan aku basah kuyup oleh air yang mencucur dari langit. Di waktu itulah
aku mengajak, “Nah, sekarang, untuk memanaskan badan kita bagaimana kalau kita menyanji bersamasama?”
Di sela‐sela petir yang menggemuruh terdengarlah satu suara mengikutiku. Kemudian yang lain.
Lalu ratusan suara berpadu. Dan tidak lama antaranya menggemalah 20.000 suara menjadi satu paduan
yang gembira. Di lapangan terbuka yang sederhana ini di Jawa Tengah maka nyanyian‐nyanjian rakyat
mengikat kami menjadi satu, ikatannya lebih erat daripada rantai besi. Ketika hujan semakin reda, aku
mengakhiri wejanganku. Tak seorangpun yang meninggalkan tempat itu.
Salah seorang pengikut kemudian setelah itu memberikan komentarnya, “Ini adalah suatu kejadian yang
tidak dapat dilakukan oleh orang semata‐mata. Bakat yang demikian itu terletak Antara Bung dan alam.”
Kusampaikan kepadanya, “Sebabnya ialah karena ini bukanlah kemauan saya pribadi untuk
memperjuangkan kemerdekaan. Ia adalah kemauan Tuhan. Saya menjalankan kata‐kata Tuhan. Untuk
pekerjaan inilah saya dilahirkan.”
Pada waktu sekarang, orang‐orang anti‐Sukarno tertawa mengejek bahwa segala sesuatu diatur terlebih
dulu untuk Sukarno sebelum ia memperlihatkan diri. Aku hanya mengatakan, memang benar bahwa
rakyat berjejal‐jejal di kiri kanan jalan kalau Bapak akan berpidato. Juga adalah benar, bahwa orang dapat
memaksa seseorang untuk berdiri akan tetapi ia tidak akan dapat dipaksa untuk tersenyum dengan penuh
kepercayaan atau memandang dengan perasaan kagum atau melambai kepadaku dengan gembira. Aku
meminta kepada manusia umumnya untuk menyelidiki muka‐muka yang menengadah dari rakyatku
kalau aku berpidato. Mereka melihat tersenyum kepadaku. Mendo’akan, Mencntaiku. Ini semua tidak
dapat dipaksakan oleh pemerintah.
Pemerintah tidak dapat memaksa mereka untuk berbuat demikian seperti pemerintah Hindia Belanda
tidak dapat menyuruh mereka BERHENTI tersenyum kepadaku di masa tahun‐tahun tiga puluhan.
Dengan tiba‐tiba semangat nasional menjalari seluruh tanah air. Dengan tiba‐tiba keinginan merdeka
menular kembali.
Aku berpidato di Solo di mana puteri‐puteri dari kraton yang cantik‐cantik pada keluar untuk
mendengarkanku. Wanita‐wanita yang dipingit, dimuliakan dan yang halus ini begitu tertarik sehingga
salah seorang yang hamil memukul‐mukul perutnya berkali‐kali dan mendengungkan, “Saya ingin
seorang anak seperti Sukarno.” Mendadak aku mendapat ilham. Aku menyerahkan kepada mereka
beberapa peci dan meminta mereka berkeliling dalam lautan manusia itu mengumpulkan uang untuk
pergerakan kami. Ah, Bung, sungguh menggemparkan.
Aku malahan mencaplok terhadap Belanda. Seorang pemuda bernama Paris menjadi muridku dan pindah
sama sekali ke pihak kita. Pada kesempatan lain aku mengadakan rapat di Gresik Jawa Timur. Patih di
tempat itu juga hadir. Sebagai seorang pejabat kolonial, adalah menjadi kewajibannya yang tak dapat
disangkal lagi untuk memeriksaku dengan saksama dan melaporkan kegiatanku. Orang yang sangat baik
hati ini berdiri mendengarkan pidatoku dengan sungguh‐sungguh dan dengan seluruh hatinya. Tanpa
berpikir dia lupa pada dirinya sendiri dan dengan bersemangat turut bersorak dan bertepuk
mendengarkan pidatoku. Di antara orang banyak itu terdapat juga Van der Plas, Direktur Urusan Bumi
putera. Dan itulah kami. Kamilah orang Bumiputera. Pekerjaan Van der Plas adalah untuk mengawasi
orang‐orang yang mengawasi kami, termasuk patih itu.
Patih itu seketika juga diperhentikan. Timbullah pertengkaran yang hebat di dalam Dewan Rakyat.
Thamrin mencoba untuk mempertahankannya. Dia mengemukakan alasan, “Apa salahnya dia turut
bersorak? Bukankah dia orang Indonesia? Mengapa dia harus dilarang untuk bertepuk dan bersorak?
Mengapa dia harus kehilangan jabatan tanpa diberi kesempatan untuk mempertahankan dir ?”
Thamrin mencoba dengan gagah berani, sekalipun demikian patih itu tetap kehilangan jabatannya. Ini
adalah jabatan yang penting dan dia orang yang penting. Orang yang baik hati ini mempunyai anak dan
isteri yang harus ditanggungnya. Akupun susah memikirkannya.
Polisi mulai memperkeras jaring‐jaring mereka. Surat‐surat kabar ketika itu penuh dengan berita
pemberontakan di atas kapal Zeven Provincien, yaitu sebuah kapal perang yang para opsirnya terdiri dari
Belanda dan orang‐bawahannya orang‐orang Indonesia. Belanda, karena mengetahui tentang caraku
mempergunakan suatu keadaan. Pada waktunya, mengeluarkan larangan untuk mengadakan
pembicaraan secara terbuka mengenai peristiwa ini, takut kalau hal ini akan merangsang rakyat untuk
bangkit dan memberontak.
Persoalanku adalah, bagaimana caranya untuk menerangkan situasi itu dengan baik dalam pidato
berikutnya. Tangan polisi sudah gatal‐gatal untuk melemparkanku keluar panggung. Mereka tegang dan
gelisah. kamipun tegang dan gelisah. Kami mengatur acara sehingga aku menjadi pembicara pertama. Ini
maksudnya untuk membikin bingung polisi, yang tentu tidak akan menyangka bahwa aku akan
memberanikan diri untuk menggelorakan lima menit pertama dari rapat tersebut. Dengan jalan ini,
sekalipun mereka akan menghentikan rapat kami, aku telah menyampaikan pesan‐pesanku dan rakyat
tentu sudah akan puas melihatku. Jadi, berdirilah aku dan langsung berbicara tentang peristiwa kapal
Zeven Provincien itu. Polisi langsung bertindak terhadapku. Dan pertemuan itu segera ditutup.
Aku kembali lagi ke tempat dimana aku berada. Nomor satu dalam daftar hitam mereka, seperti aku
takkan lepas‐lepas dari daftar itu.
Para pembesar mengeluarkan perintah tentang barang siapa yang membaca “Fikiran Rakyat” atau
memakai peci akan dikenakan tahanan.
Kemudian aku menulis brosur yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Brosur tersebut dianggap
sangat menghasut, sehingga ia dirampas dan dinyatakan terlarang segera setelah ia mulai beredar.
Banyak yang di sita. Rumah‐rumah digeledahi. Kumpulan yang terdiri dari lebih dari tiga orang dikepung.
Perangkap diperkeras.
Tanggal satu Agustus kami mengadakan pertemuan pimpinan dirumah Thamrin di Jakarta. Pertemuan ini
selesai sudah lewat tengah malam. Ketika aku turun rumah menuju jalan raya, di sana sudah berdiri
seorang Komisaris Polisi, menungguku dengan tenang di depan rumah. Kejadian ini adalah pengulangan
kembali dari penangkapan yang terdahulu. Dia rnengucapkan kata‐kata yang sama, “Tuan Sukarno, atas
nama Sri Ratu saya menangkap tuan.”

MASUK KURUNGAN

BAB XIV: Masuk Kurungan
Tepat delapan bulan sampai kepada hari‐harinya aku sudah berada lagi dalam tahanan. Penahanan
kembali ini tidak disebabkan oleh satu kedjadian yang khusus. Kesalahanku cuma oleh karena aku tidak
menutup mulutku yang besar sebagaimana mereka harapkan setelah aku keluar dari penjara.
Komisaris itu membelebab kepadaku. “Tuan Sukarno, tuan tidak bisa berubah. Tidak ada harapan tingkah
laku tuan bisa baik lagi. Menurut catatan kami, tuan hanya beberapa jam saja sebagai orang bebas ketika
tuan naik kereta api menuju Surabaya, lalu tuan kembali bikin kacau lagi dan sejak waktu itu tidak
berhenti‐henti bikin ribut. Jadi jelas sekarang bagi Pemerintah Sri Ratu bahwa tuan senantiasa menjadi
pengacau.”
“Kemana tuan bawa saya ?” tanyaku. “Masuk tahanan.” ,”Di Bandung lagi?”
“Sekarang tidak. Sekarang ini tuan kami tahan di Hopbiro Polisi disini.”
Di kantor Polisi mereka tidak mengurungku. Kepadaku hanya ditunjukkan sebuah bangku panjang dan
membiarkanku di sana. Aku bertanya kepada perwira pengawas,
“Tuan, apakah bisa saya memanggil isteri saya?” Dia tidak menjawab.
“Dapatkah saya menyampaikan `pesan kepada pembela saya?” Ia masih tidak menjawab.
“Bolehkah saya bertemu dengan salah seorang anggota Volksraad atau salah seorang pemimpin dari
partai saya?” Tidak ada jawaban. Dia hanya menarik korsi kemejanya dan menulis, terus menulis suatu
dokumen yang berisi tidak kurang dari seribu halaman dakwaan kepadaku. Karena aku seorang jahat yang
begitu berbahaya, mereka tidak membiarkanku seorang diri. Polisi yang bersenjata lengkap mengawalku
di bangku itu.
Aku nongkrong di sana berjam‐jam lamanya. Dan aku mulai memikir. Selama saat‐saat yang tegang
dalam kehidupan orang, seringkali pikiran manusia memusatkan diri kepada soal‐soal yang paling tidak
berarti atau macam soal‐soal yang kelihatannya tidak ada sangkut pautnya. Ia seakan‐akan menjadi pintu
pengaman daripada tabi’at manusia untuk mengeluarkan tekanan ketakutan yang bercokol dalam airinya.
Disini aku menjadi seorang yang kalah dua kali. Apakah yang akan terjadi terhadap diriku? Apakah aku
hanya akan dijebloskan ke dalam penjara? Apakah mereka melemparkanku ke tempat pengasingan? Atau
menggantungku? Apakah sesungguhnya? Apa? Dalam usia 32 tahun maka seluruh kehidupanku ini sudah
menyelesaikan lingkarannya.
Satu‐satunya yang dapat kulihat dalam pikiranku hanyalah permainan bulutangkis dan bolanya yang
terbang kian kemari menurut kemauan dari para pemainnja. Nehru yang telah sebelas kali keluar masuk
penjara pada suatu waktu menyamakan dirinya dengan bola bulutangkis. Sambil duduk di sana aku
berkata pada diriku sendiri. “Tidak karno, engkau lebih menyerupai sebuah ranting dalam unggun kayu
bakar yang sedang menyala.” ,,Kenapa begitu?” Aku bertanya pada diriku sendiri. “Karena,” datang
jawabnya, “ranting itu turut mengambil bagian dalam menyalakan api yang berkobar‐kobar, akan tetapi
di balik itu iapun dimakan oleh apa yang hebat itu. Keadaan ini sama dengan keadaanmu. Engkau turut
mengambil bagian dalam mengobarkan apinya revolusi, akan tetapi ……
“Percakapan dengan diriku sendiri terputus dengan tiba‐tiba. Jelas bahwa aku sesungguhnya dapat
disamakan dengan sepotong kayu bakar, karena tiba‐tiba —akhirnya— nampaknya akupun dimakan oleh
jilatan api yang menggelora itu dalam mana aku turut mengambil bagian sebagai kayu pembakarnya.
Aku menghilangkan pikiran ini dari ingatanku dan mencoba memikirkan soal yang lain. Tidak lama
kemudian aku dikuasai oleh kelelahan, lalu tertidur di atas bangku kayu yang keras itu. Ketika cahaya di
luar masih keabu‐abuan, mereka memasukkanku ke dalam kereta api. Tempat selanjutnya adalah
Sukamiskin. Tetapi mereka tidak perasa. Aku tidak dimasukkan ke dalam selku yang lama.
Mereka mengurungku dalam sebuah sel khusus, dibuat di tengah‐tengah ruangan besar yang telah
dikosongkan. Di situlah aku terkurung di sebuah sel sempit dalam ruangan yang besar. Dan seorang diri.
Delapan bulan lamanya aku hidup seperti seorang pertapa yang bisu.
Kemudian mulai lagi pemeriksaan. Cara bekerjanya adalah demikian, mula‐mula orang ditahan, dihujani
dengan ribuan pertanyaan. lalu dikirim jauh‐jauh untuk tidak kembali lagi. Sesuai dengan ketentuanketentuan
dalam undang‐undang luar biasa, maka tidak perlu lagi diadakan pemeriksaan menurut hukum
atau pengesahan hukuman. Dengan hanya membuat keputusan sendiri untuk pembuangan, maka
Gubernur Jendral memerintahkan ribuan manusia untuk dibuang jauh‐jauh untuk hilang begitu saja tak
tentu rimbanya. Nampaknya Sukarno akan mengalami nasib yang demikian itu. Dengan tidak diadili
terlebih dulu hukuman sudah dijatuhkan kepadaku. Aku akan dibuang ke salah satu pulau yang paling
jauh. Berapa lamakah? Hingga semangatku dan jasadku menjadi busuk.
Aku akan menghadapi pembuangan ini. Setelah penjara, maka langkah selanjutnya akan menyusul secara
otomatis. Sikapnya seakan‐akan mereka sudah cukup baik hati terhadapku dengan membebaskanku
boberapa bulan yang lalu. Dan aku membalas kebaikan mereka dengan berbuat hal‐hal yang tidak baik
seperti dahulu. Nampaknya mirip seperti aku tak tahu berterima kasih.
Jam 05.30 di suatu pagi aku dimasukkan cepat‐cepat ke dalam kereta akspres dan dikurung dalam kamar
yang kecil dari salah satu gerbong yang sengaja dikosongkan. Dua orang berpakaian seragam
mengawalku. Seorang di dalam. Seorang lagi di luar pintu. Sungguhpun aku tidak melihat tanda‐tanda
kehadiran orang lain, kepadaku disampaikan bahwa keluargakupun ada dalam kereta api itu. Keluargaku
yang baru bertambah terdiri juga dari Ibu Amsi, mertuaku, dan Ratna Djuami, yaitu kemenakan Inggit
yang masih kecil dan menjadi anak angkat kami. Menurut kebiasaan kami pengambilan anak angkat tidak
memerlukan pengesahan. Ia berarti bahwa seseorang tinggal denganmu dan engkau mencintainya.
Sesampai di Surabaya keluargaku dipisahkan ke hotel sedangkan aku disimpan lagi diantara empat
dinding tembok selama dua hari dua malam berada di sana. Disinilah bapak dan ibu bertemu dengan si
anak tersayang, untuk mana mereka telah membina harapan‐harapan yang begitu besar. Inilah
pertamakali mereka melihatku di belakang jeruji besi dan aku kelihatan tidak banyak menyerupai Karno,
prajurit pahlawan besar dari Mahabharata itu. Pengalaman ini sangat menyayat hati mereka, hingga
mereka hampir tak sanggup memandangi keadaanku. Kejadian ini sudah lebih dari 30 yang lalu, akan
tetapi rasa pedih yang meremukkan dari pertemuan kami itu masih tetap melekat dalam jiwaku sampai
sekarang.
“O, Karno …… anakku Karno,” bapakku tersedu‐sedu, mencurahkan seluruh kepiluan hatinya, “Apa yang
dapat kulakukan mengenai dirimu? Apa yang dapat kami kerjakan untukmu? Pertama, engkau meringkuk
beberapa tahun dalam tahanan, yang menyebabkan kesedihan hati kami yang amat sangat. Dan
sekarang lagi engkau dibuang jauh‐jauh keluar Jawa.
“Pipikupun basah dengan airmata, akan tetapi aku berusaha untuk tersenyum sedikit. “Akan kuberikan
segala sesuatu, Pak, sekiranya saya mendapat kedudukan yang baik, yang akan memberikan
kegembiraan kepada orang tuaku sebagaimana sepantasnya dengan pendidikan yang diberikan kepada
saya. Akan tetapi, rupanya Tuhan tidak menghendakinya.”
Sementara air mata mengalir di wajahnya yang manis ibuku yang lembut hati itu membisikkan, “Sudah
suratan takdir bahwa Sukarno menyusun pergerakan yang menyebabkan dia dipenjarakan, lalu dibuang
dan kemudian dia akan membebaskan kita semua. Sukarno tidak lagi kepunjaan orang tuanya. Karno
sudah menjadi kepunyaan rakyat Indonesia. Kami mau tidak mau menyesuaikan diri dengan kenyataan
ini.”
Kami hanya diizinkan bertemu selama tiga menit. Aku cukup lama dibawa keluar sel untuk menjabat
tangan bapak dan mencium ibu. Kami merasa takut kalau pertemuan ini akan memisahkan kami untuk
selama‐lamanya, kami takut kalau perpisahan yang tergesa‐gesa ini adalah detik yang terakhir kami
dapat saling memandangi wajah satu sama lain.
Hari berikutnya, dengan roda‐roda yang menciut melalui tikungan, aku dilarikan ke pelabuhan dimana
orang telah berjejal‐jejal di pinggiran jalan untuk melambaikan ucapan selamat jalan dengan benderabendera
Merah‐Putih dari kertas yang mereka buat sendiri. Dengan didampingi dikiri kanan oleh dua
orang reserse, aku dibawa naik ke atas kapal barang dan ditahan di kamar kelas dua disebelah kandang
ternak.
Delapan hari kemudian kami sampai ke tempat tujuan: Pulau Bunga, pulau yang terpendil.

PEMBUANGAN
BAB XV: Pembuangan
ENDEH, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh
Gubernur Jendral sebagai tempat dimana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai
penduduk sebanjak 5.000 kepala. Keadaannya masih terbelakang. Mereka jadi nelayan. Petani kelapa.
Petani biasa.
Hingga sekarangpun kota itu masih ketinggalan, ia baru dapat dicapai dengan jip selama 8 jam perjalanan
dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui
hutan. Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah‐bungkah. Dan apabila matahari yang
menghanguskan memancar dengan terik, maka bungkah‐bungkah itu menjadi keras dan terjadilah
lobang dan aluran baru. Endeh dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja. Ia tidak
mempunyai telpon, tidak punya telegrap. Satu‐satunya hubungan yang ada dengan dunia luar dilakukan
dengan dua buah kapal pos yang keluar masuk sekali sebulan. Jadi, dua kali dalam sebulan kami
menerima surat‐surat dan surat kabar dari luar.
Di dalam kota Endeh terdapat sebuah kampung yang lebih kecil lagi, terdiri dari pondok‐pondok beratap
ilalang, bernama Ambugaga. Jalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga daerah rambahan
dimana terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi aku
membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah‐tengahnya
berbingkah ‐bingkah batu. Di sekeliling dan sebelah menyebelah rumah ini hanya terdapat kebun pisang,
kelapa dan jagung. Di seluruh pulau itu tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan ataupun macam
hiburan lain.
Dalam segala hal maka Endeh, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia.
“Kenapa, ya? Kenapa disini?” Inggit bertanya.
“Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat‐tempat mana rakyat kita diasingkan,
tidak akan lebih baik daripada ini,” keluhku dengan berat ketika kami memeriksa rumah yang gelap dan
kosong di malam hari kami sampai disana. “Di waktu Belanda mendapat akal untuk mengadakan
pembuangan, mula‐mula orang kita dibuang keluar Indonesia. Tapi, kemudian mereka menyadari, biar
kemanapun kita dieksternir, kita dapat menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Belanda akhirnya
memutuskan untuk mengasingkan para pemberontak di dalam negeri saja, dimana mereka langsung
dapat mengawasi kita.
“Kenapa dipilih Flores?” Inggit mengulangi ketika membuka keranjang buku, satu‐satunya kekayaan
pribadiku yang kami bawa. “Kebanyakan para pemimpin diasingkan ke Digul.” ,,Itu makanya,”
kuterangkan sambil mengeluarkan buku‐buku sekolah yang kubawa, sehingga setiap pagi dan malam aku
dapat mengajar Ratna Djuami di rumah. “Di Digul ada 2.600 orang yang dibuang. Tentu aku akan
memperoleh kehidupan yang enak di sana. Dapatkah kau bayangkan, apa yang akan diperbuat Sukarno
dengan 2.600 prajurit yang sudah disiapkan itu? Aku akan merubah muka Negeri Belanda dari New
Guinea uang terpencil itu.” Inggit tidak pernah mengeluh. Sudah menjadi nasibnya dalam kehidupan ini
untuk memberiku ketenangan pikiran dan memberikan bantuan dengan kasih mesra, bukan menambah
persoalan. Akan tetapi aku juga dapat merasakan, bahwa dia susah. Bukan mengenai dirinya sendiri. Dia
susah mengenai diriku. Memang terasa lebih berat untuk memandang seseorang yang dicintai kena siksa
daripada mengalami sendiri siksaan itu. Sungguh pedih bagi seorang isteri untuk menyaksikan suaminya
direnggutkan dari kekuatan hidupnya, dari cita‐citanya, dari kegembiraan hidupnya, bahkan direnggutkan
sedikit dari kelaki‐lakiannya. Aku menjadi seekor burung elang yang telah dipotong sayapnya. Setiap kali
Inggit memandangiku, setiap kali itu pula setetes darah menitik dari uratnya.
Aku tidak pernah mengeluh tentang kesedihanku kepada Inggit. Kalau ada, kami jarang membicarakan
soal yang rumit dari hati ke hati. Sekalipun hatiku sendiri gelap dengan keputusasaan, namun aku
mencoba menggembirakan hatinya. Aku selalu memperlihatkan wajah yang baik, sehingga wajah itu
tidak menunjukkan apa yang sesungguhnya tergurat dalam hatiku.
Akh, saat yang sangat tidak menyenangkan bagiku. Kedua reserse yang mengantarku menyerahkanku
dari kapal seperti menyerahkan muatan ternak yang lain. Pada waktu kapal mereka mengangkat sauh,
kedua orang dengan siapa aku hanya boleh berbicara, di luar keluargaku, sudah pergi. Setiap orang
menyingkir daripadaku. Endeh kembali menjadi penjaraku, hanya lebih besar dari yang sudah‐sudah. Di
sini bukan saja aku tidak bisa mendapat kawan, akan tetapi aku malahan kehilangan satu orang yang turut
dengan kami. Mertuaku, Ibu Amsi yang baik dan tersayang itu meninggal di atas pangkuanku. Akulah
yang membawanya ke kuburan. Ia menderita sakit arterio‐sclerosis. Pada suatu malam ia pergi tidur. Esok
paginya ia tidak bangun‐bangun. Keesokan harinya tidak bangun. Di hari berikutnyapun tidak. Aku
menggoncang‐goncang badannya dengan keras, akan tetapi di pagi tanggal 12 Oktober 1935, setelah 5
hari dalam keadaan tidur, ia pergi dengan tenang dalam keadaan belum sadar.
Aku sangat lekat kepada orang tua ini. Di bulan‐bulan pertama yang sangat menyiksa, di tempat
pembuangan itu dikala batin kami dirobek‐robek tak kenal ampun setiap jam setiap detik, di waktu itu
tidak satupun perkataan yang tidak enak keluar antara mertuaku dan aku sendiri. Bagaimana kami dapat
tinggal bersama dengan rukun adalah karena kami orang baik‐baik. Aku juga sedikit, barangkali. Ibu Amsi
lebih sederhana lagi daripada anaknya. Ia tidak bisa tulis bada. Tapi ia seorang wanita besar. Aku
mendintainya setulus hati.
Dengan tanganku sendiri kubuat kuburannya. Aku sendiri membangun dinding kuburan itu dengan batu
tembok. Aku seorang diri mendari batu kali, memotong dan mengasahnya untuk batu nisan. Di
pekuburan kampung yang sederhana melalui jalanan sempit jauh di tengah hutan berkumpullah beberapa
gelintir manusia untuk memberikan penghormatannya yang terachir. Ini adalah kemalanganku yang
pertama. Dan, terasa berat.
Satu‐satunya manusia yang tinggal, dengan siapa aku dapat berbicara, adalah Inggit. Di suatu malam
ketika kami duduk berdua di beranda kecil, hanya berdua —seperti biasanya— Inggit mengalihkan
pandangannya sebentar dari jahitannya untuk mengungkapkan, “Tidak mungkin orang‐orang di sini tidak
mengenalmu. Mereka tentu sudah membaca tentang dirimu atau melihat gambarmu di surat kabar.
Sudah pasti banyak orang sini yang sudah mengenalmu. Sudah pasti banyak.”
“Mereka tahu siapa aku, baiklah. Kalau sekiranya mereka tidak pernah mendengar tentang diriku, tentu
Belanda tidak menjalankan tindakan pengamanan untuk merahasiakan kedatangan kita. Rakyat tidak
tahu sama sekali kedatangan Sukarno. Bahkan pegawai pemerintahanpun tidak tahu kapan kita sampai
disini.”
Aku mengerti kemana tujuan Inggit. Ia ingin memperoleh jawaban, mengapa setiap orang menyingkir,
seperti aku ini hama penyakit. “Orang‐orang yang terkemuka disini, tidak mengacuhkanku, bukan karena
tidak kenal. Akan tetapi justru karena mereka mengenalku,” kataku. “Orang‐orang terpandang di sini
terdiri dari orang Belanda, amtenar‐amtenar bangsa kita dan orang‐orang yang memerintah seperti Raja.
Mereka sama sekali tidak mau tahu denganku. Bahkan mereka tidak mau terlihat bersama‐sama
denganku. Aku tentu akan menyebabkan mereka kehilangan kedudukannya.”
“Lagi pula, negeri ini terlalu kecil,” bisiknya.
“Yah,” aku mengangguk dengan lesu, “negeri ini terlalu kecil.?”
Kami keduanya membisu, akan tetapi bau dari pokok persoalan itu masih saja mengapung dengan berat
dalam ruangan itu, seperti bau wangi‐wangian yang murah. Akulah pertama memecah kesunyian yang
pekat itu.
“Orang tinggi‐tinggi ini adalah alat. Boneka Belanda. Mereka tidak mau mendekat, kecuali untuk
memata‐mataiku. Bahkan kaum keluarganya dilarang untuk berkenalan denganku. Dan mereka tidak
mau melanggarnya, karena takut masuk daftar hitam Belanda. Setiap orang merasa takut.”
Inggit menambahkan, “Kudengar adik Raja tertarik pada pergerakan kebangsaan, sampai Belanda
mengusirnya dari sekolah di Surabaya. Kemudian dia dipulangkan kemari, sehingga tidak dapat lagi
mempelajari politik.”
“Itulah yang kumaksud,” kataku. “Mana mungkin ia jadi kawanku. Dia berada disini karena alasan yang
sama denganku — sebagai hukuman.”
“Tapi rakyat biasapun menyingkir dari kita,” Inggit menegaskan dengan suara kecil.
“Aku tahu.”
“Jadi bukan karena kita tidak mau kenal.”
“Tidak. Bukan karena kita tidak mau kenal.”
Inggit sedang menjahit baju kebaya untuk dia sendiri. Sambil meletakkan jahitannya ia memandang
kepadaku.
“Coba,” aku merenung dengan keras, “di Sukamiskin badanku dikurung. Di Flores semangatku berada
dalam kurungan. Disini aku diasingkan dari masyarakat, diasingkan dari orang‐orang yang dapat
mempersoalkan tugas hidupku. Orang disini yang mengerti, takut untuk berbicara. Mereka yang mau
berbicara, tidak mengerti. Inilah maksud yang terutama dari pembuangan ini. Baiklah! Kalau begitu
keadaannya, aku akan bekerja tanpa bantuan orang‐orang terpelajar yang tolol ini. Aku akan mendekati
rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat‐rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal
politik. Rakyat‐rakyat yang tak dapat menulis dan yang merasa dirinya tidak kehilangan apa‐apa. Dengan
begini, setidak‐tidaknya ada orang dengan siapa aku berbicara.”
Aku membentuk masyarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, bujang yang tidak bekerdja, inilah
kawan‐kawanku. Pertama aku berkenalan dengan saudara Kota, seorang nelayan. Kukatakan padanya
bahwa tidak ada larangan berkunjung ke rumahku. Dia datang ke rumahku. Kemudian dia membawa
Darham tukang jahit. Setelah itu aku datang ke tempat mereka. Dan begitulah mulanya.
Aku mendekat kepada rakyat jelata, karena aku melihat diriku sendiri di dalam orang‐orang yang melarat
ini. Seperti di pagi yang berhujan dalam bulan Mei aku nongkrong seorang diri di sudut beranda yang kecil
itu. Ah, aku rnerasa kasihan terhadap diriku! Aku merindukan pulau Jawa, aku merindukan kawan‐kawan
untuk mencintaiku. Merindukan hidup dan segala sesuatu yang dirampas dariku. Selagi duduk di sana aku
melihat seorang lelaki lewat. Seorang diri. Dan basah‐kuyup. Tiba‐tiba ia menggigil. Kukira belas kasihku
meliputi seluruh bangsa manusia, karena melihat orang itu menggigil akupun menggigil. Sungguhpun
badanku kering, aku serta‐merta merasa basah kuyup. Tentu, perasaan ini dapat diterangkan dengan
pertimbangan akal, akan tetapi ia lebih daripada itu. Aku sangat perasa terhadap orang yang miskin — aik
dia miskin harta maupun miskin dalam jiwanya.
Di samping kekosongan kerda, kesepian dan ketiadaan kawan aku juga menderita suasana tertekan yang
hebat sekali. Flores adalah puncak penganiayaan pada hari‐hari pertama itu. Aku memerlukan suatu
pendorong sebelum aku membunuh semangatku sendiri. Itulah sebabnya aku mulai menulis cerita
sandiwara. Dari 1934 sampai 1938 dapat kuselesaikan 12 buah.
Karyaku yang pertama dijiwai oleh Frankenstein, bernama “Dr. Setan”. Peran utama adalah seorang
tokoh Boris Karloff Indonesia yang menghidupkan mayat dengan memindahkan hati dari orang yang
hidup. Seperti semua karyaku yang lain, cerita ini membawakan suatu moral. Pesan yang tersembunyi di
dalamnya adalah, bahwa tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi.
Aku menyusun suatu perkumpulan Sandiwara Kelimutu, dinamai menurut danau yang mempunyai air tiga
warna di Pulau Bunga. Aku menjadi direkturnya. Setiap cerita dilatih malam hari selama dua minggu di
bawah pohon kayu, diterangi oleh sinar bulan. Kami hanya mempunyai satu naskah, karena itu aku
membacakan setiap peran dan para pemainku yang bermain secara sukarela mengingatnya dengan
mengulang‐ulang. Kalau orang dalam keadaan kecewa, betapapun besarnya rintangan akan dapat
disingkirkannya. Inilah satu‐satunya napas kehidupanku. Aku harus menjaganya supaya ia hidup terus.
Kalau salah seorang tidak dapat memainkan perannya dengan baik, aku melatihnya sampai jauh malam.
Aku malahan berbaring berkali‐kali di lantai untuk memberi contoh kepada Ali Pambe, seorang montir
mobil, bagaimana memerankan dengan baik seseorang yang mati.
Untuk melatih anggota‐anggota sehingga mencapai hasil baik sungguh banyak kesukaran yang harus
ditempuh. Pada suatu kali, Ali Pambe memerankan juru bahasa dari bahasa Endeh ke bahasa Indonesia.
Tetapi Ali buta huruf. lidah Indonesianya masih kaku. Karena itu aku harus mengajarnya dulu berbahasa
Indonesia sebelum aku dapat mengajarkan perannya.
Perkumpulan semua terdiri dari laki‐laki oleh karena kaum wanita takut dituduh terlalu berani. Cukup
aneh, di Pulau Bunga yang terbelakang dan masih kuno itu ada suatu daerah — bernama Keo — dimana
sampai sekarang anak‐anak gadis diizinkan mengadakan hubungan jasmaniah dengan laki‐laki. Dan yang
paling baik diantara mereka — paling pandai dalam memuaskan laki‐laki — itulah jang paling diidamkan
untuk perkawinan. Dalam umur dua‐puluhan gadis‐gadis ini adalah yang kuberi istilah “jenis Afrika yang
belum beradab, liar dan tidak dapat dijinakkan”. Bagiku perempuan dapat disamakan dengan benua.
Dalam umur tigapuluh dia seperti Asia — berdarah panas dan menangkap. Dalam usia 40 tahun ia adalah
Amerika — unggul dan jagoan. Sampai pada umur limapuluh tahun ia menyamai Eropa— layu dan
berjatuhan.
Lepas dari persamaan secara ilmu bumi yang demikian, tak seorangpun wanita Pulau Bunga mau
memegang peranan di atas panggung. bahkan juga tidak nenek‐nenek yang sudah berumur 40 tahun
yang mengingatkanku pada benua Australia —justru terlalu jauh dari jalan yang ditempuh! Alasan yang
pertama, kebiasaan wanita Islam selalu berada dalam bayangan. Yang kedua, wanita ini takut kepadaku.
Dari itu, aku memecahkan persoalan ini dengan hampir tidak menulis peran wanita. Dan kalaupun ada, ia
dimainkan oleh laki‐laki.
Aku sendiri menyewa sebuah gudang dari gereja dan menyulapnya menjadi gedung kesenian. Aku sendiri
yang menjual karcisnya. Setiap pertunjukan berlangsung selama tiga hari dan kami bermain di hadapan
500 penonton. Ini adalah suatu kejadian besar dalam masyarakat di sana. Orang‐orang Belanda juga
membeli karcis. Hasilnya dipergunakan untuk menutupi pengeluaran kami.
Aku membuat pakaian untuk keperluan ini. Aku menggambar dinding belakang panggung darurat,
sehingga ia terlihat seperti hutan atau istana atau apa saja yang hendak kami lukiskan. Aku membuat
pita‐pita reklame dari kertas dan menggantungkannya di tempat‐tempat umum seperti pasar malam. Aku
membuat alat dan perabot kami. Aku melatih dua orang laki‐laki dan dua wanita untuk menyanyikan
keroncong— lagu‐lagu gembira — yang diperdengarkan di dalam waktu istirahat. Dan aku bersyukur atas
usaha ini semua. Ia memberikan keasyikan padaku. Ia mengisi detik‐detik yang suram ini.
Setelah tiap kali pertunjukan, kubawa para pemainku makan kerumah. Ya, aku bekerja keras sekali untuk
menyelenggarakan sandiwara ini, dan untuk menyenangkan hati pemain‐pemainnya. Ini besar artinya
bagiku.
Tidak ada yang dapat menghalang‐halangiku bertindak. Aku menjadi seorang penyelundup terkenal dan
berpengalaman dan aku juga berhasil memperoleh kelambu untuk kami. Dalam perusahaan pelajaran
antar pulau awak kapalnya adalah orang‐orang Indonesia dan semua mereka menjadi simpatisan. Ketika
terdengar bahwa Bung Karno memerlukan kelambu, seorang kelasi sedara pribadi menyelundupkan satu
untukku dalam pelajaran selanjutnya. Tidak ada kesukaran dalam hal ini.
Di suatu pagi yang sayu turunlah dari sebuah kapal yang akan menuju Surabaya seorang stokar berbadan
tegap lagi kekar. Ia datang kepadaku di dermaga yang penuh‐sesak, seperti biasanya kalau kapal datang.
Dengan diam‐diam dia membisikkan kepadaku, “Bung, katakanlah kepada kami, kami akan
menyelundupkan Bung Karno. Tidak ada orang yang akan tahu.”
“Terimakasih, saudara. Lebih baik jangan,” aku memandang kepadanya dengan perasaan terirnakasih.
“Memang seringkali terbuka jalan seperti yang saudara sarankan itu. Dan sering datang pikiran
menggoda, untak lari sedara diam‐diam dan kembaili bekerja bagi rakyat kita.”
,,Kalau begitu mengapa tidak dicoba saja?” ia mendesak. “Kami akan sembunyikan Bung Karno dan
membawa Bung ke tempat kawan‐kawan. Kami damin selamat.”
“Kalau saya lari, ini hanya saya lakukan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Begitu saya mulai bekerja,
saya akan ditangkap lagi dan dibuang kembali. Jadi tidak ada gunanya.”
“Apakah Bung Karno tidak bisa bekerja secara rahasia?”
“Itu bukan caranya Bung Karno. Nilaiku adalah sebagai lambang di atas. Dengan tetap tinggal disini rakyat
Marhaen melihat, bagaimana pemimpinnya juga menderita untuk cita‐cita. Saya telah memikirkan
bujukan hatiku untuk lari dan mempertimbangkan buruk baiknya. Nampaknya lebih baik bagi Sukarno
untuk tetap menjadi lambang daripada pengorbanan menuju cita‐cita.”
“Sekiranya di suatu saat berubah pendirian Bung Karno, tak usah ragu. Sampaikanlah kepada kami.”
Aku merangkul kawanku itu ke dadaku dan tanpa ragu‐ragu menciumnya pada kedua belah pipinya.
“Terima kasih, di satu masa kita semua akan merdeka, begitupun saya.”
“Bung betul‐betul yakin?” stokar itu bertanya.
“Jawabanku khas menurut cara Jawa. Aku menjawab dengan kiasan. “Kalau ada asap di belakang kapal
ini, tentu ada apinya. Keyakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal. ‘llmul yakin. Kalau saya berjalan
di belakang kapal ini dan melihat api itu dengan mata kepala sendiri, maka keyakinanku berdasarkan
penglihatan.’AinuIyakin. Akan tetapi mungkin penglihatan saya salah. Kalau saya memasukkan tangan
saya ke dalam api itu dan tangan saya hangus, maka ini adalah keyakinan yang sungguh‐sungguh
berdasarkan kebenaran yang tak dapat dibantah lagi. Maka dengan Hakku’lyakin inilah saya memahami,
bahwa kita akan merdeka.
“Belanda berbaris berdampingan dengan keju dan mentega, sedang kita berbaris bersama‐sama dengan
mataharinya sejarah. Di satu hari, betapapun juga, kita akan menang. Dalam fajar itu, saudara, saya tidak
akan lari dengan diam‐diam, akan tetapi saya akan berpawai keluar dari sini dengan kepala yang tegak.”
Dikurangi dengan pajak, maka hasilku dalam pembuangan ini dari pemerintah kurang dari sepuluh dollar
seminggu. Kemari kami karenanya sering kosong. Karena itu aku mencari uang tambahan dengan
menjualkan bahan pakaian dari sebuah toko tekstil di Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada
setiap barang yang kujualkan. Dengan menjajakannya dari rumah ke rumah membawa contoh, aku
berkata, “Nyonya, harga saya lebih murah dari toko‐toko disini. Apa nyonya mau memesan sama saya?”
Kemudian kukirim pos wisel ke toko ini dan setelah selang boberapa kapal kain itu datang. Lamanya
sampai berbulan‐bulan, akan tetapi satu hal yang ada padaku, yaitu waktu. Apa perlunya aku cepatcepat?
Aku malahan mendapat bagian yang kecil dengan seorang pedagang sekutuku. Kami membuat
harga rahasia antara kami berdua. Berapa lebih yang dia peroleh itu menjadi bagiannya. Dengan jalan
begini dia mendapat keuntungan sedikit dan akupun memperoleh bagianku sedikit.
Hendaknya jangan ada diantara kawan‐kawanku di Jawa yang membanggakan diri, bahwa dia terus
menerus membantu kami dengan kiriman makanan dan pakaian selama masa ini. Ya, mungkin ada satu
dua, akan tetapi jarang sekali. Kalaupun ada kiriman yang datang, aku segera meneruskan sebagian besar
dari isinya kepada kawan‐kawan yang tidak beruntung di Digul. Ini kulakukan juga kalau aku memperoleh
sisa uang boberapa rupiah.
Sekalipun kami hanya punya uang sedikit, kami berhasil mencukupi diri sendiri. Aku orang yang
sederhana. Kebutuhanku sederhana. Misalnya, aku tidak minum susu atau minuman lain yang datang dari
luar negeri, pun tidak makan daging dari binatang berkaki empat. Makananku terdiri dari nasi, sayur,
buah‐buahan, terkadang ayam atau telor dan ikan asin kering sedikit. Sayuran diambil dari yang kutanam
di pekarangan samping rumah. Ikan kudapat dari kawan‐kawanku para nelayan.
Di Endeh aku dibatasi bergerak, juga untuk menikmati kesenangan yang kecil‐kecil. Aku dibolehkan pergi
ke tepi pantai untuk menyaksikan kawan‐kawanku para nelayan, akan tetapi tidak boleh naik perahu
untuk berbicara dengan mereka. Naik perahu dapat berarti melarikan diri. Aku juga boleh berkeliaran
dalam batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkap saja, aku jadi sasaran hakuman.
Di kota ini ada delapan orang polisi, jadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu. Di
samping itu, hanya mereka yang memakai sepeda hitam dengan merek “Hima”. Yang terlalu jelas adalah
bahwa mereka berada pada jarak yang tetap waktu mengiringkanku. Kalau seorang Belanda yang
misterius selalu berada pada jarak 60 meter di belakangku, maka tahulah aku.
Aku teringat di suatu sore ketika seorang “preman” membuntutiku di jalan raya jang juga dijalani oleh
angsa, kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah‐rumah panggung dan menuju ke sungai.
Jalan menuju ke situ pendek, jadi dia lalu mendayung mengembus‐ngembus hampir bahu‐membahu
denganku. Pada waktu dia berhenti di sana untuk menjalankan mata‐mata, dua ekor anjing melompat
padanya sambil menyalak dan menggeram‐geram. Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini karena
kagetnya memanjat ke atas sepedanya dan berdiri di atas tempat duduk dengan kedua belah tangannya
berpegang erat ke pohon. Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor di waktu itu, namun
pemandangan ini lebih menyegarkan badanku daripada air sungai yang sejuk.
Setelah itu aku memprotes kepada kepalanya, “Saya tidak peduli apakah anak buah tuan ‘secara rahasia’
membayangi saya, akan tetapi saya tidak ingin dia terlalu dekat.”
Orang itu menyampaikan penjesalannya. “Ma’af, tuan Sukarno. Kami menginstruksikan kepadanya untuk
tetap berada dalam jarak 60 meter.”
Aku berada dalam pengawasan tetap. Di suatu sore aku mengajar sekelompok pemuda menyanyikan lagu
kebangsaan “Indonesia Raya”. Karena ia terlarang, untuk keamanan aku memilih suatu tempat di luar
rumahku. Bukan karena aku akan kehilangan sesuatu, tidak, aku ingin melindungi anak‐anak ini. Masih
saja ada orang yang melaporkan kejahatan yang sungguh‐sungguh ini.
Saudara dari Raja lalu diperintahkan untuk memperoleh kepastian, kejahatan apa yang telah dilakukan
oleh Sukarno dengan tindakan pengkhianatannya merusak anak‐anak di bawah umur. Dengan patuh dia
menyuarakan akibat psikologis terhadap penduduk preman. Jawabnya adalah, “Tidak ada sama sekali.
Mereka tidak dibakar dengan semangat. Mereka bahkan tidak tahu apa arti ‘Indonesia Raya’.”
Sekalipun demikian, aku dipanggil ke kantor polisi, diperiksa dengan keras dan didenda F 5,‐—yaitu dua
dollar.
Pulau Bunga akan tetap kekal melekat dalam kenanganku, karena berbagai alasan. Di sinilah aku
mendengar, bahwa Pak Tjokro telah pergi mendahului kami. Sebelum ia pergi, ketika masih dalam sakit
keras, aku menulis surat kepadanya, “Bapak, sebagai patriot besar yang menghimpun rakyat kita dalam
perjuangan untuk kemerdekaan, tidak akan kami lupakan untuk selama‐lamanya. Saya mendo’akan agar
bapak segera sembuh kembali.” Berminggu‐minggu kemudian, ketika kapal datang membawa surat
kabar kami, disampaikanlah suatu kisah tentang bagaimana Pak Tjokro sebelum menghembuskan napas
memperlihatkan surat Sukarno kepada setiap orang. Aku menangis mengenang kawanku yang tercinta
itu.
Juga terjadi di Pulau Bunga, aku membersihkan diri dari segala tahayul. Selamanya aku percaya pada hari
baik dan hari nahas, aku percaya pada jimat yang membawa rahmat dan jimat yang mempunyai pengaruh
jahat. Di Bandung ada orang jang memberiku sebentuk cincin pakai batu. Dalam batu itu terlihat lobang
berisi cairan hitarn yang tidak pernah tenggelam. Seperti biji kecil yang mengapung dan selalu berada di
atas. Seorang pengagum memberikan benda yang aneh ini kepadaku dengan ucapan, “Sukarno, semoga
engkau tetap berada di atas seperti biji yang mengapung ini.” Ia dinodai oleh kekuatan guna‐guna, tapi
aku mempercayainya. Di waktu itu aku mempercayai apa saja, karena aku memerlukan segala kekuatan
yang bisa kuperoleh.
“Jangan lupa, Sukarno,” katanya, “Batu ini bukan sembarang batu. Dia membawa untung.”
Baiklah, aku percaya. Tidak lama setelah itu aku dibuang ke Pulau Bunga. Aku tidak begitu percaya lagi
kepadanya. Demikianlah, ketika kuyakinkan pada diriku sendiri, kepercayaan yang kegila‐gilaan ini harus
dihentikan. Dan kukatakan pada diriku, “Engkau sudah melihat, penyakit tahayul yang jahat, akan tetapi
mengapa engkau tidak pernah makan di piring retak, oleh karena engkau percaya bahwa bencana akan
menimpamu kalau engkau melakukannya?”
Harus kuakui bahwa ini benar. Suatu hari aku sengaja minta piring retak. Aku gemetar sedikit karena
pikiran sudah cukup ruwet tanpa menambah keruwetan itu dengan pelanggaran kepercayaan yang kuat
ini.
Akan tetapi kuletakkan juga piring itu diatas meja dan memandangnya. Kemudian aku berpidato kepada
piring yang ganjil ini yang begitu berkuasa terhadap jiwaku. Kataku, “Hei engkau …. engkau barang yang
mati, tidak bernyawa dan dungu. Engkau tidak punya kuasa untuk menentukan nasibku. Kutantang kau.
Aku bebas darimu. Sekarang aku makan dari dalammu.”
Beginilah caranya aku mengatasi tiap‐tiap rasa takut yang mengganggu pikiranku. Aku hadapi rasa takut
ini dengan tenang dan sejak itu tidak takut lagi.
Aaaah, masih saja batu itu ada padaku. Aku sangat ingin mempunyai keberanian untuk melepaskan
pembawa untung besar ini. Selagi berpikir keras tentang batu ini, kebetulan uang sedang tidak ada. Sudah
menjadi sejarah dari Sukarno bahwa ia tak pernah punya uang, sedangkan ini adalah harta yang
senantiasa diperlukannya. Sampai kini keadaannya sama saja. Keadaanku sangat melarat ketika aku
berkenalan dengan seorang saudagar kopra yang makmur di kota itu. Aku memutuskan untuk menjual
pembawa untung yang besar ini kepadanya.
Dan sebagai penjual yang pandai kutawarkan batu itu dengan perkataan yang muluk‐muluk.
“Coba lihat,” kataku mengadu untung, “Saya punya barang yang susah didapat. Orang akan selalu
beruntung besar dengan batu seperti ini, karena batu begini hanya ada satu‐satunja. Tidak ada duanya di
dunia.” Kebetulan ucapanku ini memang benar dan aku tidak rnembohong dan kebetulan pula aku sangat
memerlukan uang dan ingin memperoleh sebanyak mungkin dari dia.
Kemudian aku menekan gas yang terakhir, “Dengarlah, begini. Saudara saya lihat adalah orang yang
mempunyai sifat‐sifat baik, maka dari itu saya menawarkan suatu kesempatan yang sangat istimewa.
Kalau saudara menyerahkan seratus limapuluh rupiah, yang tidak berarti bagi saudara, saya akan berikan
batu ini.”
“Setuju,” teriaknya dan segera mengadakan pertukaran. Caraku melakukan jual beli begitu berhasil,
sehingga ia betul‐betul takut aku akan merubah pendirian lagi.
Dan dengan begitu berpindah tanganlah hartaku yang terahir itu, benda pembawa untung dan terjamin
kekuatannya. Tidakkah aku harus berterima kasih kepada Pulau Bunga, karena aku dibebaskan dari
belenggu tahayul? .
Di Endeh yang terpencil dan membosankan itu banyak waktuku terbuang untuk berpikir. Di depan
rumahku tumbuh sebatang pohon keluih. Jam demi jam aku lalu duduk bersandar di situ, berharap dan
berkehendak. Dibawah dahan‐dahannya aku mendo’a dan memikirkan akan suatu hari ….. suatu hari …..
Ia adalah perasaan yang sama seperti yang menguasai Mac Arthur dikemudian hari. Dengan
menggetarnya setiap jaringan otot dalam seluruh tubuhku, aku menggetarkan keyakinanku, bahwa
bagaimanapun juga — di suatu tempat— disuatu hari — aku akan kembali. Hanya patriotisme yang
berkobar‐kobarlah dan yang masih tetap membakar panas dadaku di dalam, yang menyebabkan aku
terus hidup.
Inggit selamanya menyakinkan padaku, bahwa dia merasakan di dalam tulang‐tulangnya aku di satu hari
akan menjadi orang yang memegang peranan. Akan tetapi aku tidak pernah mempersoalkannya. Aku
tidak pernah berbicara tentang masa depan, aku hanya memikirkannya. Pada setiap jam aku dalam
keadaan bangun aku memikirkannya.
Kukira, selama tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda dunia luar hanya satu kali mendengar
tentang negeri kami. Di tahun 1883 Rakata, gunung kami yang terkenal itu, meletus. Ia memuntahkan
batu, kerikil dan abu menempuh orbit yang mengelilingi bumi selama bertahun‐tahun. Lama setelah itu,
ketika langit di Eropa menjadi merah, orang menunjuk kepada gunung Rakata. Ini sama halnya denganku.
Aku telah membikin ribut‐ribut dan sekarang aku disuruh diam.
Ketika sekawanan kucing berkandang dekat pohon keluih itu dan karena tempat itu tidak lagi tenang, aku
lalu berjalan‐jalan ke dalam hutan. Aku mencari tempat yang tenang dimana angin mendesirkan daundaunan
bagai bisikan, karena bisikan Tuhan ini terdengar seperti nyanyian nina bobok di telingaku. Ialah
nyanyian dari pulau Jawaku ang tercinta.
Tempat pelarian menyendiri yang kugemari adalah di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut.
Sukun, sejenis buah‐buahan seperti avocado, adalah semacam buah yang kalau dikupas, diiris panjangpanjang
seperti ketimun, rasanya menyerupai ubi. Aku lalu duduk dan memandang pohon itu. Dan aku
melihat pekerjaan daripada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta
dalam tunas yang berkecambah dikulit kayu yang keabu‐abuan itu. Aku melihat Wishnu Yang Maha
Pelindung dalam buah yang lonjong berwarna hijau. Aku melihat Shiwa Yang Maha Perusak dalam dahandahan
mati yang gugur dari batangnya yang besar. Dan aku merasakan jaringan‐jaringan yang sudah tua
dalam badanku menjadi rontok dan mati di dalam.
Kemudian aku dihinggapi oleh penyakit kepala dan merasa tidak sehat sama sekali. Tapi setiap pagi aku
masih merangkak keluar tempat tidur untuk duduk‐duduk dibawah pohon sukun jauh dari rumah. Pohon
sukun itu berdiri di atas sebuah bukit kecil menghadapi teluk. Disana, dengan pemandangan ke laut lepas
tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung
dan dimana sesekali seekor kambing yang sedang bertualang lewat sendirian, disana itulah aku duduk
melamun jam demi jam.
Terkadang terasa udara yang dingin di tepi pantai laut itu dan aku kedinginan. Seringkali aku merasa
dingin, sedang keadaan udara tidak dingin sama sekali. Tapi masih saja aku duduk di sana. Suatu
kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari.
Aku memandangi samudra bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul pantai
dengan pukulan berirama. Dan kupikir‐pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti‐hentinya. Pasang naik
dan pasang surut, namun ia terus menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami,
kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah
hasil ciptaan Tuhan, satu‐satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu ….. aku
harus tahu sekarang …. bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah
airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada.
Di suatu hari aku tidak mempunyai kekuatan untuk duduk di bawah pohon itu seperti biasanya. Aku tak
dapat bangun dari tempat‐tidur.
Yaitu di hari dokter menyampaikan, bahwa aku mendekati kematianku karena menderita malaria.

BENGKULU
BAB XVI: Bengkulu
KETIKA terdengar kabar di Jakarta, bahwa Sukarno dalam keadaan sakit keras, Thamrin lalu mengajukan
protes dalam Dewan Rakyat. Katanya, “Pemerintah harus bertanggung jawab atas keselamatan diri
Sukarno. Dia harus dipindahkan ke negeri yang lebih besar dan lebih sehat, dan keadaannya hendaklah
mendapat perhatian yang lebih besar.”
“Kita harus mencari lebih dulu tempat lain di mana rakyatnya tidak berpolitik,” jawab ketua berlindung.
“Ya, ya, dan yang juga primitif dan terbelakang, sehingga ia tidak membangkitkan tantangan. Ya, saya
mengetahui semua itu. Akan tetapi saya memperingatkan kepada tuan sekarang, andaikata Sukarno
mati, maka Indonesia dan seluruh dunia akan menuding kepada tuan sebagai orang yang bertanggung
jawab atas pembunuhan itu. Pulau Bunga adalah sarang malaria. Sukarno sakit payah. Hidup matinya
sekarang terletak di tangan pemerintah Belanda. Dia harus dipindahkan. Dan dengan secepat mungkin.”
Den Haag serta‐merta mengambil tindakan. Hal ini kuketahui di suatu malam seminggu kemudian. Aku
sedang berbaring dengan tenang di rumah ketika Darham, tukang jahit, tiba‐tiba masuk dengan cepat. la
terengah‐engah karena berlari.
“Saya baru dari toko De Leeuw”, katanya dengan napas turun‐naik.
“Toko rempah‐rempah itu dari sini ada satu kilometer jauhnya. Kau berlari sejauh itu ?” tanyaku.
“Ya,” katanya masih terengah. “Bung Karno tentu tahu, toko itu kepunyaan Lie Siang Tek saudagar kopra
yang sangat kaya.”
“Ya, ya,” jawabku hendak mengetahui persoalannya, “tapi apa hubungannya sampai engkau berlari‐lari
kesini?”
“Orangnya cukup kaya untuk dapat memiliki radio,” Darham melanjutkan tanpa menghiraukan
ketidaksabaranku.
“Tadi jam setengah delapan, sewaktu berbelanja, saya mendengar berita radio yang menyatakan bahwa
Ir. Sukarno akan dipindahkan ke tempat lain.”
Kudengarkan berita itu dengan tenang. Sesungguhnya aku terdiam sebentar oleh karena bersyukur
kepada Tuhan. Kemudian kutanyakan dengan segala ketenangan hati, “Kemana katanya?”
“Bengkulu.”
“Di Sumatera Selatan ?”
“Ya.”
“Apakah disebutkan kapan?”
“Tidak, hanya itu yang diumumkan.”
Ini terjadi di bulan Februari 1938. Sudah hampir lima tahun aku tinggal di Pulau Bunga.
Di saat kami meninggalkan Endeh banyak orang datang untuk melepasku. Ada yang datang untuk
mengucapkan selamat jalan. Ada lagi yang mendo’akanku yang tidak baik. Yang lain lagi hanya sekedar
untuk melihat‐lihat saja. Beberapa diantaranya malahan meminta untuk bisa ikut. Salah seorang dari
mereka adalah pelayan kami. Selama dalam perjalanan aku diasingkan. Riwu dengan tenang tidur di
lantai dekat tempat tidurku dan selalu berada di situ seperti seekor anjing yang memperlihatkan
kesetiaannya. Yang seorang lagi adalah Darham yang tidak mau ketinggalan. Dia membuatkan kemeja
dan sepasang piyama berwarna kuning gading sebagai hadiah perpisahan, tapi kemudian diapun berlayar
bersama‐sama dengan kami.
Belanda berusaha sebaik‐baiknya mengelabui saat kedatangan kami, karena takut rakyat akan datang
beramai‐ramai. Dalam siaran radio diberitakan, bahwa kedatangan kami diharapkan jam empat sore,
sedangkan di pagi hari itu sesungguhnya kami sudah sampai. Surabaya, pelabuhan yang biasa ramai,
masih sepi seperti di kesunyian malam ketika kapal kami menurunkan sauh. Polisi menutup daerah
cerocok, sehingga rakyat tidak dibolehkan berada di daerah sekitar itu. Ketika aku memijakkan kaki ke
anak tangga yang paling bawah dan mengisi penuh dadaku dengan helaan napas panjang yang pertama
dari negeri kelahiranku yang tercinta, pintu dari kendaraan yang telah menunggu terbuka dan aku
dimasukkan ke dalam. Aku dilarikan dengan keretaapi malam menuju Merak, negeri yang paling ujung di
Jawa Barat. Di sana, dengan secara cepat dan diam‐diam, aku ditolakkan ke atas kapal dagang menuju
Bengkulu.
Bengkulu adalah negeri yang bergunung‐gunung dilingkungi oleh Bukit Barisan dan merupakan kota
pedagang kecil dan pemilik perkebunan kecil. Di samping kembang raksasanya, Raflesia Arnoldi yang
lebarnya sampai tiga kaki, negeri ini tidak mempunyai arti penting. Pun tidak dalam hal persahabatan.
Daerah yang merupakan benteng Islam itu masih sangat kolot. Wanitanya menutupi badannya dengan
rapi. Mereka jarang menemani suaminya. Pada waktu aku pertama menghadiri pertemuan kekeluargaan,
aku bertanya, “Mengapa dipasang tabir untuk memisahkan perempuan dari laki‐laki?” Tidak seorang juga
yang menjawab, karena itu aku menyingkirkan penghalang itu. Tidak lama kemudian sebuah tabir
memisahkanku dari penduduk kota itu.
Mesjid kami keadaannya kotor, kolot dan tua. Aku kemudian membuat rencana sebuah mesjid dengan
tiang‐tiang yang cantik, dengan ukiran timbul sederhana dan pagar tembok putih yang tidak ruwet dan
kubujuk mereka untuk mendirikannya. Orang tua‐tua di kota itu tidak suka kepada orang yang
menginginkan perubahan. Keluarlah ucapan‐ucapan yang tidak enak diantara kami dan pada permulaan
aku membuat musuh. Hal ini terasa olehku sangat pedih. Terutama karena aku begitu haus akan kawan.
Polisi keamanan tetap mengawasi rumahku siang malam. Setiap tamu dicatat namanya, esok harinya
dipanggil menghadap untuk ditanyai, kemudian dibayangi oleh reserse. Sungguh diperlukan suatu
keberanian untuk dapat memperlihatkan keramahan pada Sukarno. Kawanku yang satu‐satunya adalah
seorang kepala sekolah rakyat yang seringkali datang meskipun tahu bahwa ia ditandai oleh
Pemerintah,— dan membawa seorang anak gadis cilik yang selalu kupeluk di atas pangkuanku.
Aku tak pernah melupakan keramahannya ini. Pada waktu aku sudah menjadi Presiden, kepadanya
kutanyakan, “Apa yang dapat saya lakukan untuk saudara? Katakanlah keinginan saudara.” Temanku
sedang mendekati ajalnya, tapi jawabnya hanya, “Tolonglah keluarga saya kalau saya pergi. Lindungilah
anak gadis saya.” Pesannya ini kupenuhi sebaik‐baiknya. Aku bahkan mencarikan suami buat anaknya.
Banyak bayi yang dulu pernah kutimang di atas pangkuanku sekarang sudah menjadi wanita‐wanita
cantik dan kemudian orang tuanya datang kepadaku memohon, “Tolonglah, Pak, tolong pilihkan jodoh
buat anak saya.” Aku telah mencarikan isteri Hatta untuknya. Aku mencarikan isteri kawanku Rooseno
untuknya. Sekarang aku rnempunyai daftar terdiri dari anak gadis seperti itu. Dan aku adalah satusatunya
Kepala Negara yang juga menjadi calo dalam mengatur perkawinan, kukira.
Kebetulan dalam masa‐masa itu perkawinanku sendiripun perlu diatur kembali. Kemungkinan disebabkan
oleh cara hidup orang Indonesia yang merasa tidak sernpurna kalau tidak memperoleh keturunan dari
perkawinannya. Malahan kebanyakan dari orang Indonesia yang beristeri satu, anaknya segerobak. Setiap
tahun jumlah jiwa kami bertambah dengan dua juta lebih. Barangkali tidak ada hal lain yang dapat
diperbuat oleh rakyat kami yang miskin. Barangkali juga karena kami adalah bangsa yang bernafsu besar
dan berdarah panas, dan mengisi malam‐rnalam kami yang panas itu dengan berkasih‐kasihan. Pada
suatu kali Djendral Romulo menyatakan, “Saya kira dari seluruh bangsa Asia kami orang Filipinalah
bangsa yang paling bagus.” jawabku, “Mungkin juga, akan tetapi diantaranya orang Indonesialah yang
paling bernafsu !”
Di antara kami terdapat keluarga yang mempunjai 11, 13, 18 orang anak. Saudara perempuan bapakku
melahirkan 23. Setiap orang mempunyai anak. Setiap orang, kecuali Sukarno. Inggit tidak dapat
melahirkan, karena itu sebagian dari diriku dan sebagian dari hidupku tetap dalam keadaan kosong.
Kehendakku belum terpenuhi. Sudah hampir 20 tahun kami kawin. Namun masih belum memperoleh
seorang putera. Terasa olehku, bahwa selama ini sudah begitu banyak kebahagiaan yang telah dirampas
dari diriku … Mengapa keinginan inipun harus didjauhkan pula ?
Ketika perasaan yang menekan ini mulai memukul‐mukul dadaku selama 24 jam dalam sehari, kucoba
menghilangkannya dengan merapati anak‐anak pada setiap kesempatan yang kuperoleh. Di Pulau Bunga
aku mengambil dua orang anak angkat lagi —Sukarti, anak seorang pegawai berasal dari Jawa dan Jumir,
anak keluarga jauh Inggit, yang pada waktu sekarang sudah mempunyai enam orang anak. Di Bengkulu
aku memperlakukan anak orang lain seperti anakku sendiri. Tetangga kami, keluarga Soerjomihardjo,
mempunyai seorang anak laki‐laki berumur 10 tahun. Berjam‐jam lamanya aku menghabiskan waktu
bersama‐sama dengan Ahmad ini. Kalau ada anak Belanda meludahinya, akulah yang mengeringkan air
matanya dan menguatkan hatinya dengan kata‐kata, “Ahmad, negeri ini kita punyya. Disatu waktu kita
jadi tuan di negeri kita sendiri. Di satu waktu kita bisa berbuat menurut kemauan kita, bukan menurut
yang diperintahkan kepada kita. Jangan kuatir.”
Kemudian aku menjadi seorang pendidik. Ketua Muhammadiyah setempat, Pak Hassan Din, datang di
suatu pagi dengan tidak memberi tahu lebih dulu, seperti yang telah menjadi kebiasaan kami. “Disini,” ia
memulai, “Muhammadiyah menjelenggarakan sekolah rendah agama dan kami sedang kekurangan guru.
Selama di Endeh kami tahu Bung Karno telah mengadakan hubungan rapat dengan ‘Persatuan Islam’ di
Bandung dan kami dengar Bung Karno sepaham dengan Ahmad Hassan, guru yang cerdas itu. Apakah
Bung bersedia pula membantu kami sebagai guru ?”
“Saya menganggap permintaan ini sebagai rahmat,” jawabku.
“Tapi …… ingatlah …… jangan membicarakan soal politik.”
“Ah, tidak,” aku tersenyum menyjeringai, “hanya saya akan menyinggung tentang Nabi Besar Muhammad
yang selalu mengajarkan kecintaan terhadap tanah air.”
Dalam kelasku terdapat Fatmawati, puteri dari Pak Hassan Din. Fatma berarti “Teratai”.Wati”:
“kepunyaan”.
Rambutnya yang seperti sutera dibelah ditengah dan menjurai kebelakang berjalin dua. Fatmawati
berasal dari keluarga biasa di Tjurup, sebuah kampung beberapa kilometer dari Bengkulu. Ia setahun lebih
muda dari Ratna Djuami. Dan ketika ia mengikuti Ratna Djuami memasuki sekolah rumah tangga di
Bengkulu— yang merupakan sekolah tertinggi yang ada di daerah itu — ia mencari tempat tinggal.
Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota keluarga kami.
Aku senang terhadap Fatmawati. Kuajar dia main bulutangkis. Ia berjalan‐jalan denganku sepanjang tepi
pantai yang berpasir dan, sementara alunan ombak yang berbuih putih memukul‐mukul kaki, kami
mempersoalkan kehidupan atau mempersoalkan Ketuhanan dan agama Islam. Dalam kesempatan yang
demikian itulah ia menanyakan, “Mengapa orang Islam dibolehkan mempunyai isteri lebih dari satu?”
“Di tahun 650 Nabi Muhammad s.a.w. mengembangkan Islam, kemudian mempertahankannya terhadap
orang Arab dari suku Mekah, pun terhadap kaum keluarganya sendiri,” jawabku. “Semboyan yang dipakai
di jaman itu ‘Pedang di satu tangan dan Al Quran di tangan yang lain’. Diantara laki‐laki banyak terdapat
korban.”
“Ini berarti banyak janda,” kata Fatmawati pelahan‐lahan.
“Pasti,” kataku, “Akan tetapi untuk menghindarkan hawa nafsu kehewanan atau perkelahian perempuan
diantara mereka sendiri, maka Nabi menerima wahyu dari Tuhan yang mengizinkan laki‐laki mempunyai
isteri sampai empat orang agar tercapai suasana yang tenang. Tapi di Bali orang menjalankan poligami
yang tidak terbatas. Seorang pangeran yang sudah berumur 76 tahun belum lama ini mengawini isterinya
yang ke‐36. Umurnya 16.”
“Usia yang cocok untuk perkawinan,” kata Fatmawati yang berumur limabelas setengah tahun
mengemukakan pendapatnya.
Di Bante Pandjang arusnya di dalam deras sekali dan banyak terdapat ikan hiu. Orang tidak dibolehkan
berenang disana, akan tetapi ada sebuah batu karang yang bersegi tiga yang merupakan kolam. Pada
waktu kami mengarunginja ia bertanja, “Tidak adilkah hukum Islam terhadap perempuan?”
“Sebaliknya, ajaran Nabi menaikkan derajat perempuan. Sebelum itu kedudukan perempuan seperti
dalam neraka. Orang tua menguburkan anak‐anak gadis hidup‐hidup oleh karena dianggap tidak penting.
Laki‐laki hanya menyerahkan mas kawin kepada si bapak dan membeli anak gadisnya untuk dijadikan
isteri. Pada waktu sekarang perempuan tidak dibeli seperti membeli kambing. Perempuan sekarang
menjadi teman hidup yang sama kedudukannya dalam perkawinan.
“Hukum perkawinan di Asia disesuaikan menurut keadaan setempat. Disini lebih banyak jumlah
perempuan daripada laki‐laki. Perempuan yang kelebihan ini berhak atas kehidupan perkawinan, karena
itu Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi isteri‐isteri yang sah dan terhormat dalam
masyarakat. Akan tetapi di Tibet, dimana laki‐laki lebih banyak daripada perempuan, mereka
mempraktekkan poliandri. Inilah bukti penyesuaian hukum agama dengan hukum masyarakat di Timur.”
“Bagaimana orang Barat mengatasinja?”,,Seringkali orang Barat mempunyai nyai. Kerugiannya, anakanak
yang mereka peroleh disingkirkan di masyarakat atau ditutup‐tutup atau mendapat nama yang jelek
seumur hidupnya. Dalam masyarakat kita anak dari isteri kedua dan selanjutnya mendapat kedudukan
yang baik dan dihormati dalam masyarakat.”
Fatmawati bungkem sambil berjalan sepanjang pantai, kemudian bertanya, “Perlukah seorang Islam
mendapat persetujuan dari isteri pertama sebelum mengawini isteri yang kedua?”
“Tidak wajib. Hal ini tidak disebut‐sebut dalam Quran. Ini ditambahkan kemudian dalam Fiqh, …”
“…. hukum‐hukum yang ditambah oleh manusia di tahun‐tahun 700 dan 800‐an yang, menurut
pertimbangan akal, didasarkan pada Al Quran dan Hadith, yaitu qiyas.”
“Benar” kataku tersenyum kepada muridku yang kecil itu lagi cerdas.
Dalam kehidupanku di Bengkulu pada masa itu aku memperoleh kedudukan sebagai orang cerdik pandai
dari kampung. Orang datang, kepadaku untuk minta nasehat. Seperti misalnya persoalan kerbau
kepunyaan seorang Marhaen yang dituntut oleh seorang pegawai. Marhaen. itu menjadi hampir putus
asa, karena kerbau ini sangat besar artinya baginya. Ia datang padaku sebagai “Dukun”‐nya. Aku
menasehatkan kepadanya, “Ajukan persoalan ini ke pengadilan dan saya akan mendo’akan.” Tiga hari
kemudian kerbau itu kembali.
Ada lagi perempuan yang datang menangis‐nangis kepadaku, “Saya sudah tujuh bulan tidak haid.”
“Apa yang dapat saya lakukan? Saya bukan dokter,” kataku.
“Bapak menolong semua orang. Bapak adalah juru selamat kami. Saya percaya kepada bapak dan saya
merasa sangat sakit. Tolonglah …. tolonglah ….. tolonglah saya.”
Kepercayaannya kepadaku luar biasa, dan aku tidak dapat berbuat sesuatu yang akan menimbulkan
kekecewaannya. Karena itu kubacakan untuknya Surah pertama dari Quran ditambah dengan do’a yang
maksudnya sama dengan ‘Bapak kami yang ada disorga’. Kemudian perempuan itu sembuh dari
penyakitnya.
Tetanggaku, seorang pemerah susu, sangat membutuhkan uang. Dia yakin, bahwa dengan
mengemukakan persoalannya itu kepadaku, bagaimanapun juga akan dapat dipecahkan. Memang ia
benar. Aku keluar dan menggadaikan bajuku untuk memenuhi tiga rupiah enampuluh sen yang
diperlukannya.
Jadi di mata orang kampung yang bersahaja itu lambat laun aku dipandang seperti Dewa. Apa yang
ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih dari 20 tahun
daripadanya dan ia memanggilku Bapak, pun untuk seterusnya. Bagiku ia hanya seorang anak yang
menyenangkan, salah‐seorang dari begitu banyak anak‐anak yang mengelilingiku untuk menghilangkan
kesepian yang jadi melarut dalam hatiku. Yang kuberikan kepadanya adalah kasih sayang seorang bapak.
Inggit tidak melihat hal itu dengan cara yang demikian. Kami mempunyai radio di kamar belakang. Di
suatu malam kawan‐kawan mendengarkannya bersama‐sama kami. Fatmawatipun datang
mendengarkan. Ada tempat kosong di sebelahku diatas divan, jadi ia duduk dekatku. Malam itu juga
Inggit menyatakan, “Aku merasakan ada percintaan sedang menyala di rumah ini. Jangan coba‐coba
menyembunyikan. Seseorang tidak bisa membohong dengan sorotan matanya yang rnenyinar, kalau ada
orang lain mendekat.”
“Jangan begitu,” jawabku dengan bernafsu. “Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri.”
“Menurut adat kita, perempuan tidak begitu rapat kepada laki‐laki. Anak‐anak gadis menurut kebiasaan
lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hati‐hatilah, Sukarno, supaya mendudukkan hal ini
menurut cara yang sepantasnya.”
Maka terjadilah, kalau ada pertengkaran antara Fatmawati dengan Sukarti atau Ratna Djuami, Inggit
selalu memihak kepada anak yang berhadapan dengan Fatmawati. Karena itu aku mau tidak mau berdiri
di pihaknya. Lalu menjulanglah suatu dinding pemisah yang tidak terlihat, antara kami, dan aku didesak
memihak kepada Fatmawati.
Setelah dua tahun ia pindah ke rumah neneknya tidak jauh dari situ. Sungguhpun demikian kami masih
saja dalam satu lingkungan, karena bibinya kawin dengan kemenakanku dan adanya pesta‐pesta,
kemudian berkumpul bersama‐sama di hari libur dan sebagainya.
Tahun berganti tahun dan Fatmawati tidak lagi anak‐anak. Ia sudah menjadi seorang perempuan cantik.
Umurnya sudah 17 tahun dan terdengar kabar bahwa dia akan dikawinkan. Isteriku sudah mendekati usia
53 tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia yang utama dalam kehidupan. Aku
menginginkan anak. lsteriku tidak dapat memberikannya kepadaku. Aku menginginkan kegembiraan
hidup. Inggit tidak lagi memikirkan soal‐soal yang demikian. Di suatu pagi aku terbangun dengan keringat
dingin. Aku menyadari bahwa aku tentu akan kehilangan Fatmawati, sedangkan aku memerlukannya.
Kemudian aku menyadari pula, bahwa aku berbalik kembali ke masa duapuluh tahun yang silam. Kembali
ke tengah kancah perjuangan itu‐itu juga, perjuangan antara baik dan jahat. Aku memikirkan tentang
Arjuna, pahlawan Mahabharata, yang bertanya kepada Dewa, Batara Krishna, “Hai, dimana engkau?”
Maka Krishna menjawab “Aku berada di dalam sang bayu. Aku ada di dalam air. Aku berada di bulan. Aku
ada di dalam sinarnya sang candra. Akupun ada dalam senyumnya gadis yang menyebabkan engkau
tergila‐gila.”
Kemudian aku bersoal dalam diriku sendiri, kalau di dalam senyuman indah dari gadis cantik itu terdapat
pula Tuhan apakah dengan mengagumi senyuman itu aku berdosa karena berbuat kejahatan? Tidak.
Kalau begitu, apabila aku mencintai senyuman indah gadis cantik itu, apabila senyum itu suatu pancaran
dari Tuhan dan Dia menciptakan gadis cantik itu sedangkan aku hanya mengagumi ciptaan‐Nya itu,
mengapalah dianggap dosa kalau aku memetiknya!.
Sekali lagi, ini adalah peperangan kekal antara baik dan jahat, mencoba memakan habis kesenangan kecil
yang kuperoleh di tengah‐tengah kekosongan dalam hidupku. Ketika berjalan‐jalan di suatu sore,
Fatmawati bertanya kepadaku, “Jenis perempuan mana yang Bapak sukai?”
Aku memandang kepada gadis desa ini yang berpakaian baju kurung merah, dan berkerudung kuning
diselubungkan dengan sopan. “Saya menyukai perempuan dengan kasliannya. Bukan wanita modern
pakai rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan. Saya lebih menyukai wanita kolot yang
setia menjaga suaminya dan senantiasa mengambilkan alas kakinya. Saya tidak menyukai wanita
Amerika dari generasi baru, yang saya dengar menyuruh suaminya mencuci piring.” Saya setuju,” dia
membisikkan, mengintip kemalu‐maluan padaku melalui bulu‐mata yang merebah.
“Dan saya menyukai perempuan yang merasa berbahagia dengan anak banyak. Saya sangat mencintai
anak‐anak.”
“Saya juga,” katanya.
Minggu berganti bulan dan bulanpun silih berganti, perasaan coba‐coba dalam hati bersemi menjadi
kasih. Walaupun bagaimana kucoba sekuatku memadamkan hati muda yang sedang bergolak, karena
rasa penghargaan yang besar terhadap Inggit. Tiada maksudku hendak melukai hatinya.
“Ini semua kesalahanku,” dia mengulangi berkali‐kali ketika mengemukakan persoalan ini di suatu malam
yang tidak menyenangkan. “Inilah jadinya, kalau menaruh anak orang lain di rumah. Tapi aku tak pernah
membayangkan akan kejadian seperti ini. Dia seperti anakku sendiri.”
“Aku sangat bersyukur mengenai kehidupan kita berdua,” aku menerangkan. “Selama ini kau jadi tulang
punggungku dan menjadi tangan kananku selama separuh dari umurku. Tapi bagaimanapun juga, aku
ingin merasakan kegembiraan mempunyai anak. Terutama aku berdo’a, di satu hari untuk memperoleh
anak laki‐laki.”
“Dan aku tidak bisa beranak, itukah yang dimaksud?”
“Ya,” aku mengakui.
“Aku tidak bisa menerima isteri kedua. Aku minta cerai.”
Kami tahu, bukanlah dia yang menentukan pilihan, akan tetapi aku merasa tidak enak memutuskan
sendiri.
“Aku tidak berrnaksud menceraikanmu,” kataku.
“Aku tidak memerlukan kasihanmu,” bentaknya.
“Tidak ada maksudku untuk menyingkirkanmu,” aku melanjutkan, “Adalah keinginanku untuk
menempatkanmu dalam kedudukan yang paling atas dan keinginankulah supaya engkau tetap menjadi
isteri yang pertama, jadi memegang segala kehormatan yang bersangkut dengan ini dalam kebiasaan
kita, sementara aku menjalankan hukum agama dan hukum sipil dan mengambil isteri yang kedua untuk
melanjutkan keturunanku.”
“Tidak.”
“Untuk kawin lagi adalah suatu keharusan bagiku, akan tetapi aku mengajukan satu usul. Sekalipun aku
cinta terhadap Fatmawati, akan kulupakan dia kalau kaudapatkan perempuan lain yang menurut
perkiraanmu lebih cocok untukku. Tunjuklah seorang yang tidak seperti anak lagi dan dengan demikian
dapat membebaskanmu dari kebencian yang kaurasakan sekarang.”
Airmata menggenangi mataku pada waktu aku bersoal dengan dia. “Kalau sekiranya aku menjalani hidup
yang normal dengan kegembiraan yang normal pula, mungkin aku dapat menerima kekosongan ini tanpa
keturunan. Akan tetapi aku tidak mengalami selain daripada kemiskinan dan kesukaran‐kesukaran hidup.
Umurku sekarang sudah, 40. Dalam usia 28 aku sudah disingkirkan. Duabelas tahun dari masa muda
seorang laki‐laki kuhabiskan dalam kehidupan pengasingan. Di suatu tempat …. dengan jalan apapun …..
tentu akan ada imbalannya. Kurasakan, bahwa aku tidak dapat menahankan jika yang inipun dirampas
dariku.”
Ratna Djuami kembali ke Jawa untuk melanjutkan sekolahnya. Inggit dan aku boleh dikatakan kesepian.
Hubungan kami tegang, akan tetapi ia kami lanjutkan juga. Aku tidak tahu apa yang harus diperbuat oleh
karena itu kucari keasyikan dengan bekerja. Aku mengerjakan rencana rumah untuk rakyat. Aku mengajar
guru‐guru Muhammadiyah. Aku mengorganisir Seminar Alim‐Ulama Antar Pulau Sumatera Jawa dan
berhasil mengemukakan kepada mereka rencana memodernkan Islam.
Akupun menerima calon menantu dari Residen sebagai murid dalam pelajaran bahasa Jawa, karena dia
bekerja sebagai asisten kebun di suatu perkebunan teh dan para pekerjanya berasal dari Jawa. Dan di
Bengkulu hanya Sukarno yang menguasai bahasa daerah itu. Pemuda ini dan aku menjadi sahabat karib.
Ketika Jimmy akhirnya melangsungkan perkawinannya aku ditunjuknay untuk bertindak sebagai walinya,
akan tetapi Residen itu rnenolak dengan minta maaf, dan mengatakan, “Tidak mungkin seorang tawanan
utama dari negeri ini menjadi wali dalam perkawinan anak saya.” Sekalipun, demikian dia mengundangku
menghadiri upacara perkawinan itu.
Setelah satu tahun, dalam waktu mana aku tidak mau menerima pembayaran, Jimmy menghadiahkan
kepadaku dua ekor Dachshaund. Aku sayang sekali kepada anjing‐anjing itu. Ia kubawa tidur. Aku
memanggilnya dengan mengetuk‐ngetukkan lidahku. “Tuktuktuktuk” dan karena aku tidak pernah
memberinya nama, lalu binatang‐binatang ini dikenal sebagai “Ketuk Satu” dan “Ketuk Dua”.
Aku mencoba mengalihkan pikiranku dari persoalan pribadi dengan memelihara hewan‐hewan lain. Aku
memperoleh 50 ekor burung gelatik dengan harga sangat murah. Kemudian kubeli sangkar yang besar
dan menambahkan burung barau‐barau sepasang, jadi dia tidak kesepian. Tapi kesenangan inipun tidak
menyenangkan hatiku. Kulepaskan binatang‐binatang ini. Aku tidak sampai hati melihat makhluk yang
dikurung dalam sangkar.
Karena sekumpulan binatang ini tidak memuaskan hatiku, aku berpindah pada pekerjaan memperindah
halaman belakang. Jalanan menuju ke jalan besar ditutupi dengan batu karang. Aku mempekerjakan dua
orang kuli untuk mengangkatnya. Ketua organisasi pemuda setempat mengetahui apa yang kukerjakan
dan di suatu hari Minggu dia datang dengan selusin kawan‐kawan dan dalam tempo dua jam mereka
menyelesaikan segala‐galanya.
Ketika pekerjaan ini selesai, dan kepedihan dalam hati masih tetap bersarang, aku mengadakan kelompok
perdebatan setiap malam Minggu. Kami mempersoalkan “Teori Evolusi Darwin” atau “Mana yang lebih
baik, beras atau jagung — dan mengapa?” atau pokok pembicaraan seperti “Apa pengaruh bulan terhadap
tingkah laku perempuan”. Aku menyusun pendapatku sambil berdebat. Terkadang aku percaya apa yang
kuucapkan, terkadang tidak. Terkadang aku hanya mencoba untuk menyalakan api dibawah semangatku
sendiri.
Aku juga meminyaki otakku dengan menulis artikel. Karena ini terlarang, kupergunakan nama samaran
Guntur atau Abdurrahman. Satu kesukaranku ialah karena aku tidak mengetik dan tulisanku yang sangat
jelas dan mudah dibaca sudah diketahui orang. Tulisan tangan membukakan watak seseorang. Usaha
untuk merubahnua sedikit masih memperlihatkan tulisan yang sarna, karena itu aku merubahnya sama
sekali dengan huruf cetak atau menulisnya dengan tangan kiri.
Di bulan Mei 1940 Hitler menyerbu Negeri Belanda. Pemerintah segera memanggilku ke markas di Fort
Marlborough, sebuah benteng dari batu dan besi menghadap ke sebuah tebing yang curam. Muka‐muka
mereka kelihatan suram. “Insinjur Sukarno,” mereka berkata. “Kami hendak memperingati kejadian yang
menyedihkan ini. Sebagai satu‐satunya seniman di Bengkulu tuan ditunjuk untuk membuat tugu
peringatan.”,,Maksud tuan, setelah menguber‐uber saya karena saya menghendaki kemerdekaan untuk
rakyat saya, tiba‐tiba sekarang meminta saya, sebagai tawanan tuan, untuk membuat tugu karena bangsa
lain merebut kemerdekaan negeri tuan?”
“Ya.”
Betapapun aku berhasrat hendak memuaskan selera seniku, namun apa yang kuperbuat hanyalah
menumpukkan tiga buah batu, yang satu diatas yang lain. Dan itulah seluruhnya yang kukerjakan. Untuk
menyatakan pendapat Belanda itu dengan kata‐kata manis: mereka jijik melihatnya. Akan tetapi
sebenarnya tidak timbul perasaanku untuk menciptakan suatu yang indah bagi mereka.
Menyinggung tentang peperangan, sewaktu masih di Bandung aku telah melihat lebih dulu pengaruh dari
ketegangan‐ketegangan di Eropa dan berkembangnya Hitlerisme. Pada pertengahan tahun‐tahun
tigapuluhan aku meramalkan bahwa Jepang akan mengikuti Hitler untuk melawan Inggris dan Amerika di
Lautan Teduh dan bahwa dengan lindungan peristiwa ini Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya.
Sejak dari waktu itu aku memperhitungkan, kapan perang Asia akan berkobar dan berapa lama perang itu
berlangsung dan aku menyirnpulkan, bahwa mata rantai yang lemah dari rantai imperialisme Jepang
adalah Indonesia. Negeri kami yang terbentang luas adalah yang paling mudah untuk diputuskan. Lalu di
Flores, di tahun 1938 aku meramalkan bahwa Indonesia akan mendesak ke depan dan memutuskan
belenggunya di tahun 1945. Aku bahkan menulis suatu cerita sandiwara mengenai keyakinanku berjudul
“Indonesra ’45″. Sementara aku menunggu, menahankannya dengan sabar, aku gelisah dan takut.
Aku menjadi pembantu tetap dari surat kabar Anwar Tjokroaminoto. Tapi kini aku menulis dengan
memakai namaku sendiri, karena walaupun hanya untuk sementara waktu, perasaanku membawaku ke
satu pihak yang sama dengan Negeri Belanda. Di bulan Juli 1941 aku menulis dalam “Harian
Pemandangan” sebagai berikut:
“Patriotisme tidak boleh disandarkan pada nasionalisme dengan pengertian kebangsaan yang sempit yang —
seperti Italia dan Jerman — meletakkan kepentingan bangsa dan negeri di atas kepentingan kesejahteraan
manusia‐manusia di dalamnya. Saya berdo’a kepada Allah Ta’ala agar melindungi kita dari kefasikan untuk
mempercayai fasisme dalam menuju kemerdekaan.
“Pemboman rumah‐rumah, pembunuhan perempuan dan anak‐anak, penyerangan terhadap negeri‐negeri
yang lemah, penangkapan orang‐orang yang tidak bersalah, penyembelihan terhadap jutaan orang Yahudi,
itulah ISME yang hendak berkuasa sendiri. Fasisme tidak mengizinkan adanya parlemen. Fasisme adalah
usaha terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme.
“Seluruh manusia harus membenci Hitler‐Hitler dan Mussolini‐Mussolini yang ada di permukaan bumi ini. Dan
panjinya cita‐cita Indonesia haruslah Anti‐Nazisme dan Anti‐Fasisme. Hari ini saya mengangkat pena saya
guna memuntahkan saya punya kebencian terhadap penyakit ini yang mau tidak mau menyeret kita ke
dalam peperangan dan bencana besar.
“Kebejatan moral ini tidak saja menghinggapi orang kulit putih. Akan tetapi Jepangpun dihinggapi oleh nafsu
untuk memperoleh kekuasaan ini, yang memerlukan konsesi minyak. Batu bara dan minyak pelumas untuk
armadanya dan yang menyebabkan rakyatnya lupa akan kesatriaan mereka dalam usahanya hendak
mencekamkan kukunya kepada saudara‐saudaranya.
“Jepang, itu naga pembawa bencana dengan keserakahan untuk mencaplok dalam waktu yang tidak lama
lagi akan terjun ke dalam peperangan buas yang membahayakan perdamaian dan keselamatan bangsabangsa
Asia dalam perlombaannya melawan Barat. Laksana tiga ekor raja singa berhadapan satu‐sama lain
yang sudah siap untuk menerkam, Inggris siap di Singapura, Jepang mempersiapkan senjata dalam
lingkungan perbatasannya dan di kepulauan Mariana, Amerika dengan benteng‐bentengnya di Hawaii,
Guam, Manila, Pearl Harbour.
“Saudara‐saudara, waktunya sudah dekat, di saat mana air biru dari Samudra Pasifik akan menjadi korban
berdarah yang tidak ada tandingannya di dalam sejarah dunia!”
Akan tetapi peperangan ini yang kuperhitungkan akan memenuhi seluruh harapan dan impianku masih
jauh di depan. Jadi ketika itu aku menyimpannya dalam pikiranku saja untuk mempersenjatai ragaku
melawan peperangan yang mengamuk‐amuk di dadaku.
Di akhir tahun 1941 aku mengawatkan Ratna Djuami dan tunangannya Asmara Hadi, seorang pengikut
lamaku, untuk datang ke Bengkulu sehingga kami dapat mempersoalkan kehidupan pribadiku. Kami
bertiga berjalan‐jalan sepanjang Bante Pandjang. “Kuharapkan kalian mengerti,” aku mengemukakan.
“Aku ini hanya seorang manusia, Aku ingin kawin lagi. Cobalah, bagaimana pendapatmu keduanya?”
Asmara Hadi menyatakan, “Secara pribadi saya setuju dengan bapak. Saya mempersamakan bapak
dengan Napoleon dan para pemimpin besar lainnya dalam sejarah, yang— saya baca — secara fisik sangat
kuat. Akan tetapi, dilihat dari segi politik hal ini tidak baik. Sungguhpun bapak diasingkan jauh semenjak
tahun 1934, bapak tetap menjadi lambang kami. Rakyat mendo’akan agar bapak segera bangkit lagi dan
memimpin mereka kembali. Dan rakyat tahu dari tulisan‐tulisan bapak, bahwa waktunya sudah dekat.
Apa kata rakyat nanti kalau bapak sekarang menceraikan ibu Inggit di waktu dia sudah tua dan yang setia
mendampingi bapak selama masa penjara dan pembuangan? Bagaimana jadinya nanti?”
“Coba, Umi,” kataku sungguh‐sungguh kepada Ratna Djuami, menyebutnya dengan nama kecilnya.
“Dapatkah kau memahami kepedihanku?”.
“Saya sepaham dengan Asmara Hadi. Meskipun hati saya dapat merasakan kepedihan bapak, tapi saya
rasa ini akan meruntuhkan bapak dalam bidang politik.”
“Tapi engkau masih muda. Engkau hendaknya lebih mengerti daripada ibumu,” aku mempertahankan.
“Dan engkau tidak usah kuatir tentang dirimu. Kalaupun aku mengawini Fatmawati, aku masih tetap
mencintaimu. Gelombang‐gelombang yang berbuih putih ini akan mendjadi saksi.”
Sebelum diperoleh suatu keputusan, Jepang menyerbu Sumatra. Harinya adalah 12 Februari 1942.

PELARIAN
BAB XVII: Pelarian
YANG menjadi sasaran pertama dari pendaratan, tentara Jepang adalah kota Palembang, Sumatera
Selatan. Tentara Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tunggang‐langgang, Hanya
untuk satu hal Belanda tidak lari, yaitu untuk mengawasi Sukarno.
Belanda kuatir meninggalkanku, oleh karena Jepang sudah pasti akan menggunakan bakatku untuk
melontarkan kembali segala dendam kesumat terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian juga
terhadap Pasukan Sekutu. Merekapun kuatir terhadap masa datang, kalau perang sudah selesai.
Lepasnya Sukarno ke tali hati rakyat jang sudah sangat bergetar, berarti bukan, mempermudah jalan
untuk menguasai kembali kepulauan Hindia.
Mereka bahkan lebih menyadari daripadaku, bahwa di Jawa dan dimana‐mana rakyat masih belum
melupkan Sukano. Rakyat masih menempatkan Sukano di puncak impian mereka. Boleh jadi ini
disebabkan, karena tidak ada tokoh lain yang dapat menduduki tempat Sukarno di dalam hati rakyat.
Semenjak aku dibuang, maka pergerakan kebangsaan telah bercerai‐berai. Semua pemimpin dimasukkan
ke dalam bui atau diasingkan. Di tahun ’36 sebuah partai yang telah dilemahkan, yaitu Gerindo, bergerak
kembali, akan tetapi tidak mempunyai tokoh yang mudah terbakar. Tidak ada pemberontakan rakyat.
Apa yang dapat dilakukan oleh massa hanyalah mengingat‐ingat kembali waktu yang telah silam. Dan ini
memang mereka lakukan. Selama masa aku dipisahkan dari rakyat, mereka hanya mengenang detikdetik
yang memberi pengharapan dan kemenangan di bawah Singa Podium. Telah ternyata di dalam
sejarah agama dan politik, bahwa jika pihak lawan memerangi usaha seorang pemimpin dengan dalan
pengasingan atau lain‐lain, namanya akan semakin berurat‐berakar dalam hati rakyat. Demikian pula
halnya dengan Sukarno. Kepopuleranku di kalangan rakyat sampai sedemikian, sehingga nampaknya
seolah‐olah aku tidak pernah dipisahkan dari mereka itu.
Tersiarlah berita bahwa Jepang sudah bergerak menuju Bengkulu. Sehari sebelum ia menduduki kota ini
dua orang polisi dengan tergopoh‐gopoh datang ke tempatku. “Kemasi barang‐barang,” perintahnya.
“Tuan akan dibawa keluar.”
“Kapan ?”
“Malam ini juga. Dan jangan banyak tanya. Ikuti saja perintah. Tuan sekeluarga akan diangkut tengah
malam nanti. Secara diam‐diam dan rahasia. Hanya boleh membawa dua kopor kecil berisi pakaian.
Barang lain tinggalkan. Tuan akan dijaga keras mulai dari sekarang, jadi jangan coba‐coba melarikan diri.”
Sukarti yang berumur delapan tahun itu dapat merasakan ketegangan yang timbul. Karena takut dia
bergantung kepadaku dengan kedua belah tangannya. “Pegang saya, Oom,” bisiknya. Oom adalah paman
dalam bahasa Belanda. Ketika polisi itu meneriakkan perintahnya, aku membelai kepala anak itu untuk
menenangkan hatinya. “Boleh saya bertanya kemana kami akan dibawa?” tanyaku.
“Ke Padang. Tuan akan selamat, karena tentara kita dipusatkan di sana untuk membantu pengungsian.
Ribuan pelarian preman dan militer diungsikan dari Padang, yaitu pelabuhan tempat pemberangkatan
menuju Australia. Dan juga telah diatur untuk mengangkut tuan dengan kapal pengungsi yang terakhir.”
“Berapa lama kita di Padang?”
“Hanya satu malam. Iring‐iringan kapal sebanyak tujuh buah sudah siap menanti dan akan berangkat di
hari berikut setelah tuan sampai. Sekarang buru‐buru. Kita berlomba dengan waktu.”
Kami mendapat kesempatan hanya beberapa jam untuk berkemas. Tidak ada waktu untuk takut atau
bingung. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah memang menguntungkan bagiku kalau aku disingkirkan
dari pendudukan tentara Jepang. Ataukah suatu kerugian, jika tetap berada dalam cengkeraman Belanda.
Perasaanku kacau balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti meninggalkan tempat pembuanganku.
Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menuju tempat pembuangan
yang baru. Kalau ini kuingat, hatiku jadi susah. Sekarang ini, melebihi dari waktu‐waktu yang lain, aku
tidak ingin meninggalkan tanah airku yang tercinta. Bagaimana aku bisa membanting tulang demi
kemerdekaan negeriku dari tempat yang ribuan mil jauhnya.
Kejadian‐kejadian susul‐menyusul begitu cepat, sehingga tidak tersisa waktu untuk berpikir. Aku hanya
berhasil mencuri waktu lima menit untuk diriku sendiri. Bengkulu kotanya kecil dan dalam waktu lima
menit aku menyelundup ke rumah paman Fatmawati, dimana seluruh keluarga gadis itu berkumpul
bersama‐sama untuk menguatkan hati mereka dalam menghadapi penyerbuan. Aku mengetuk pintunya
dengan lunak dan berbicara pelahan, “Saya Sukarno. Bukalah pintu. Saya datang untuk mengucapkan
perpisahan.”
Aku memperoleh kesempatan selama satu detik yang singkat berhadapan dengan Fatmawati. Kami
berpegangan tangan dengan erat dan kataku kepadanya, “Hanja Tuhanlah Yang Maha Tahu apa yang
akan terjadi terhadap kita. Mungkin kita tidak akan dapat keluar dari peperangan ini dalam keadaan masih
hidup. Mungkin juga kita terdampar di bagian dunia yang berjauhan. Akan tetapi kemanapun jalan yang
akan kita tempuh, atau apapun yang akan terjadi terhadapmu dan aku, dimanapun kita terkandas, aku
menyadari bahwa Tuhan akan memberkati kita dan memberkati kecintaan kita satu sama lain. Insya
Allah, entah kapan …. entah dimana …. kita akan berjumpa lagi.”
Jam sebelas malam kami mendengar, bahwa musuh sudah berada di Lubuk linggau, kota penghubung
jalan kereta api Palembang — Bengkulu. Di tengah malam itu kepala polisi datang dengan diam‐diam.
Tidak jauh dari rumah kami di belakang semak belukar dia menyembunyikan sebuah mobil pick‐up. Di
dalamnya empat orang polisi. Dalam tempo limabelas menit Inggit, Sukarti, aku sendiri, Riwu —
pembantu kami berumur duapuluh tiga tahun yang dibawa dari Flores dan tidak mau ketinggalan — dan
barang‐barang kami semua dipadatkan dalam kendaraan yang sesak itu.
Dekat rumahku ada dua buah pompa bensin. Yang satu terletak di Fort Marlborough tidak jauh dari situ;
yang satu lagi di pekaranganku sendiri, milik Pemerintah, dibawah serumpun pohon kelapa. Belanda
mulai menjalankan politik bumi hangusnya. Begitu kami meninggalkan pintu depan, maka persediaan
bensin dan minjak pelumas di Fort Marlborough terbang ke udara dengan ledakan yang hebat. Ini sebagai
tanda bagi penjaga kami untuk membakar pula drum‐drum di rumahku. Tindakan ini mempunyai tujuan
berganda. Di samping mencegah, agar ia tidak jatuh ke tangan musuh, iapun memberikan kesenangan.
Ledakannya dapat terdengar ke sekitar sampai bermil‐mil dan sejauh‐jauhnya mata memandang di
seluruh kota hanya kelihatan lautan api. Dalam lindungan keadaan inilah mereka melarikanku keluar kota
Bengkulu.
Untuk menghilangkan jejak, polisi itu mengambil jalan ke arah selatan. Setelah jelas bahwa tidak ada
orang yang mengikuti jejak kami, mereka memutar haluan ke utara menuju Muko‐Muko, sekira 240
kilometer dari Bengkulu di mana kami akan bermalam. Selama dalam perjalanan kami harus mengarungi
tigabelas buah sungai yang lebar berlumpur dan banyak buaya. Tidak ada jembatan sama sekali. Kami
menyeberanginya dengan rakit dan perahu yang dibuat oleh rakyat setempat. Di hari berikutnya jam lima
sore rombongan yang kelelahan ini sampai di Muko‐Muko.
Kami bermalam di sebuah rumah yang dijaga keras oleh polisi. Jam tiga pagi kami dibangunkan lagi. “Mari
kita lanjutkan perjalanan,” gerutu salah seorang yang bertugas. “Sekarang berangkat.”
“Kenapa begini pagi ?” tanyaku.
“Rantau kita masih jauh dan hari ini harus sampai sejauh mungkin sebelum matahari membakar kepala.
Kalau siang sedikit, kita tidak akan tahan panasnya matahari.”
Sesampai di jalanan baru kami ketahui, bahwa pengiring kami dari Bengkulu sudah digantikan oleh enam
orang pengawal bermuka kaku dari Muko‐Muko. Selain dari membawa tempat minum mereka
menyandang senapan dan pistol. Ada lagi perubahan yang lain. Kendaraan kami sudah diganti dengan
gerobak sapi. Ia dimuat dengan persediaan makanan. Beras dan kaleng‐kaleng. Melebihi persediaan
untuk sehari. Cukup untuk seminggu, kukira.
“Perjalanan selanjutnya kita tempuh dengan jalan kaki,” kata seorang yang menyandang tempat minum.
Isteriku mengangkat kepala karena kaget. “Jalan kaki sampai ke Padang?”
“Betul.”
“Sejauh tigaratus kilometer?” tanyanya kehabisan napas.
“Ya, betul,” orang itu memotong. “Hayo kita jalan.”
“Kenapa tidak dengan mobil saja?” tanjaku, ketika kami menaikkan Sukarti dan barang ke atas gerobak.
“Kita melalui hutan lebat, rapat dan susah dijalani. Satu‐satunja cara supaya sampai di Padang dengan
menempuh jalan setapak yang berkelok‐kelok berliku‐liku dan di beberapa tempat susah dilalui.”
Aku bisa tahan berjalan kalau dibandingkan dengan yang lain, oleh karena aku selalu latihan. Akan tetapi
Inggitlah yang menimbulkan kekuatiranku. “Jangan kuatir,” aku membujuknya. “Polisi‐polisi yang bebal
inipun bukan pejalan marathon, sama saja dengan kau.”
Betapapun kekuatiran yang timbul, bagi kami tidak ada pilihan lain. Di belakang kami, tentara Jepang. Di
depan, tentara Belanda. Dikiri‐kanan kami enam orang polisi pakai senapan, mendampingi kami setiap
saat siang dan malam. Jadi kami berjalanlah. Terus berjalan. Tak henti‐hentinya berjalan. Menempuh
hutan yang lebat di sepanjang pantai Barat Sumatera Selatan. Aku memakai sepatu. Isteriku hanya pakai
sandal terbuka seperti yang biasa dipakai oleh wanita Indonesia, dan tidak bisa diharapkan dapat
meringankan perjalanan berhari‐hari melalui hutan rotan dan rumput liar yang kering dan menggoresgores
kaki setinggi lutut bermil‐mil jauhnya. Kaki Inggit lecet dan bengkak. Kadang‐kadang ia naik
gerobak sapi itu. Akan tetapi jalanna curam dan akhirnya bukan sapi itu yang menolong kami, akan tetapi
akulah yang harus menolong sapi itu. Aku menariknya. Dan menolaknya. Seringkali binatang itu hanya
berdiri saja dan menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri.
Di tengah hutan yang demikian sesekali kami menjumpai sebuah pondok yang terpencil kepunyaan
pemburu atau pencari kayu bakar. Jam enam sore kami berhenti di pondok seperti itu. Kami berada
ditengah‐tengah pesawangan, dan kalaupun disuruh berjalan terus tak seorangpun diantara kami yang
masih sanggup berjalan. Kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak‐bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti
tidak memakai topi, badannya terbakar oleh terik matahari.
Pondok itu berbentuk rumah panggung, supaya terhindar dari ancaman binatang. Sekalipun demikian
kami dapat mencium adanya tamu‐tamu yang tidak diundang. Seekor ular menjalar melalui kaki. Cicak
berkeliaran di atas atap. Diatas lantai terhampar sehelai tikar kasar. Aku terkapar di atas tikar itu. Pahaku
menjadi bantal Inggit. Dan Sukarti menggolekkan kepalanya diatas badan ibunya. Bunyi binatang buas di
malam hari di sekeliling tempat pelarian kami membikin badan jadi dingin. Tetangga kami adalah
harimau, beruang, kucing hutan, rusa, babi‐hutan dan monyet tak terhitung banyaknya. Teriakan monyet
yang membisingkan di atas pohon‐pohon kayu tidak henti‐hentinya. “Raja hutan tidak akan menyerang,
kecuali kalau dia lapar,” cerita polisi yang menyandang tempat minum. Kami mendo’a, semoga binatangbinatang
itu tidak mengingini kami. Sebagian besar dari keberanianku adalah berkat kawal kehormatan
kami yang berkeliling tidak lebih dari beberapa kaki jauhnya.
Di tengah malam Sukarti mengintip di pinggir teratak itu yang tidak berpintu. “Saya takut, Oom,” dia
menggigil. “Oom tidak takut?”
“Ya, Karti,” bisikku menenangkan hatinya. “Oom takut. Tapi polisi ini membikin Oom berani.” Aku
merangkak dengan Karti ke bagian pinggir dan mengintip ke bawah. “Kaulihat keenam orang itu? Di
tengah malam sunyipun polisi menjaga berganti‐ganti pakai bedil. Polisi berjaga‐jaga. Mereka lebih takut
lagi daripada kita kalau tidak menyelamatkan kita dari binatang buas. Sangat besar tanggung jawab polisi
untuk menyerahkan Sukarno hidup‐hidup ke tangan pembesar di Padang. Karena itu mari, marilah kita
tidur dan biarlah polisi menjaga keselamatan kita. ya ?”
Di subuh itu kami sarapan dengan buah‐buahan dari hutan, nasi dari persediaan yang dibawa oleh
pengawal kami dan singkong sedikit. Hari masih gelap ketika kami kembali mengayunkan langkah.
Menjelang siang kami jumpai sebuah sungai mengalir. Mandilah kami dengan pakaian yang lekat di badan
di air yang jernih dan sejuk itu dan melepaskan dahaga sepuas‐puas hati. Masuk sedikit lagi ke dalam
semak‐belukar, dikelilingi oleh sawah yang terhampar, ada sebuah dangau. Kami memasuki dangau itu
untuk tidur‐tiduran sekedar pelepas kelelahan.
Kami dapat mendengar gemerisik binatang liar pada dedaunan yang tidak bergerak dan kami melangkahi
jejak harimau yang tak terhitung banyaknya, namun satu‐satunya binatang yang menghalangi jalan kami
ialah siamang. Kami melihat siamang hampir sebesar orang hutan berdiri tegak seperti manusia. Berdiri di
atas kakinya yang belakang binatang‐binatang itu mendekati kami, pada waktu kami lewat dengan
langkah yang berat. Akan tetapi kami tidak diapa‐apakan, selain daripada jantung kami yang memukulmukul
dada dengan keras.
Dengan menggunakan korek api yang dibawa oleh polisi, kami memasak nasi dalam kaleng, memasukkan
sayuran ke dalamnya dan menambahkan ikan yang ditangkap dari sungai. Ini dibagi diantara kami yang
sepuluh orang. Makanan ini tidaklah mewah, tapi kami juga tidak mati kelaparan karenanya. Inggit terlalu
amat lelah, sehingga pada suatu kali ia makan sambil berdiri. “Aku terlalu capek,” ia mengeluh panjang
sambil bersandar lesu ke tebing suatu lurah yang sedang kami lalui. “Kalau aku duduk, takut nanti tidak
bisa lagi berdiri.”
Di hari ketiga salah seorang polisi Belanda menyerah karena putus asa dan kehabisan tenaga. Kami hanya
memikirkan diri kami sendiri, tetapi, di samping matahari yang membakar, haus, kehabisan tenaga dan
gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Mereka tidak ada melakukan
tindakan yang kejam terhadap kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang yang menawan,
kami semua sama merasakan pahit getirnya perjalanan. Tetapi jarang terjadi percakapan. Tiada manusia
yang lewat dan kami tidak merasakan kegembiraan. Aku sendiri berusaha untuk berolok‐olok. Sudah
menjadi pembawaanku untuk selalu bergembira, betapapun suasananya. “Sekalipun ada penyerbuan,
akan tetapi saya berterimakasih kepada saudara‐saudara, karena sudah memperlihatkan daerah
pedalaman ini kepada saya,” aku berolok‐olok.
Seorang yang pendek dan botak tersenyum, “Selama empat tahun di Bengkulu apakah tuan tidak pernah
melangkah keluar batas yang dijaga kuat untuk tuan ?”
“Ada, sekali. Saya membuat suatu cerita sandiwara yang dipertunjukkan pada malam amal di suatu
tempat diluar batas. Ini terjadi tepat setelah Residen baru menggantikan pejabat lama yang saya kenal
baik. Orangnya sejenis manusia yang menghamba kepada.peraturan. Saya bertanya kepadanya, ‘Tuan
Residen, dapatkah tuan mengizinkan saya untuk pergi ke tempat ini yang terletak sedikit diluar batas ?”
“Untuk memutuskan sendiri mengenai persoalan yang sangat penting ini rupanya tidak mungkin baginya.
Karena itu dia bersusah payah mengirim telegram kepada Gubernur Jendral di Jawa. Lalu apa jawab
Gubernur Jendral. Dia menelegram kembali, menyatakan kegembiraannya mendengar semua itu.
Katanya, ‘Saya gembira mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannya
pada pertunjukan sandiwara? Apakah ini tidak menggelikan?!”
Polisi itu terpaksa tertawa menunjukkan penghargaan. Ketika Riwu meluncur dari pohon kelapa dan
membelah kelapa sehingga kami dapat menikmati airnya yang segar, aku menceritakan kisah Manap
Sofiano, seorang pemain yang menjalankan peran primadona dalam pertunjukanku.
“Suatu hari dia membeli piano dalam lelang dan menyampaikan kepada tukang lelang, ‘Sukarno akan
menjamin pembayarannya.’ ‘O, baik,’ jawab orang itu setuju, ‘kalau tuan kawan dari Sukarno, baiklah.’
Tiga bulan kemudian Sofiano mengepak barang‐barangnya hendak pindah. Sebelum dia pergi saya
katakan, ‘Hee, tinggalkan dulu surat perjanjian yang diketahui oleh kepala kampung dan yang
menyatakan bahwa engkau berjanji hendak membayarnya. Dengan begitu, kalau sekiranya kaulupa, saya
mempunyai dasar yang sah.’
“Setelah berbulan‐bulan tidak ada kabar‐berita dari Sofiano, saya menulis surat kepadanya, ‘Sudah
sampai waktunya. Bayar sekarang, kalau tidak, akan saya ajukan ke depan pengadilan.’ Sofiano kemudian
membalas, ‘Saya tidak menyusahkan diri saya sendiri, akan tetapi saya mempunyai lima orang anak.
Kalau saya masuk penjara, mereka akan terlantar.’
“Tentu saya tidak mau menyakiti anak‐anak yang tidak bersalah, jadi apa lagi yang dapat saya lakukan?
Saya kemudian membayar utang sejumlah 60 rupiah itu. Disamping itu,” aku tersenyum meringis, “dia
seorang pemain yang baik, sehingga saya dapat mema’afkan segala‐galanya.”
Dengan percakapan ringan demikian ini aku mencoba menaikkan semangat pasukan kami yang melarat
itu. Di hari yang keempat kami terlepas dari daerah hutan dan menumpang bis menuju kota. Bertepatan
dengan kedatanganku, kapal yang direncanakan untuk mengangkut kami telah meledak menjadi sepihan
dekat pulau Enggano, tidak jauh dari pantai. Tentara Jepang berada dalam jarak beberapa hari perjalanan
di belakang kami. Angkatan laut Jepang sudah berada beberapa mil dari kami.
Kota Padang diselubungi oleh suasana chaos, suasana bingung dan ragu. Hanya dalam satu hal orang
tidak ragu lagi, yaitu bahwa Belanda penakluk yang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para
pedagang meninggalkan tokonya. Terjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup. “Lihat,” kata
seorang Belanda, yang tingginya satu meter delapan puluh lima, mengejek ketika dia hendak lari
membiarkan kami tidak dilindungi, ,Belum lagi kami pergi, kamu orang Burniputera sudah tidak sanggup
mengendalikan diri sendiri.”
Tentara Belanda mencoba untuk mengangkutku dengan pesawat terbang, akan tetapi semuanya terpakai
atau rusak. Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menyelamatkan Sukarno. Persoalan
Negeri Belanda sekarang adalah bagaimana menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka seperti pengecut,
mereka lari pontang panting. Belanda membiarkan kepulauan ini dan rakyat Indonesia jadi umpan tanpa
pertahanan. Tidak ada yang mempertahankannya, kecuali Sukarno. Negeri Belanda membiarkanku
tinggal. Ini adalah kesalahan yang besar dari mereka.
Sesampai di hotel aku mengatakan pada Inggit, “Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu. disini.”
Dimana‐mana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburu‐buru pada detik‐detik terakhir.
“Kau mau kemana?” tanya Inggit gemetar ketakutan.
“Kawanku Waworuntu tinggal disini. Aku harus mencarinya dan berusaha mencari tempat tinggal.”
Waworuntu menyambutku dengan tangan terbuka. Dia mernelukku. “Sukarno, saudaraku,” dia berteriak
dan air mata mengalir ke pipinya. “Saya mendapat rumah bagus disini dan banyak kamarnya, tapi saya
sendirian saja. Isteri saya dan anak‐anak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saya. Bawalah
keluarga Bung Karno kesini …. bawalah kesini dan anggaplah ini rumah Bung sendiri.” Orang yang baik
hati ini dengan kemauannya sendiri pindah dari kamar‐tidurnya yang besar di depan di sebelah ruang
tarnu, dan mengosongkannya untuk Inggit dan aku.
Ini terjadi beberapa hari sebelum Balatentara Kerajaan Dai Nippon menduduki Padang. Ketika aku
berjalan‐jalan di sepanjang jalan aku menyadari, bahwa saudara‐saudaraku yang terlantar, lemah, patuh
dan tidak mendapat perlindungan perlu dikurnpulkan. Tidak ada seorangpun yang mengawasinya. Tidak
seorangpun, kecuali Sukarno. Tindakan‐tindakan yang benar adalah usaha untuk memenuhi bakti kepada
Tuhan. Aku menyadari, bahwa waktunya sudah datang lagi bagiku untuk terus maju dan mendjawab
Panggilan itu. Segera aku mengambil oper tampuk pimpinan.
Disana ada suatu organisasi dagang setempat. Aku menemui ketuanya dan dia berusaha mengumpulkan
orang‐orangnya. Kemudian aku menyuruh Waworuntu ke satu jurusan dan Riwu ke jurusan lain untuk
mengumpulkan yang lain. Diadakanlah rapat umum di lapangan pasar. Disana aku membentuk Komando
Rakyat yang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk menjaga ketertiban. “Saudarasaudara,”
aku menggeledek dalam pidatoku yang pertama semenjak sembilan tahun, “Saya minta kepada
saudara‐saudara untuk mematuhi tentara yang akan datang. Jepang mempunyai tentara yang kuat.
Sebaliknya kita sangat lemah. Tugas saudara‐saudara bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak
mempunyai senjata. Kita tidak terlatih untuk berperang. Kita akan dihancurleburkan, jikalau kita
mencoba‐coba untuk melakukan perlawanan secara terang‐terangan.
“Orang yang tidak bersenjata tidak mungkin melawan prajurit‐prajurit yang puluhan ribu, akan tetapi
sebaliknya ingatlah saudara‐saudara, sekalipun semua tentara dari semua negeri di seluruh jagad ini
digabung menjadi satu tidak akan mampu untuk membelenggu satu jiwa yang tunggal, karena ia telah
bertekad untuk tetap merdeka. Saudara‐saudara, saya bertanya kepada saudara‐saudara semua :
Siapakah yang dapat membelenggu suatu rakyat jikalau semangat rakyat itu sendiri tidak mau
dibelenggu?
“Kita harus mencari kemenangan yang sebesar‐besarnya dari musuh ini. Maka dari itu, saudara‐saudara,
hati‐hatilah. Rakyat kita harus diperingatkan supaya jangan mengadakan perlawanan. Walaupun
bagaimana, hindarkanlah pertumpahan darah di saat‐saat permulaan. Jangan panik. Saya ulangi : jangan
panik. Ketentuan pertama yang diberikan oleh pemimpinmu adalah untuk mentaati orang Jepang. Dan
percaya. Percaja kepada Allah Subhanahuwata’ala, bahwa Ia akan membebaskan kita.”
Rapat itu diakhiri dengan do’a bersama kang kupimpim sendiri sebagai Imam. Orang Islam tidak dapat
mengkhotbahkan atau mengadukan isi daripada do’a. Ia harus pasti. Kata demi kata. Sampai pada satu
titik, disebabkan karena dadaku terlalu bergolak, aku lupa kata‐kata dari Ayat selanjutnya dan di hadapan
ribuan orang yang menunggu‐nunggu lanjutannya aku mendesis kepada seorang Haji yang duduk bersila
dekat itu,
“Ehh — apa lagi terusnya?”
Do’a itu berakhir, rakyat bubar, aku kembali ke rumah Waworuntu dan menunggu. Aku tidak perlu lama
menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu jam empat pagi. Mungkin juga jam lima. Aku
berbaring di tempat tidur, akan tetapi aku tidak tidur. Pikiranku tegang. Mataku nyalang sama sekali.
Malam itu adalah malam yang sunyi sepi. Tiada terdengar suara yang ganjil. Sesungguhnya, pun tidak
terdengar suara yang biasa. Keluargaku tidur dengan tenang. Tiba‐tiba mereka terbangun oleh bunyi
yang semakin santer. Mula‐mula menderu seperti guntur. Suara yang menggulung‐gulung itu semakin
keras, semakin keras, semakin keras lagi. Bunyi yang menakutkan dan membikin badan jadi dingin
membeku adalah gunturnya kereta‐kereta berlapis baja dan tank‐tank dan balatentara berjalan‐kaki
berbaris memasuki kota Padang.
Jepang sudah datang.

JEPANG MENDARAT
Bab XVIII: Jepang Mendarat
UDARANYA panas malam itu, akan tetapi aku berbaring di sana dengan badan gemetar. Aku melihat
sambaran petir ini sebagai gemuruhnya pukulan genderang kebangkitan. Ia adalah tanda berakhirnya
suatu jaman.
Esok paginya aku bangun di waktu subuh dan berjalan dengan tenang sepanjang jalanan kota. Jepang
membuka toko‐toko dengan paksa tanpa ada yang menjaga. Perbuatan ini menggerakkan hati rakyat
untuk menyerbu isi toko‐toko itu. Kesempatan pertama bagi rakyat yang miskin untuk menikmati
kemewahan. Dalam pada itu Jepang dengan cerdik memerintahkan polisi Belanda untuk menertibkan
keadaan di jalan‐jalan, dengan demikian menambah kebencian terhadap kekuasaan kulit putih.
Di setiap jalanan Jepang disambut dengan sorak‐sorai kemenangan.
“Apa sebabnya ini!” tanya Waworuntu.
“Rakyat benci kepada Belanda. Lebih‐lebih lagi karena Belanda lari terbirit‐birit dan membiarkan kita
tidak berdaya. Tidak ada satu orang Belanda yang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri
ini. Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah yang penghabisan, tapi nyatanya lari
ketakutan.”
“Coba pikir,” kataku ketika kami melangkah pelahan. “Faktor pertama yang menyebabkan penyambutan
yang spontan ini adalah adanya perasaan dendam terhadap tuan‐tuan Belanda, yang telah dikalahkan
oleh penakluk baru. Kalau engkau membenci seseorang tentu engkau akan mencintai orang yang
mendupaknya keluar. Disamping itu, tuan‐tuan kulit putih kita yang sombong dan maha kuat itu
bertekuk‐lutut secara tidak bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakyat menyambut
Jepang sebagai pembebas mereka.”
Waworuntu, kawan baik dan kawanku yang sesungguhnya, yang sekarang sudah tidak ada lagi, melihat
tenang kepadaku.
“Dan apakah Bung juga menyambutnya sebagai pembebas?
“Tidak! Saya tahu siapa mereka. Saya sudah melihat perbuatan mereka di masa yang lalu. Saya tahu
bahwa mereka orang Fasis. Akan tetapi sayapun tahu, bahwa inilah saat berakhirnya Imperialisme
Belanda. Pun seperti yang saya ramalkan, kita akan mengalami satu periode pendudukan Jepang, disusul
kemudian dengan menyingsingnya fadjar kemerdekaan, dimana kita bebas dari segala dominasi asing
untuk selama‐lamanya.”
Di seberang jalan kami lihat serdadu Jepang memukul kepala seorang Indonesia dengan popor senapan.
“Lalu maksud Bung akan memperalat Jepang” tanya Waworuntu dengan cepat.
Kami terus berjalan. Kami tidak dapat berbuat apa‐apa. “Sudah tentu,” jawabku dengan suara redup.
“Saya mengetahui semua tentang kekurangajaran mereka. Saya mengetahui tentang kelakuan orang
Nippon di daerah pendudukannja — tapi baiklah. Saya sudah siap sepenuhnya untuk menjalani masa ini
selarna beberapa tahun. Saya harus mempertimbangkan dengan akal kebijaksanaan, apa yang dapat
dilakukan oleh Jepang untuk rakyat kita.”
Kita harus berterimakasih kepada Jepang. Kita dapat memperalat mereka. Kalau manusia berada dalam
lobang Kolonialisme dan tidak mempunyai kekuatan yang radikal supaya bebas dari lobang itu atau untuk
mengusir penjajahan, sukar untuk mengobarkan suatu revolusi.
Waworuntu memandangku, matanja terbuka lebar. Kebenaran kata‐kata itu nampak meresap dalam
hatinya. “Coba pikir, Bung,” kataku, “Keadaan chaos, suasana kebingungan dan perasaan yang menyalanyala
ini, ataupun perubahan ini sendiri — perlu sekali guna mencapai tujuan, untuk mana saya
membaktikan seluruh hidupku.” Kami terus berjalan, bungkem. Masing‐masing sibuk dengan pikiran
sendiri. Kemudian kawanku memberikan pendapat, “Mungkin rakyat kita akan selalu memandangnya
sebagai pembebas dan tetap tinggal pro‐Jepang, dan oleh sebab itu akan mempersulit usaha untuk
melepaskan negeri kita dari cengkeramannya.” Tidak mungkin,” jawabku menerangkan. “Pandirlah suatu
bangsa penjajah kalau mereka mengimpikan akan dicintai terus atau mengkhayalkan bahwa masyarakat
yang terjajah akan tetap puas dibawah telapak dominasinya. Tidak pandang betapa lemah, mundur atau
lalimnya penjajah yang lama dan tidak pandang betapa baiknya penjajah yang baru dalam tingkah laku
atau kecerdasannya, maka rakyat yang sekali sudah terjajah selalu menganggap hilangnya dominasi asing
sebagai pembebasan. Inipun akan terjadi disini.”
“Kapan ini akan terjadi ?”
“Kalau kita sudah siap,” kataku ringkas.
Aku tidak mengadakan gerakan. Aku hanya menunggu. Sehari kemudian, Kapten Sakaguchi, Komandan
dari daerah Padang datang ke rumah Waworuntu dan memperkenalkan dirinya. Berbicara dalam bahasa
Perancis, ia berkata, ,,Est‐ce vous pouves parler Francais “
“Oui,” jawabku. ,,Je sais Francais.”
“Je suis Sakaguchi,” katanya.
“Bon,” kataku.
Bungkem sesaat, lalu, ,,Vous etes Ingenieur Sukarno, n’est‐ce pas?”
,,Oui. Vous avez raison.”
Menunjukkan tanda pengenal resminya ia menerangkan, ,,Saya anggota dari Sendenbu, Departemen
Propaganda.”
“Apakah yang tuan kehendaki dari saya?” aku bertanya dengan hati‐hati.
“Tidak apa‐apa. Saya mengetahui bahwa saya perlu berkenalan dengan tuan dan begitulah saya datang.
Hanya itu. Saya datang bukan menyampaikan perintah kepada tuan.” Sakaguchi tersenyum lebar.
Agaknya tidak perlu bagi seorang penakluk untuk bersikap begitu menarik hati karena itu aku bertanya,
“Mengapa tuan justru datang kepada saya?”
“Menemui tuan Sukarno yang sudah terkenal adalah tugas saya yang pertama. Kami mengetahui semua
mengenai tuan. Kami tahu tuan adalah pemimpin bangsa Indonesia dan orang yang berpengaruh.”
“Itukah sebabnya tuan menemui saya disini, dan bukan meminta saya datang ke kantor tuan ?” Betul,” ia
membungkuk. ,,Suatu kehormatan bagi kami untuk menghargai tuan sebagaimana mestinya. Tuan
Sukarno terkenal di seluruh kepulauan ini.”
“Boleh saya bertanya dari mana tuan mendapat keterangan ini ?”
“Tuan lupa, tuan Sukarno, sebelum perang banyak orang Jepang tinggal disini dan banyak yang kembali
kesini dalam tentara Jepang.”
,,Oo.”
“Kami mempunyai jaring mata‐mata yang paling rapi. Kami mengetahui segala‐galanya mengenai semua
orang, begitu pula tempat‐tempatnya. Segera setelah menduduki Bengkulu kami menyelidiki dimana
tuan berada. Tindakan kami, yang pertama‐tama ialah untuk datang kepada tuan.”
“Dan tindakan yang kedua?”
“Menjaga tuan.”
Ketika tentara Jepang datang, Padang mengibarkan bendera Merah Putih. Rakyat menyangka mereka
“dibebaskan”. Setelah berabad‐abad larangan, sungguh menggetarkan hati menyaksikan bendera kami
Sang Merah‐Putih yang suci itu melambai‐lambai dengan megahnya. Akan tetapi tidak lama, segera
keluar pengumuman yang ditempelkan di pohon‐pohon dan di depan toko‐toko, bahwa hanyalah
bendera Matahari Terbit yang boleh dikibarkan. Serentak dengan kejadian ini, yang terasa sebagai suatu
tamparan, Jepang menguasai surat‐surat kabar. “Pembebasan” kota Padang tidak lama umurnya.
Aku pergi ke kantor Sakaguchi dan minta agar perintah penurunan bendera itu diundurkan. “Perintah ini
sangat berat untuk kami terima dan akan mempersulit keadaan,” kataku. “Kalau tidak dilakukan secara
sebijaksana mungkin hal ini dapat memberi akibat yang serius untuk kedua belah pihak.”
Sakaguchi menunjukkan bahwa ia mengerti persoalan itu, akan tetapi memperingatkan. “Barangkali, tuan
Sukarno, hendaknya jangan terlalu menunda‐nunda hal ini.”
Ini adalah hari yang gelap bagi rakyat dan bagi Sukarno. Mula‐mula aku pergi ke mesdjid dan aku
sembahyang. Kemudian dalam suatu rapat aku menginstruksikan kepada saudara‐saudaraku untuk
menurunkan bendera sampai “datang waktunya dimana kita dapat mengibarkan bendera kita sendiri,
bebas dari segala dominasi asing.”
Setiap bendera turun ke bawah. Aku benci kepada Hitler, akan tetapi kejadian ini dengan tidak sadar
mengingatkan daku pada salah satu ucapannya: Gross sein heisst es Massen bewegen k.nnen” Besarlah
seseorang yang mampu menggerakkan massa untuk bertindak. Kalau bukan Sukarno yang berbicara,
mungkin mereka akan berontak, karena terlalu tiba‐tiba seperti tersentak dari tidur mereka menyadari,
bahwa putera‐putera dari negara Matahari‐Terbit bukanlah pahlawan‐pahlawan sebagaimana mereka
bayangkan. Dan aku kuatir akan terjadinya pemberontakan. Kami adalah rakyat yang tidak
berpengalaman untuk pada saat itu biasa menendang kekuatan yang terlatih baik seperti tentara Jepang.
Tiga hari kemudian Sakaguchi datang lagi. Sekali lagi kami berbicara dalam bahasa Perancis. Berbulanbulan
kemudian aku baru mengetahui, bahwa Sakaguchi pandai berbahasa Indonesia. “Monsicur
Sukarno,” katanya
“Saya membawa pesan. Le Commandant de Bukittinggi memohon kehadiran tuan.”
“Memohon?” aku mengulangi.
“Oui, Monsieur. Memohon.”
Dari sikap kapten Sakaguchi yang merendah jelaslah, bahwa ketakutan Belanda akan menjadi kenyataan.
Jepang akan mengusulkan agar supaya aku bekerja dengan mereka. Komandan dari divisi yang kuat itu
yang memasuki kota Padang di malam pendaratan adalah Kolonel Fujiyama, Komandan Militer kota
Bukittinggi. Dialah yang minta disampaikan supaja “memohon” tuan Sukamo untuk datang.
Tuan Sukarnopun datang.
Kami berangkat dengan kereta api dan dengan cepat tersiar kabar, bahwa Sukarno ada dalam kereta api.
Mereka yang berada dalam gerbong kami menyampaikan kepada gerbong‐gerbong yang lain. Ketika
berhenti di Padang panjang setiap orang di pelataran stasiun mulai bersorak memanggil Sukarno.
Gerbong kami diserbu orang, sehingga aku terpaksa mengeluarkan kepalaku di jendela dan berpidato
dengan singkat untuk menenangkan rakyat. Tak satupun dari ini yang tidak berkesan pada Sakaguchi.
Jauhnya satu setengah jam perjalanan ke kota pegunungan yang sejuk itu. Pusat dari Minangkabau ini
terkenal dengan bendinya yang riang menyenangkan dan digunakan sebagai alat angkutan di jalanan
yang mendaki. Dan ia terkenal dengan rumah adat bergonjong bewarna‐warni, simbolik daripada seni
bangunan Minangkabau.
Bukittinggi adalah kota yang sangat penting. Letaknya strategis, dan hanya dapat dicapai dari tiga
jurusan, dan letaknya di daerah pegunungan itu sedemikian, sehingga penduduknya menguasai semua
lalu lintas keluar masuk. Markas Kolonel Fujiyama, gedung besar bekas kepunyaan seorang Belanda yang
kaya, pun terletak secara strategis. Letaknya ketinggian di atas puncak Lembah Ngarai, sebuah lembah
yang dalam dengan bukitnya yang tinggi pada kedua belah sisinya berbentuk dinding batu terjal dan
gundul menjulang kea tas. Di bawah, di dalam lembah itu merentang seperti pita sebuah sungai yang
dengan seenaknya mencari jalannya sendiri. Di sekeliling Ngarai itu tumbuh pepohonan dan tumbuhan
menghijau dengan lebat. Kalau orang memandang keluar, dari jendela rumah Fujiyama, beribu‐ribu kaki
jauhnya ke bawah terlihatlah suatu pemandangan indah yang sangat mengagumkan.
Disanalah aku mengadakan pertemuan yang sampai sekarang tidak banyak orang mengetahuinya, akan
tetapi sesungguhnya merupakan pertemuan yang maha penting. Pertemuan yang sangat besar artinya.
Pertemuan yang menentukan strategiku selanjutnya selama peperangan. Pertemuan yang sampai
sekarang memberikan cap kepadaku sebagai “Kollaborator Jepang”
Komandan Fujiyama berbicara dalam bahasanya. Di dalam ruangan itupun hadir seorang juru bahasa
berkebangsaan Amerika yang dibawa mereka ke Singapura. “Tuan Sukarno,” kata Fujiyama sambil
menyilakanku duduk. “Peperangan ini bertujuan untuk membebaskan Asia dari penaklukan kolonialisme
Barat.”
Aku menyadari, bahwa mereka sedang menduga isi hatiku dan aku memilih kata‐kataku dengan hati‐hati
sekali. Setiap patah kata yang keluar dari mulutku akan mereka saring, mereka timbang‐timbang dan
mereka uji. Aku mengetahuinya. “Orang Jepang mempunyai satu semboyan yang berbunyi, ‘Asia. Bebas’.
Benarkah ini?” tanjaku setelah beberapa saat.
“Ya, tuan Sukarno,” sahutnya sambil menyodorkan rokok kepadaku. “Itu benar.”
Dengan lamban kuisap rokok itu dan kemudian berkata seperti tidak acuh, “Dan apakah tuan bermaksud
hendak berpegang pada semboyan itu?”
“Ya, tuan Sukarno, kami akan berpegang pada semboyan itu,” katanya memandang kepadaku dengan
teliti.
“Yah, kalau begitu, apakah tuan berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bagian dari Asia?”
“Tentu, tuan Sukarno.”
Aku menarik napas panjang. “Kalau demikian, saya dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan tuan juga
hendak membebaskan Indonesia, betulkah itu?”
Belum sampai satu debaran jantung antaranya, “Ya, tuan Sukarno. Tepat sekali.”
Sementara berlangsung pembicaraan tingkat tinggi ini seorang pradjurit Jepang berperawakan kecil
beringsut menyuguhkan air teh. Syarafku sangat tegang dan aku mencarik‐carik kuku jariku, suatu
kebiasaanku kalau sedang gelisah. Kami menunggu sampai bunyi mangkok teh yang gemerinting tidak
terdengar lagi. Bahkan setelah pradjurit itu pergi, bunyi gemerincing seolah‐olah masih saja mengapung
di udara yang hening. Setidak‐tidaknya, dalam diriku. Gigiku dan tulang‐belulangku semua gemerincing.
Hidup atau matinya tanah airku tergantung kepada sukses atau tidaknya pembicaraan ini.
Setelah dia pergi, Fujiyama kemudian melanjutkan. “Di dalam rangka pengertian inilah kami ingin
mengetahui, apakah tuan mempunyai keinginan untuk memberikan bantuan kepada tentara Dai Nippon.”
“Dengan cara bagaimana ?”
“Dalam memelihara ketenteraman.”
“Bolehkah saya bertanya, bagaimana caranya saya seorang diri dapat memelihara ketenteraman untuk
tentara Jepang?”
Panglima Tentara ke 25 dari Angkatan Darat Keradjaan Jepang ini tersenjum. Pada tingkatannya mereka
banyak melakukan seperti ini. “Kami mengetahui, bahwa Sukarno sendirilah yang menguasai massa
rakyat.
Karena itu, cara yang paling mudah untuk mendekati rakyat adalah mendekati Sukarno. Tugas kami
bukanlah untuk mendekati rakyat Indonesia yang berjuta‐juta. Tugas kami adalah untuk memenangkan
satu orang Indonesia. Yaitu, tuan sendiri. Harapan kami agar tuan mendekati rakyat yang jutaan itu untuk
kami.”
Sikapnya memperlihatkan dengan jelas, bahwa dia harus memenangkan Sukarno. Di luar, di jalanan
rakyat kami tidak lagi bersorak‐sorai begitu keras menyambut rakyatnya. Kegembiraan yang pertama
sudah mulai luntur. Dia tahu, kalau dia berbalik menentangku dan melukaiku dengan salah satu jalan,
kalau dia mendoba‐doba memaksaku, seluruh rakyat akan bangkit melawannya. Jepang memerlukan
tenagaku dan ini kuketahui. Akan tetapi akupun memerlukan mereka guna mempersiapkan negeriku
untuk suatu revolusi.
Ini tidak ubahnya seperti permainan volley. Hanya yang dipertarungkan itu adalah kemerdekaan. Kolonel
Fujiyama pertama memukul bola. Sekarang giliranku. Tuhan, aku mendo’a dalam hati, tunjukkanlah
kepadaku, jalan yang benar.
“Nah,” kataku. “Sekarang saya mengetahui apa yang tuan inginkan, saya kira tuan mengetahui keinginan
saya.”
“Tidak, tuan Sukarno, saya tidak tahu. Apakah sesungguhnya yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia.?”
“Merdeka.”
“Sebagai seorang patriot yang mencintai rakyatnya dan menginginkan kemerdekaan mereka, tuan harus
menyadari bahwa Indonesia Merdeka hanya dapat dibangun dengan bekerja sama dengan Jepang,” ia
membalas.
“Ya,” aku mengangguk. “Sekarang sudah jelas dan terang bagi saya bahwa tali hidup kami berada di
Jepang …… Maukah pemerintah tuan membantu saya untuk kemerdekaan Indonesia?”
“Kalau tuan menjanjikan kerjasama yang mulak selama masa pendudukan kami, kami akan berikan janji
yang tidak bersyarat untuk membina kemerdekaan tanah air tuan.”
“Dapatkah tuan menjamin bahwa, selama saya bekerja untuk kepentingan tuan, saya juga diberi
kebebasan bekerja untuk rakyat saya dengan pengertian, bahwa tujuan saya jang terakhir adalah di satu
waktu ……. dengan salah‐satu jalan …….. membebaskan rakyat dari kekuasaan Belanda —
maupun Jepang?”
“Kami menjamin. Pemerintah Jepang tidak akan menghalang‐halangi tuan.”
Aku memandang kepadanya. Kami saling berpandangan. Saling menakar isi‐hati satu sama lain.
“Jadi, tuan Sukarno,” ia melanjutkan menyatakan pengakuannya dengan hati‐hati. “Saya seorang
penguasa pemerintahan. Negeri tuan adalah suatu bangsa dengan latar kebudayaan, keturunan, agama
dan berbagai adat kebiasaan Jawa, Bali, Hindu, Islam, Buddha, Belanda, Melayu, Polynesia, Tiongkok,
Filipina, Arab dan lain‐lain. Negeri tuan terbentang luas. Perhubungan dari satu ke tempat lain sukar.
Tugas saya adalah untuk mengendalikan daerah ini dalam keadaan tertib dan lancar dengan segera. Cara
yang paling tepat ialah dengan memelihara ketenteraman rakyat dan menjalankan segala sesuatu dengan
harmonis. Untuk mencapai tujuan ini, kepada saya disampaikan bahwa saya harus bekerja dengan
Sukarno. Sebaliknya saya menjanjikan kerjasama yang resmi dan aktif di dalam bidang politik.”
Mau tidak mau aku harus mempercayai orang yang berperawakan kecil ini, oleh karena aku melihat kunci
persoalan ada di tangannya. “Baiklah,” kataku. “Kalau ini yang tuan janjikan, saya setuju. Saya akan
berikan bantuan saya sepenuhnya. Saya akan menjalankan propaganda untuk tuan. Tapi hanya kalau ia
berlangsung menurut garis menuju pembebasan Indonesia dan hanya dengan pengertian, bahwa sambil
bekerjasama dengan tuan sayapun berusaha untuk memperoleh kemerdekaan bagi rakyat saya.”
“Setuju,” katanja.
“Jjuga dengan pengertian bahwa janji, dalam mana saya tetap tidak dikekang dalam usaha saya yang
tidak henti‐hentinya untuk nasionalisme, tidak hanya diketahui oleh tuan sendiri melainkan juga oleh
seluruh Komando Atasan.”
“Pemerintah saya tentu akan diberitahu mengenai hal itu. Di atas dasar inilah kita bekerjasama, saling
bantu‐membantu satu sama lain.”
Sebagai kelanjutan dari pertemuan yang bersejarah ini yang berlangsung selama dua jam, mereka
menjajikan sukiyaki. Inilah pertama kali aku mencobanya. Dan rasanya enak sekali, kukira.
Keinginan mereka untuk bersikap ramah‐tamah tidak berakhir sampai disini saja. Aku tidak disuruh pergi,
melainkan ditanyai kapan bermaksud hendak pulang. “Setelah menunjukkan bahwa aku sudah siap, aku
diiringkan sampai di luar. Disana Sakaguchi memandangku dengan muka berseri, “Izinkan kami untuk
menyediakan kendaraan untuk tuan,” dan menunjuk ke arah sebuah mobil Buick hitam berkilat.
Kendaraan seperti ini tidak banyak terdapat di Bukittinggi, jadi ini sudah pasti diambil dari seorang
saudagar kaya dan dimanapun ia berada disaat ini, tentu ia tidak dapat melakukan perjalanan pakai
kendaraan.
“Buick ini adalah untuk tuan,” Sakaguchi membungkuk dengan hormat, “Diserahkan kepada tuan selama
tuan menghendakinya.”
Kusampaikan padamu, kawan, aku sungguh‐sungguh bangga. Inilah aku, baru saja lepas dari
pembuangan, sebuah Buick yang cantik menantikanku. Sudah tentu ia tidak ada bensin. Isinya hampir
tidak cukup untuk dilarikan ke Padang. Mereka telah memberikan kehormatan kepadaku, mereka
memberiku makan dan mereka telah memberiku kendaraan —akan tetapi tidak ada bensin.
Kawan‐kawan — dan mereka yang bukan kawanku, akan tetapi yang kuharapkan dapat memahami
Sukarno lebih baik setelah membaca buku ini — ini adalah pertamakali aku menceritakan kisahku tentang
bagaimana, bilamana dan dimana, dan mengapa aku mengambil keputusan untuk menyeret diriku
berdampingan dengan Jepang. Boneka ….. pengkhianat ….. aku tahu semua kata‐kata itu. Akan tetapi
jika tidak dengan syarat, bahwa mereka turut membantu dalam usaha mencapai kebebasan negeriku, aku
pasti takkan melakukannya. Sampai kepada detik ini hal ini tak pernah diterangkan sebagaimana
mestinya. Dunia luar tidak mengerti. Mereka hanya tahu Sukarno seorang collaborator. Bagiku untuk
menuntut lebih banyak lagi kebebasan‐kebebasan politik, aku terpaksa mengerjakan berbagai hal yang
merobek‐robek jantungku. Dengan hati yang berat aku melakukannya. Kalau aku tidak menepati janjiku,
mereka tidak akan menepati janji mereka pula.
Di suatu pagi Sakaguchi datang kepadaku. Dia menyenangkan, akan tetapi keras. “Kami menghadapi
persoalan beras yang rumit,” katanya dengan berkerut. “Nampaknya beras di Padang susah. Sebenarnya
hampir tidak ada. Saya memberi peringatan kepada tuan, kalau orang Jepang tidak dapat beras, orang
Indonesia tidak akan dapat apa‐apa. Bukanlah keinginan kami untuk mengambil dengan kekerasan dari
orang‐orang yang mengendalikannya, oleh karena tindakan ini akan menimbulkan kekacauan dan
bertentangan dengan cara kerjasama yang kita usahakan. Setidak‐tidaknya cara yang baik, yang sampai
sekarang telah kita coba untuk melakukannya. Tentu ada jalan lain, tuan Sukarno, karena saya yakin tuan
mengetahui. Saya menyarankan, supaya tuan mendesak rakyat kepala batu agar berpikir sedikit.”
Aku segera minta bantuan saudagar‐saudagar beras. Kuterangkan, bahwa aku memerlukan sekian ton
dan segera! Yah, selama masih Sukarno yang memintanya, aku memperolehnya. Sebanyak yang kuminta
dan secepat yang kuingini. Memenuhi permintaanku berarti memecahkan persoalan setiap orang. Jepang
terhindar dari kelaparan. Bangsa Indonesia terhindar dari siksaan.
Suatu krisis yang lain ialah mengenai kehidupan seks dari para prajurit Jepang. Rupanya mereka tidak
memperoleh apa‐apa selama beberapa waktu. Ini adalah semata‐mata persoalan mereka, akan tetapi
mereka berada di tanah airku. Perempuan yang mereka inginkan untuk dirusak adalah perempuanperempuan
bangsaku. Suku Minangkabau orang yang ta’at beragama. Perempuannya dididik dan
dibesarkan dengan hati‐hati sekali. Kuperingatkan kepada Fujiyama, “Kalau anak buah tuan mencobacoba
berbuat sesuatu dengan anak‐anak gadis kami, rakyat akan berontak. Tuan akan menghadapi
pemberontakan besar di Sumatra.”
Aku menginsyafi, bahwa aku tidak dapat membiarkan tentara Jepang bermain‐main dengan gadis
Minang. Dan akupun menginsyafi, bagaimana sikap Jepang kalau persoalan ini tidak dipecahkan, dan aku
akan dihadapkan pada persoalan yang lebih besar lagi.
Kuminta pendapat seorang kiai. “Menurut agama Islam,” kataku memulai, “Laki‐laki tidak boleh
bercintaan dengan gadis, kalau dia tidak bermaksud mengawininya. Ini adalah perbuatan dosa.”
“Itu benar,” katanya.
Aku tidak seratus persen pasti bagaimana harus mengucapkan maksudku, karena itu aku berpikir
sebentar, lalu berkata, “Mungkinkah aturan ini dikesampingkan dalam keadaan keadaan tertentu?”
“Tidak. Tidak mungkin. Untuk Bung Karno sendiripun tidak mungkin,” protes orang alim itu dengan kaget.
Kemudian kubentangkan rencana itu. “Semata‐mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anakanak
gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan dari para
pelacur di daerah ini. Dengan demikian orang‐orang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan
menoleh untuk merusak anak gadis kita.”
“Dalam keadaan‐keadaan yang demikian,” kata orang alim itu dengan ramah, “sekalipun seseorang harus
membunuh, perbuatannya tidak dianggap sebagai dosa.”
Dengan berpegang kepada jaminan ini, bahwa rencanaku tidak akan ditafsirkan sebagai dosa yang besar,
maka aku mendatangi para pelacur. “Saya tidak akan menyarankan saudara‐saudara untuk melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaanmu,” aku menegaskan, “akan tetapi rencana ini sejalan
dengan pekerjaan saudara‐saudara sendiri.” “Saya dengar, Jepang kaya‐kaya dan royal dengan uang,”
salah seorang tertawa gembira, nampaknya senang dengan usulku ini. “Benar,” aku menyetujui. ,,Mereka
juga punya jam tangan dan perhiasan lainnya.”
“Saya menganggap rencana ini saling menguntungkan dalam segala segi,” ulas perempuan yang jadi juru
bicara. “Tidak hanya kami akan menjadi patriot besar, tapi ini juga suatu perjanjian yang
menguntungkan.”
Kukumpulkanlah 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang
dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi
tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilubangi. Barangkali cerita ini tidak
begitu baik untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknya tidak baik bagi seorang pemimpin dari
suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu perkataan untuk memberi
nama jenis manusia seperti itu. Akan tetapi persoalannya sungguh‐sungguh gawat ketika itu, yang dapat
membangkitkan bencana yang hebat. Karena itu aku mengobatinya dengan cara yang kutahu paling baik.
Hasilnyapun sangat baik, kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali
dengan rencana itu.
Oleh karena Jepang memerlukan tenagaku untuk memecahkan setiap persoalan pemerintahan, mereka
senantiasa berusaha supaya aku tidak kekurangan apa‐apa. Fujiyama menawarkan apa saja. Semua
tawaran kutolak. Aku menerima hanya yang perlu‐perlu saja.
Tugasku dalam menghubungi rakyat menghendaki untuk berkeliling mendatangi masyarakat yang jauhjauh.
Dalam mengadakan perjalanan keliling ini sudah tentu aku memercikkan harapan‐harapan kepada
kepala‐kepala setempat. Dan kepada rakyat. Dan menghidupkan kesadaran nasional mereka untuk hari
depan. Perjalanan ini memerlukan bensin.
Fujiyama dalam waktu‐waktu tertentu membekaliku dengan satu drum isi 200 liter. Diapun memberikan
kartu panjang yang dicoret‐coret dalam bahasa Jepang dengan memberikan keterangan, kalau pergi ke
tempat ini‐ini dan dijalan ini‐ini, aku akan diberi persediaan bensin. Sungguhpun demikian aku menjaga,
agar meminta tidak lebih daripada yang diperlukan. Seringkali orang‐orangku masuk duapuluh kilometer
ke daerah pedalaman untuk mencari gudang bensin yang disembunyikan oleh Belanda. Aku mencoba
setiap sesuatu dan segala sesuatu supaya tidak bergantung lebih banyak kepada Jepang. Tidak lupa
Fujiyama setiap kali bertanya, “Apakah tuan Sukarno memerlukan uang?”
Dan kujawab dengan, “Tidak, terimakasih. Rakyat memberikan segala‐galanya kepada saya. Ketika saya
sakit baru‐baru ini, tersebarlah berita kepada rakyat. Di jalan‐jalan terdengarlah rakyat meneruskan berita
dari yang satu kepada yang lain, ‘Hee, tablet calcium Bung Karno sudah habis. Dia memerlukan lagi. Coba
carikan.’ Dan dalam waktu satu jam diantarkanlah satu botol lagi kerumahku.
“Darimana diperolehnya?” dia bertanja tak acuh.
“Saya tidak tahu,” jawabku tak acuh pula. Yang tidak kusampaikan kepadanya ialah, bahwa di Padang
banyak orang Tionghoa punya toko yang bisa mencarikan apa saja kalau mereka mau. Dan kalau untuk
Sukarno mereka mau.
“Baiklah, apakah tuan Sukarno perlu rumah tempat tinggal yang lain?”
Dan aku menjawab, “Tidak, terimakasih. Saya tinggal di rumah Waworuntu tidak membayar. Rumah itu
cukup buat kami. Saya tidak memerlukan perlakuan yang istimewa.”
“Bolehkah saya membantu tuan dengan ajudan sebagai pembantu tuan?”.
“Tidak usah, terimakasih. Bangsa lain tidak dapat memahami cara bantuan kami yang diberikan dengan
sukarela, namun itulah cara kami. Saya mempunyai lebih dari cukup tenaga pembantu.” Seorang
wartawan setempat menjadi supirku. Namanya Suska. Suska, ketika buku ini ditulis, adalah Dutabesar
Indonesia di India. Seorang lagi yang pernah menjadi ketua Partindo dari daerah berdekatan bersedia
secara sukarela untuk memberikan tenaga tanpa bayaran. Gunadi, orang dari Bengkulu, bekerja sebagai
sekretaris penuh tanpa gaji.
Karena ia tidak dapat membujukku kecuali dengan bensin, maka Kolonel Fujiyama kemudian,
menanyakan kepada yang lain‐lain apa yang kuperlukan. Mereka selalu kuberitahu supaya menjawab,
“Terimakasih, Bung Karno tidak memerlukan apa‐apa. Rakyat memberikan apa saja yang diperlukannya.”
Aku tidak banyak minta, jadi kalau menuntut sesuatu biasanya aku memperolehnya. Dan tidak lama
kemudian aku mau tidak mau memulai dengan tuntutan. Tanggal 1 Maret Jepang menyerbu pulau Jawa
dengan cara yang sama seperti Sumatra: Belanda lari puntang‐panting. Jepang sekarang berkuasa atas
seluruh kepulauan Indonesia. Segera terasa kesombongan mereka.
Sebagai balasannya mulailah timbul kegiatan gerakan bawah tanah dari para nasionalis yang sangat anti
Jepang. Beberapa orang yang terlibat dalam sabotase dan permusuhan secara terang‐terangan ditangkap
oleh Polisi Rahasia yang sangat ditakuti. Salah satu dari yang malang ini kukenal baik. Namanya Anwar.
Orang ini disiksa. Kenpeitai ingin menjadikannya sebagai contoh perbuatan jahat, oleh karena dialah
orang subversif yang pertama‐tama ditangkap, Jepang mencabut kuku jarinya.
Aku cepat‐cepat pergi ke Bukittinggi dan menyimpan tasku di rumah Munadji seorang kawan, dan pergi
menemui para pembesar. Sementara itu pencuri memasuki rumah Munadji dan melarikan barangku yang
sedikit itu, karena aku tidak pernah punya barang banyak. Melayanglah tasku itu, di dalamnya kalung
emas kepunyaan Inggit dengan liontin pakai berlian.
Di Bukittinggi, kalau Sukarno mengagumi sesuatu maka pemilik toko memaksanya untuk menerima
barang itu tanpa bayaran. Di Bukittinggi, mereka hanya mau memberikan dan tidak mau menerima
sesuatu dariku. Jadi polisi menduga, pencuri itu tentu orang pendatang. Menjalarlah dari mulut ke mulut
bahwa Bung Karno menjadi korban pencurian dan dua hari kemudian harta itu kembali secara ajaib.
Untuk menghindari hukuman, si pencuri seorang Tionghoa bernama Lian, mengatur dengan seorang alim
untuk menyembunyikan barang itu di sudut sebidang sawah, setelah mana orang alim itu harus pergi
kesana untuk mendo’a dan …… lihat! dia menemukan milik Bung Karno. Begitulah kejadiannya .
Dua hari telah berjalan aku kembali memperjuangkan persoalan Anwar kepada Jepang. Kataku, “Saya
kenal baik kepadanya. Selama tuan menepati janji untuk kerjasama dengan aspirasi nasional Indonesia,
dia dan orang‐orang nasionalis yang lain tidak akan berkomplot menentang tuan. Dia hanya salah terima
mengenai penurunan bendera Merah Putih dan peristiwa‐peristiwa lain yang terjadi sebagai pertanda dari
pemutusan janji tuan. Dia tidak bermaksud apa‐apa terhadap tuan pribadi. Kalau tuan mengeluarkannya,
saja yakin saya dapat menggunakan tenaganya dengan baik. Saya sendiri memberikan jaminan akan jiwa
patriotismenya.”
Dua jam setelah kunjungan yang kedua ini mereka melepaskannya.

PENDUDUKAN JEPANG
Bab XIX: Pendudukan Jepang
SEMENTARA itu Jendral Imamura, Panglima Tertinggi tentara pendudukan yang bermarkas besar di
Jakarta, memerintahkan agar para pemimpin bangsa Indonesia membentuk suatu badan pernerintahan
sipil, akan tetapi mereka keberatan dengan alasan, “Kami tidak akan duduk dalam badan apapun tanpa
Bung Karno.”
Imamura lalu mengirim surat kepada Kolonel Fujiyama dan menyatakan “Sebagian besar daripada tentara
pendudukan beserta pimpinan. Yang mengendalikan tentara ini berada di Jawa. Tugas pemerintahan
yang sesungguhnja ada disini dan ternyata urusan sipil tidak berjalan dengan baik. Kami sangat
memerlukan bantuan dari orang jang paling berpengaruh.” Surat itu akhirnya menyimpulkan, “Ini adalah
perintah militer supaya memberangkatkan Sukarno.”
Ketika Fujiyama memerintahkanku segera, berangkat ke Palembang dimana sebuah kapal akan
membawaku ke Jakarta, hatiku menari‐nari gembira. Semenjak pendaratan Jepang di Padang 4 bulan
yang lalu aku mendo’a agar dapat kembali ke pulau Jawa yang tercinta, akan tetapi aku tidak tahu
bagaimana caranya memenuhi keinginan hati ini. Sekaranglah Tuhan mendengarkan do’aku dan
memerintahkanku kembali.
Dekat Palembang kami terlibat dalam suatu kecelakaan. Dua buah kendaraan. Jepang dengan kecepatan
yang penuh bertabrakan dihadapan kami. Satu dari kendaraan itu adalah sebuah jip. Itulah pertamakali
dalam hidupku aku melihat jip. Kendaraan yang satu lagi sebuah truk besar. Kedua perwira. Di dalam truk
itu tergoncang, akan tetapi tidak apa‐apa selain dari babak belur sedikit. Dengan memberanikan diri
mereka cepat‐cepat lari meneruskan perjalanan. Jip itu hancur sama sekali. Penumpangnya, seorang
kapten, mendapat luka parah. Ajudannya terpelanting ke pinggir jalan dan hanya pusing dan terbaring
dibawah sebatang kayu. Sewaktu dia sadar lagi dia menyatakan kepada kami, “Kami perlu segera sampai
di Palembang. Saya bawa Buick ini.”
“Tapi,” protesku, “Ini milik saya. Komandan daerah ini memberikan izin istimewa kepada saya.”
Kutunjukkan sekilas surat tanda milikku. Ini buktinya.”
Sebagian dari “percakapan” ini kami lakukan dengan gerak. Sekalipun melihat surat itu, ajudan itu
menghormat dengan kaku, mengucapkan sesuatu seakan dia berkata, “Ini urusan penting. Ma’af saja.”
Lalu dia pergi membawa kendaraan kami dengan meninggalkan kami terdampar di jalanan itu. Polisi
Militer yang segera datang ke tempat kecelakaan ini mengerti tanda‐tanda pengenalku. Kendaraan
selanjutnya yang kebetulan lewat adalah sebuah truk. Serta merta kendaraan itu disita dan kami
meneruskan perjalanan dengan meninggalkan pemiliknya di pinggir jalan itu.
Kami menambah dua orang penumpang lagi. Seorang Indonesia yang terbanting dari atas truk besar tadi
menggeletak di semak‐semak, mukanya tertelungkup ke tanah bermandi darah yang menggenang. Ia
sudah tidak bernyawa lagi. Aku tidak dapat meninggalkan orang yang malang itu di tengah hutan,
dikelilingi oleh muka‐muka masam. Dengan mengangkat mayat yang berlumuran darah ke atas truk, aku
membawanya untuk dikuburkan sebagaimana mestinya. Yang seorang lagi adalah prajurit Jepang,
ditugaskan untuk membawa kami. Inggit disuruh duduk di sebelahnya. Penumpang lain di belakang, Satusatunya
kesukaran yang kuhadapi ialah mengenai Inggit yang tidak mau duduk di sebelah Jepang.
Akhirnya aku menyelesaikannya dengan meletakkan si Ketuk Satu dan Ketuk Dua di antara Inggit dan
prajurit itu.
Sesampai di Palembang aku menghadapi kesukaran yang lebih banyak. Para pembesar disana tidak
mengizinkan kami meneruskan perjalanan ke Jakarta sebagaimana instruksi yang telah kuterima. Orang
yang bertugas menolakku dengan ucapan singkat, “Dilarang bepergian antara Sumatra dan Jawa.
“Tentu ada kekeliruan pengertian dalam hal ini,” aku memberi alasan. “Perintah ini saya terima dari
komandan atasan saudara sendiri.”
“Sekarang, ini tidak ada perdalanan orang preman antara Sumatra dan Jawa,” dia mengulangi lagi, sambil
berdiri menyuruhku pergi.
Ketika aku bertahan terus dia menekan knop dan aku dihadapkan ke markas Kenpetai yang
menyeramkan. Kenpeitai memutuskan untuk mengadakan pemeriksaan terhadap diriku. “Kami
memerlukan lebih banyak keterangan tentang diri tuan, tuan Sukarno,” kata seorang perwira berperut
buncit melengking, sambil mempermainkan pedang Samurai di tangannya. ‘Kami mendapat keterangan
dari saluran‐saluran kami, bahwa tuan orang yang tidak baik, hatinya tidak bersih terhadap kepentingan
kami.”
“Tidak benar,” aku mendengus tidak sabar. “Saya dapat membuktikan, ketidakbenaran keterangan itu.”
Aku mengeluarkan kartu tanda berkelakuan baik yang diberikan oleh Kolonel Fujiyama kepadaku dan
dapat digunakan dalam keadaan‐keadaan seperti ini. Dia membaca pelahan‐lahan. Kemudian diulangnya
membaca sekali lagi. Dan secarik karton berwama putih inilah yang menyelamatkan jiwaku. Namun
persoalan pengangkutan tidaklah dipercepat. Sekarang dia minta bantuanku lagi untuk menyelesaikan
persoalan setempat sebelum menandatangani surat izin keluar.
Si buncit telah menyarungkan kembali pedang Samurainya. Sambil tersenyum dia berkata, “Kalau betul
tuan orang baik dan dengan maksud‐maksud baik, saya minta tuan mengundurkan keberangkatan dan
membantu kami mengatasi kesukaran‐kesukaran di sini yang disebabkan oleh rakyat tuan yang pandir.
Dia duduk di pinggir meja. Aku di kursi. Kami berhadap‐hadapan dan pada jarak yang dekat mukanya itu
menarik sekali untuk dipelajari. Mulutnya tersenyum, akan tetapi matanya tidak. “Lebih baik kami tidak
menahan tuan dengan paksa, tuan Sukarno,” dia mendesis. “Akan saya bantu dengan apa yang dapat
saya berikan,” jawabku setelah mempertimbangkan, bahwa tidak ada lain yang dapat diuxapkan dalam
suasana demikian itu.
Orang Jepang di Palembang dan aku tidak dapat memperoleh saling pengertian dengan baik. Aku
melakukan satu hal yang tidak mereka senangi sama sekali. Akan tetapi sebaliknya mereka lalu
melakukan banyak hal yang tidak kusukai juga. Aku telah menyaksikan perbuatan‐perbuatan kurang ajar
dan memuakkan dan menyampaikan hal ini kepada mereka. Kukatakan kepada Si buncit, “Seringkali saya
Iihat anak‐buah tuan terlalu mudah melayangkan tangan. Dengan mata kepala saya sendiri saya
menyaksikan mereka berkali‐kali menampar orang Indonesia.”
Aku menahan napas dan berhenti, akan tetapi Si buncit hanya memandang kepadaku, dengan sombong
mengayun‐ayunkan kakinya ‐setiap kali hampir‐hampir mengenai kakiku ‐dan menantikan ucapanku
untuk memberikan kesimpulan. “Pukulan‐pukulan terhadap rakyat kami ini harus dihentikan. Ini bukanlah
jalan untuk menciptakan persahabatan dan membangkitkan kepercayaan rakyat,” aku menegaskan.
“Kalau tuan menghendaki kerjasama dari saya yang baik, tuan hendaknya memperlihatkan kerjasama
pada saya.”
“Itu keliru,” katanya memberungut. “Kelakuan buruk ini dilakukan oleh prajurit‐prajurit Korea. Orang
Korea terkenal dengan sifatnya yang gatal tangan. Prajurit‐prajurit Jepang sikapnya jauh lebih baik.
Mereka tidak pernah bertindak seperti itu.”
“Komandan,” kataku. “Orang Indonesia yang kena pukul tidak membedakan siapa yang bertindak itu.
Soalnya ialah, apakah tindakan ini tidak bisa dihentikan? Dan tidak dilakukan oleh siapapun?”
“Baik, tuan Sukarno, tuan dapat memegang perkataan saya. Para Komandan Batalyon akan
diperintahkan supaya segera menghentikan perbuatan lancang tangan ini.” Sejak itu sikap mereka
berubah.
Sebulan kemudian mereka membebaskanku untuk berangkat, akan tetapi tentara Jepang di Palembang
hanya mempunyai sebuah kapal, yaitu sebuah perahu motor dengan mesin caterpillar. Perahu yang akan
mengarungi lautan ini panjangnya delapan meter, sedangkan penumpangnya terdiri dari seorang kapten,
dua prajurit, Inggit dan aku sendiri, Sukarti, Riwu dan barang‐barang kami, dan sudah tentu Ketuk Satu
dan Ketuk Dua. Aku mencoba untuk mengusahakan kapal yang lebih besar, akan tetapi kepadaku
disampaikan supaya kami menunggu. Yah, menunggu. Aku sudah lima setengah bulan lamanya
menunggu di Sumatra. Cukuplah itu. Sekalipun kapal itu sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai kapal
laut, akan tetapi ini adalah kesempatan pertama yang diberikan kepadaku dan kesempatan ini harus
kupergunakan.
Empat hari empat malam lamanya kami terkatung‐katung di tengah lautan. Kami tidur sambil duduk,
setiap detik dan setiap menit angin laut dan kabut air menyapu muka bumi selama 24 jam dalam sehari.
Pelajaran ini jauh daripada menyenangkan. Ketika kami melalui Selat Bangka membadailah topan yang
keras dan kami harus menahankannya di atas perahu yang terbuka, tanpa secarikpun alat pelindung.
Kemudian perahu motor kami hampir terbalik karena menubruk pulau karang yang rendah. Lagi pula aku
gelisah menghadapi tantangan‐tantangan ini, oleh karena aku tak pernah belajar berenang. Di masa
mudaku sportku dalam air hanya memakai ban dalam yang dipompa, lalu duduk di dalamnya dan
mencebur‐cebur.
Kami membawa sayuran yang telah dimasak, ikan kering dan persediaan lainnya dalam stoples dan nasi
seperiuk, akan tetapi aku tidak dapat makan. Yang masuk ke dalam perutku hanyalah air jeruk sedikit.
Aku terlalu mabuk, sehingga kukira aku akan mati. Kapal kecil kami melambung ke atas dan dihempaskan
lagi oleh gelombang ke bawah, tergoncang, mengoleng‐oleng dan berpusing‐pusing. Dan aku pucat
seperti mayat selama 4 hari itu.
Aku sakit, perutku terasa mual, aku pusing, kepala mengentak‐ngentak, matahari membakarku angus,
kabut air laut membikin bibirku pecah‐pecah, perutku lapar dan badan lemah ‐akh, peduli amat!
Bukankah sekarang aku pulang? Aku sekarang kembali ke Jawa. Karena sangat bersyukur dapat kembali
dalam keadaan hidup dan selamat, kusumbangkan seluruh milikku kepada kapten itu semuanja! Ini
adalah permulaan baru bagiku. Kehidupan baru bagi negeriku. Dan aku ingin memulainya dengan
kesegaran baru.
Lintasan pertama dari tanahku yang tercinta ini terlihat ketika hendak masuk meninggalkan Laut Jawa.
Hari sudah sore dan panas ketika kami menderum‐derum melalui iring‐iringan perahu lajar penangkap
ikan dan sampan‐sampan nelayan yang berbau anyir. Melewati perairan di luar aquarium yang dibuat
didok dan memasuki pelabuhan Pasar Ikan yang sempit, dimana hampir tidak mungkin dua buah perahu
berpapasan. Pasar ikan penuh sesak dengan tempat penjualan hasil dari laut. Airnya kotor. Daun‐daunan,
kepala ikan dan sampah kelihatan mengapung dalam air. Bau anyir dari ikan mati memenuhi udara,
sekitar itu. Akan tetapi, ketika aku dibantu melangkahkan kaki ke tangga batu yang membawaku ke atas
daratan, aku berbicara dalam hatiku, “Alangkah indah pemandangan ini. Seperti tak pernah aku melihat
yang lebih indah seumur hidupku.”
Di darat tak seorangpun yang datang menjemput kami dari kapal. Kuminta pertolongan salah seorang
nelayan untuk menghubungi bekas iparku, Anwar Tjokroaminoto, dan pengacara yang membelaku dulu
di Bandung, yaitu Sartono, dan Hatta yang juga berada di Jakarta. Di ujung dermaga tampak sebuah
kantor emperan. Prajurit penjaganya mempersilakanku masuk dan menjuruhku duduk. Dan kududuklah di
situ. Aku menunggu.
Anwar yang pertama datang. Tuhan melindunginya. Dia datang berlari dengan mata berlinang‐linang.
Kami berpelukan dan mencium satu sama lain tanpa mempedulikan sekitar kami. Pertemuan ini tidak
diiringi dengan pukulan punggung yang keras. Suasananya menggambarkan perasaan syukur yang
diucapkan dengan tidak bersuara. Hanya air mata mengalir ke pipi kami. Seperti kukatakan, kami tidak
banyak mengucapkan kata‐kata. Kami tidak sanggup mengeluarkannya. la tidak bisa lewat dari
kerongkongan. Sebaliknya ia mencucur dari mata kami.
“Bagaimana kabamya Harsono?” tanyaku, suaraku berubah karena terharu.
“Baik.”
“Utari ?”
“Semua baik. Yang lebih penting lagi saya menanyakan bagaimana keadaan Bung Karno.”
“Akupun baik.”
Kami berdiri merenggang dan saling memperhatikan satu sama lain pada jarak satu lengan. Di depannya
ia lihat sekarang seorang laki‐laki yang letih dan kurus, pakai jas putih yang lapang dan celana tidak
berbentuk. Pakaianku sangat ketinggalan jaman. la adalah buatan Darham, penjahit dari Pulau Bunga
yang tinggal denganku, atau hasil sebelum pengasingan.
Anwar memakai jas kuning gading dengan potongan “doublebreast”. Setelah aku menyeka pipi dan
mencium tanah di bawahku, lalu menggosok mataku untuk meyakinkan apakah yang berdiri di depanku
betul‐betul Anwar, bukan pajangan, aku kemudian kembali pada kenyataan. Kuraba‐raba jasnya. “Jasmu
bagus sekali potongannya,” aku memuji.
“Bikinan De Koning,” ia melagak.
Penjahit paling terkenal di Jakarta di waktu Belanda. ! Bagaimana kau membayarnya?”
Dia mengangkat kedua belah tangan seperti corong ke mulutnya dan berbicara langsung ke telingaku.
“Saya masuk dari pintu belakang. Ongkosnya terlalu tinggi, akan tetapi ada seorang kawan yang bekerja
sebagai penjahit pembantu di toko De Koning.” Apa dia mau kira‐kira membikinkan untukku?” ,,Tentu
mau. Kalau Bung Karno sudah senggang sedikit, saya bawa ke sana.”
Seringkali generasi muda menukil kembali ucapan‐ucapan yang abadi dan yang akan hidup terus. Ucapan
yang keluar dalam detik‐detik yang besar di dalam sejarah. Ucapan yang akan menggeletarkan tulang
sumsum, ucapan yang membangkitkan semangat, ucapan yang dituliskan dengan kata‐kata indah seperti
ini di saat pertemuan kami. Akan tetapi sayang, ketika kami bertemu dan setelah aku menanyakan
tentang keadaan Anwar beserta keluarganya, pokok persoalan selanjutnya yang kutanyakan kepadanya
hanyalah mengenai tukang jahitnya. Di minggu itu juga aku pergi menjahitkan pakaian yang pertama
selama bertahun‐tahun.
Setengah jam kemudian Sartono, dan Hatta datang berlarian. Hatta dan aku tidak berkiriman surat
selama bertahun‐tahun. Dan sekalipun banyak yang hendak dikatakan dan banyak yang hendak
ditanyakan, namun masing‐masing kami hanya punya satu pertanyaan untuk yang lain. Hatta membisik,
“Bagaimana pendapat Bung Karno mengenai pendudukan ini?” Aku membisikkan kembali, “Jepang tidak
akan lama disini. Mereka akan kalah dan kita akan hancurkan mereka. Inipun asal kita tidak menentang
mereka secara terang‐terangan.
Kemudian aku bertanya, “Bagaimana, Bung Hatta, bagaimana semangat nasionalisme dari rakyat kita?”
“Semangat rakyat tidak dibinasakan oleh peperangan. Rakyat sudah mulai curiga kepada Jepang yang
menjadi “pembebas” itu dan rakyat sangat menantikan kedatangan Bung Karno.
“Jepang telah menyediakan sebuah rumah bertingka ‐dua dan manis potongannya, terletak di sebuah
jalan raya Jakarta. Rumah itu mempunyai lapangan rumput, beranda, garasi dan perabot lengkap, kecuali
piring‐piring barang pecah belah lainnya yang sudah dibanting‐bantingkan oleh Belanda sebelum
berangkat. Tentunya tidak ada penyambutan kedatanganku kembali pulang, karena tak seorangpun yang
tahu kapan Sukarno, akan sampai. Dan lagi adanya larangan yang keras untuk mengadakan pertemuan.
Sekalipun demikian di dalam rumah kudapati telah ada beberapa anggota dari “Panitia Penyambutan
Bung Karno”. Wajah mereka bersinar dengan kegembiraan yang tenang dan mereka berlutut, lalu
mencium tanganku. Kupegang tangan mereka dengan kuat dalam genggamanku. Aku sangat terharu.
Orang‐orang yang kucintai ini telah ditunjuk untuk mencarikanku rumah tinggal yang cocok.
“Orang Belanda sudah diringkus masuk kamp tawanan,” kata Ahmad Subardjo. “Kalau Bung Karno
berjalan‐jalan, akan melihat banyak rumah‐rumah bagus yang kosong. Isteri saya meneliti sebelah satu
jalan. Isteri Sartono di seberangnya. Dalam beberapa hari saja mereka menemukan rumah ini.” ,,Rumah
ini besar sekali,” kataku sambil memeriksa bagian dalam. “Kami berpendapat, bahwa pemimpin kita tentu
memerlukan ruangan banyak untuk tetamu. Semenjak tersebar berita bahwa Bung Kamo akan datang
dalam waktu tidak lama lagi, rakyat dari desa‐desa, dari gunung, dari tepi pantai dan dari daerah yang
jauh semakin meluap‐luap. Sekalipun dalam keadaan kekurangan, mereka toh sanggup untuk datang dan
melihat sendiri wajah Bung Karno, Mereka tidak percaya bahwa Bung Karno betul‐betul ada disini dan
bebas dan sudah siap lagi untuk menduduki tempat sebagai pahlawan mereka.” Malam itu Inggit dan aku
berjalan‐jalan di sekitar rumah kami yang baru itu. Di jalanan yang lebar dengan di kiri kanannya barisan
pohon‐pohon, yang merupakan daerah elite di Jakarta. Telah panjang waktu berlalu dibelakangku.
Hampir 13 tahun. Masa tahanan dan pembuangan telah berlalu. Dan perang telah terjadi. Tapi syukur, Aku
sudah pulang ke tempatku semula. Aku kembali menjadi pemimpin dari rakyatku. Aku sudah kembali ……

KOLABOLATOR ATAU PAHLAWAN?
Bab XX: Kolabolator Atau Pahlawan?
MALAM itu aku pergi ke rumah Hatta. Kami mengadakan pertemuan yang pertama guna membicarakan
taktik kami bekerja untuk masa yang akan datang. “Bung Hatta dan saya dimasa yang lalu telah
mengalarni pertentangan yang mendalam,” kataku. “Memang di satu waktu kita tidak berbaik satu sama
lain. Akan tetapi sekarang kita menghadapi suatu tugas yang jauh lebih besar daripada yang dapat
dilakukan oleh salah seorang dari kita. Perbedaan dalam hal partai atau strategi tidak ada lagi. Pada
waktu sekarang kita satu. Dan kita bersatu di dalam perjuangan bersama.”
“Saya setuju,” Hatta menjatakan.
Kami berjabat tangan dengan kesungguhan hati “inilah”, kataku berjanji, “janji kita sebagai Dwitunggal.
Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan berpecah hingga negeri ini
mencapai kemerdekaan sepenuhnya.”
Bersama‐sama dengan Sjahrir, satu‐satunja orang yang turut hadir, rencana‐rencana gerakan untuk masa
yang akan datang kami susun dengan cepat. Telah disetudjui, bahwa kami akan bekerja dengan dua cara.
Di atas tanah secara terang‐terangan dan di bawah tanah secara rahasia. Yang satu memenuhi tugas yang
tidak dapat dilakukan oleh cara yang lain.
“Untuk memperoleh konsesi‐konsesi politik yang berkenaan dengan pendidikan militer dan jabatanjabatan
pemerintahan bagi orang‐orang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan cara kollaborasi.”
kataku.
“Jelaslah, bahwa kekuatan Bung Karno adalah untuk menggerakkan massa,” Hatta menegaskan. “Jadi
Bung Karno harus bekerja secara terang‐terangan.” ,,Betul, Bung Hatta membantu saya. Karena Bung
Hatta terlalu terkenal untuk bisa bekerja di bawahtanah.”
“Biarlah saya,” Sjahrir menyarankan, “untuk mengadakan gerakan bawah tanah dan menyusun bagian
penyadap berita dan gerakan rahasia lainnya.”
Pembicaraan singkat itu, yang berlangsung selama satu jam, mengembangkan suatu landasan yang
begitu ringkas. Dan kelihatannya seolah‐olah dikerjakan dengan sangat saksama, setelah diteliti kembali
20 tahun kemudian. Sebenarnya strategi kami adalah satu‐satunya pilihan yang mungkin dijalankan
ketika itu. Jadi kami tidak mernpunyai pilihan lain. “Inilah kesempatan yang kita tunggu‐tunggu,” kataku
bersemangat. “Saya yakin akan hal ini. Pendudukan Jepang adalah kesempatan yang besar dan bagus
sekali untuk mendidik dan mempersiapkan rakyat kita. Semua pegawai Belanda masuk kamp tawanan.
Sebaliknya jumlah orang Jepang tidak akan mencukupi untuk melancarkan roda pemerintahan di seluruh
kepulauan kita. Tentu mereka sangat mernerlukan tenaga kita. Indonesia segera akan melihat, bahwa
majikannya tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan kita.”
Aku berjalan hilir mudik ketika berpikir dengan keras, “Akan tetapi rakyat kita harus menderita, lebih dulu,
karena hanya dengan penderitaanlah ia dapat bangkit. Rakyat kita adalah bangsa yang suka damai, mau
senang dan mengalah dan perna’af. Sungguhpun rakyat Indonesia hampir mencapai jumlah 70 juta dan
diperintah oleh hanja 500.000 orang, akan tetapi darah rakyat tidak pernah bergolak sedernikian panas
sehingga sanggup bertempur melawan Belanda. Belanda menenteramkan penguasaannya dengan
memberikan kebaikan‐kebaikan palsu. Jepang tidak.
“Kita tahu, bahwa Jepang tidak segan‐segan memenggal kepala orang dengan sekali ayunan pedangnya.
Kita mengetahui muslihat mereka, memaksa si korban meminum berliter‐liter air dan kemudian
melompat keatas perutnya. Kita sudah mengenal jeritan di tengah malam yang menakutkan yang keluar
dari markas Kenpetai. Kita mendengar prajurit‐prajurit Kenpetai dengan sengaja dalam keadaan mabukmabukan
untuk menumpulkan perasaannya. “Orang Jepang memang keras. Kejam. Cepat melakukan
tindakan kurangajar. Dan ini akan membuka mata rakyat untuk mengadakan perlawanan.
“Mereka juga akan memberikan pada kita kepercayaan terhadap diri sendiri.” Hatta menguraikan.
“Bangsa Asia tidak lagi lebih rendah dari orang Barat.” ,,Kondisi‐kondisi inilah yang akan menciptakan
suatu kebulatan tekad. Kalau rakyat kita betul‐betul digencet, maka akan datanglah revolusi mental.
Setelah itu, revolusi fisik.”
Aku duduk. Melalui lubang sandal aku mengelupas kuku jari kakiku, suatu tanda yang pasti bahwa
pikiranku gelisah. Tanpa kusadari aku mengelupas kuku ibu jari kakiku terlalu dalarn hingga berdarah.
“Kita harus melancarkan gerakan kebangsaan,” kataku berbicara dalam mulut.
“Tidak mungkin,” Hatta membalas. “Mengadakan rapat umum dan berpolitik dalam bentuk apapun
dilarang.”
“Kita tidak bisa membangkitkan semangat rakyat kalau tidak ada pergerakan rakjat,” kunyatakan dengan
tegas. “Saya tidak bisa duduk‐duduk saja di belakang meja secara pasif. Kalau hanya sebagai pemberi
nasehat, itu tidak cukup bagi saya. Harus ada kegiatan. Kita tidak bisa menyuruh rakyat berjuang,
sekalipun dengan diam‐diam, tanpa bimbingan. Kalau saya tidak bisa Membentuk suatu gerakan sendiri,
saya akan mengadakan infiltrasi ke dalarn gerakan yang didukung oleh Jepang. Bagaimana dengan
Gerakan Tiga‐A?”
Gerakan Tiga‐A adalah suatu organisasi yang secara psichologis keliru. la bekerja dengan semboyannya
yang menusuk hati: “Dai Nippon Pemimpin Asia. Dai Nippon Pelindung Asia. Dai Nippon Cahaya Asia”
“Gerakan itu tidak betul,” Sjahrir menggerutu. “Tujuannja tadinya hendak mengumpulkan bahan
makanan dari kita, mengaut kekayaan alam kita dan bahkan juga mengumpulkan tenaga manusia.”
“Akan tetapi gerakan itu tidak memberikan apa‐apa sebagai balasannya,” Hatta menambahkan.
“Ditambah lagi dengan propagandanya yang sangat dibesar‐besarkan, tidak adanya pemimpin bangsa
Indonesia yang duduk dalam pucuk pimpinannya dan ketidaksenangan rakyat yang sernakin meningkat
menyebabkan gerakan itu segera menarik diri. Lebih baik Bung Karno menjauhkan diri dari Gerakan Tiga‐
A.”
“Tidak. Saya pikir, malah saya akan memasukinya.” Kenapa ?” ,,Ya. Untuk merombaknya.”
Di malam pertama aku di Jakarta aku pergi tidur dengan kepala yang pusing, oleh karena pikiranku
gelisah. Hitam putihnya baru diketahui di hari esok. Aku harus menghadap Letnan Jendral Imamura. la
menerimaku di kamar duduknya dalam istana yang putih dan besar itu, bekas istana Gubemur Jendral
Hindia Belanda. Kamar duduk itu sekarang menjadi kamar studiku. Jendral Imamura adalah seorang
Samurai sejati. Kurus, melebihi tinggi orang biasa, bersifat sopan, hormat dan berbudi luhur. Setelah
mempersilakanku duduk, iapun duduk. Sikapnya lurus seperti tongkat.
Aku berbicara dalam bahasa Indonesia. Dia dalam bahasa Jepang. Kami mempunyai juru bahasa. Aku
pergi sendirian tanpa pengikut. Jendral itu dengan ajudannya tentu. Jendral‐jendral selalu punya. Dialah
mula‐mula membuka pembicaraan “Saya memanggil tuan ke Jawa dengan maksud yang baik. Tuan tidak
akan dipaksakan bekerja bertentangan dengan kemauan tuan. Hasil dari pembicaraan kita ‐apakah tuan
bersedia untuk bekerjasama dengan kami atau tetap sebagai penonton saja —samasekali tergantung
kepada tuan sendiri.”
“Boleh saya bertanya, apakah rencana Dai Nippon Teikoku untuk Indonesia?” Menjawab Imamura, “Saya
hanya Panglima Tertinggi dari tentara ekspedisi. Tenno Heika sendirilah yang berhak menentukan,
apakah negeri tuan akan diberi otonomi dalam arti yang luas dibawah lindungan pemerintah‐Nya.
Ataukah akan memperoleh kemerdekaan sebagai negara‐bagian dalam suatu federasi dengan Dai
Nippon. Ataupun menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. Saya tidak dapat memberikan janji yang
tepat tentang bentuk kemerdekaan yang akan diberikan kepada negeri tuan. Keputusan yang demikian
itu tidak dapat diambil sebelum peperangan ini selesai. Sungguhpun demikian, kami dapat memahami
cita‐cita dan syarat‐syarat tuan, dan ini sejalan dengan cita‐cita kami.” Kalimatku selanjutnya adalah,
“Terimakasih, Jendral. Terima kasih karena tuanlah orang yang mendupak Belanda yang terkutuk itu
keluar. Saya mencobanya selama bertahun‐tahun. Negeri saya mencba selama berabad‐abad. Akan
tetapi Imamura‐lah orang yang berhasil.” ,Boleh saya bercerita, Ir. Sukarno, bagaimana saya menaklukkan
orang Kulit putih yang kuat perkasa itu dari pantai daratan tuan. Dengan gertak. Itulah! Semata‐mata
gertak.”
Wajahku di waktu itu tentu mencerminkan kebingungan, karena Jendral itu berkenan untuk tersenyum
dan kemudian dengan riang menceriterakan kemenangan itu. “Pada waktu tentara saya mendarat di
Jawa, pasukan saya hanya tinggal beberapa batalyon dan saya harus memecah‐mecahnya lagi. Sebagian
mendarat di Jawa Barat, sebagian di Jawa Tengah, sebagian di Jakarta, beberapa lagi di Banten. Yang
langsung dibawah pimpinan saya mendarat di Kalijati. Dan pasukan ini compang‐camping. Orang‐orang
saya punya senapan, tapi tidak punya uniform. Sebelum pendaratan kami, Gubemur Jendral sudah
terbang ke Bandung.”
“Kota itu dilindungi oleh gunung‐gunung, tentu dia menganggap kota itu dapat dipertahankan.” “Betul,”
Imamura mengangguk. “Lalu saya mengadakan hubungan dengan Bandung dan memerintahkannya ke
Kalijati untuk suatu perundingan perdamaian. Dia datang. Dan segera lagi, Saya bemarkas di sebuah
kamar yang kecil. Dengan suara‐suara yang gaduh, tapi tanpa pasukan untuk menyokong keberanian
saya, saya menuntut, ‘Nah, apakah tuan sekarang akan menyerah? Kalau tidak, saya akan membom tuan
sampai lenyap dari permukaan bumi. Dengan demikian dia dengan stafnya segera terburu‐buru dan
menyerah.”
“Dengan sisa tentara yang terpecah‐pecah dan melarat,” kataku kepada penakluk yang menghadapiku,
tuan mengusir orang‐orang yang akan selalu dianggap sebagai penindas‐penindas sejati dari Indonesia.
Saya berterima‐kasih kepada tuan untuk selama‐lamanya.”
Drama yang kupertunjukkan ini mengingatkan daku kepada pahlawan Filipina, Jendral Aguinaldo. Dia
melawan Spanyol selama bertahun‐tahun, dan ketika Amerika menaklukkan bekas penakluk itu, yang
pertama‐tama diucapkan oleh Aguinaldo kepada orang Amerika adalah, “Terima‐kasih.” Kemudian ketika
Amerika Serikat bermaksud hendak tetap berkuasa di Filipina, Aguinaldo menyepakkannya keluar dengan
keras.
“Berapa lama menurut pikiran tuan tentara akan memegang ke kuasaan pemerintahan disini?” tanyaku.
“Terus‐terang saya tidak tahu. Saya tidak mempunyai rencana sampai ke situ.” Nah, dia belum. Tapi aku
sudah punya. Dan aku mulai dengan siasat yang pertama. “Untuk memimpin rakyat kami sesuai dengan
pemerintahan militer, saya memerlukan orang sebagai pembantu pimpinan. Urusan pemerintahan hanya
dapat dilancarkan, kalau orang‐orang Indonesia di tempatkan pada jabatan‐jabatan pemerintahan. Hanya
orang Indonesialah yang mengetahui daerah, bahasa‐bahasa daerah dan adat‐istiadat saudarasaudaranya.”
“Kalau ini pemecahan yang terbaik untuk memajukan kemakmuran dan kesejahteraan, maka orang
Indonesia akan diberi kesempatan untuk ikut dalam menyelesaikan urusan dalam negeri secara
meningkat. Jabatan‐jabatan dalam pemerintahan akan diberikan kepada bangsa Indonesia dengan
segera.”
Kalau dilihat dari konsesi‐konsesi yang diberikan kepadaku di bidang politik, maka kekuasaan berada di
tanganku. Sang Jendral adalah seorang pemimpin militer. la mengetahui tentang senjata. Aku seorang
pemimpin politik. Aku mengetahui tentang pembinaan bangsa. Di dalam tanganku ia seorang bayi.
Kugariskan rencanaku kepada Hatta malam itu juga. “Dengan biaya pemerintah Jepang akan kita didik
rakyat kita sebagai peyjelenggara pemerintahan. Mereka akan dididik untuk memberi perintah tidak
hanya menerima perintah. Rakyat dipersiapkan menjadi kepala. kepala dan administrator‐administrator.
Mereka dididik untuk memegang roda pemerintahan guna suatu hari yang akan datang, pada waktu
mana kita mengambil alih kekuasaan dan menyatakan kemerdekaan. Kalau tidak begitu bagaimana
mungkin kita melengkapkan susunan pemerintahan tanpa personil” Tanpa menunggu jawaban atas
keterangan itu aku melanjutkan, “Dulu setiap kepala adalah orang Belanda dimana‐mana Belanda….
Belanda …… pendeknya setiap satu jabatan diduduki oleh si Belanda buruk!” ,,Dan rakyat kita cukup jadi
pengantar surat saja atau pesuruh,” Hatta menambahkan, “Selalu dalam kedudukan menghambakan diri
Selalu patuh.” ,,Sekarang rakyat yang kurus kering, diinjak‐injak lagi bebal ini akan menjadi pejabatpejabat
dalam pemerintahan. Mereka akan belajar membuat keputusan, mereka akan mempelajari
bagaimana melancarkan tugas, mereka akan mempelajari bagaimana memberikan perintah. Saya sudah
menanamkan bibitnya dan Jepang akan memupuknya.
Aku meludah ke tanah. “Itulah sebabnya mengapa setiap orang yang cerdas membenci Belanda. Orang
Belanda mengharapkan kerjasama kita, akan tetapi tidak sedikitpun memberi kesempatan pada kita yang
menguntungkan dari kerjasama itu. Kalau saya mengingat‐ingat perangai Belarida yang munafik, saya
mau muntah. Apakah yang dikerjakan Belanda untuk kita? Nol besar! Saya menyadari, tentu ada orang
yang menentang saya, karena saya bekerjasama dengan Jepang. Tapi, apa salahnya? Memperalat apa
yang sudah diletakkan di depan saya adalah taktik yang paling baik. Dan itulah sebabnya mengapa saya
bersedia menerimanya.”
Bulan November Gerakan Tiga‐A dibekukan. Bulan Maret aku pertamakali memegang jabatan resmiku
dalam suatu badan baru yang bernama PUTERA. Tokyo menganggap “Pusat Tenaga Rakyat” ini sebagai
alat dari Sukarno untuk mengerahkan bantuan rakyat di garis belakang bagi kepentingan peperangan
mereka. Tapi Sukarno mengartikannya sebagai alat yang nomor dua paling baik untuk melengkapkan
suatu badan penggerak politik yang sempurna.
Sebagai Ketua dari PUTERA tugasku ialah meringankan kesulitan‐kesulitan yang timbul di dalam negeri.
Ambillah misalnya persoalan tekstil yang rumit. Oleh ketiadaan kain rakyat Marhaen memakai baju dari
karung atau bagor. Anak‐anak yang baru lahir dibungkus dengan taplak meja. Aku pergi berkeliling
menyampaikan seruan kepada rakyat desa. Kataku, “Di negeri kita tumbuh semacam tanaman yang
bernama rosella. Seratnya bisa ‐ditenun menjadi kain. Hayo kita tanami rosella. Mari kita tenun kain dari
rosella.”
Rakyat mendengarkan seruanku itu. Kalau rakyat terpaksa mencari akal untuk menutupi kekurangan,
mereka melakukannya. Akan tetapi sementara aku menjalankan gerakan itu, aku memilih patriot‐patriot
yang dipercaya dan memperkerjakannya pada pembesar‐pembesar setempat. Kataku, “Pekerjaan ini
akan lebih berhasil, kalau orang Indonesia ditugaskan untuk melaksanakannya. Ini orangnya, jadikanlah
dia sebagai kepala dari gerakan ini. Saya sendiri menjamin kesetiaannya.”
Kami tidak mempunyai sabun. Kusampaikanlah kepada tetangga kami, supaya membuat sabun dari
minyak kelapa dan abu daun kelapa yang dibakar. Abu itu mengandung bahan kimia yang berbuih jika
dicampur dengan minyak. Kemudian kupilih salah seorang pengikutku yang paling dipercaya, Ialu
kusampaikan kepada pejabat yang berhubungan dengan itu, “Saya mempunyai seorang kawan disini
yang mengetahui bagaimana melakukannya. Tariklah dia untuk mengatasi persoalan tuan.”
Kami tidak punya listrik. Untuk mengatasi ini keluar pulalah seruanku, “Hayo kita tanam jarak. Tanaman
ini mudah tumbuh seperti tanaman pagar. Dari bijinya kita dapat membuat minyak kastroli yang bisa
menyala dengan terang.” Apa sebabnya aku mengetahui hal ini? Oleh karena aku orang Jawa. Oleh
karena keluargaku melarat dan terpaksa memakainya. Oleh karena selama sebagian dari hidupku aku
harus membakar biji jarak karena tidak mampu membeli bola lampu.
Itulah sebabnya mengapa para penakluk memerlukan pimpinan dari daerah yang diduduki itu. Hanya
penduduk aslilah yang tahu, bagainiana memecahkan persoalan penduduk. Musuh tidak dapat
menduduki suatu negeri tanpa bantuan dari pemimpin negeri itu ‐ini selalu‐ dimana saja ‐bilamana saja.
Kami tidak mempunyai obat‐obatan. “Pakailah obat asli peninggalan nenek moyang kita,” aku
menganjurkan. “Untuk penyakit malaria pakailah daun ketepeng. Untuk demam panas buatlah teh dari
alang‐alang.” Rakyat Indonesia sampai sekarang masih menggunakan penemuan‐penemuan ini.
Kekurangan makanan merupakan kesulitan yang paling rumit untuk diatasi. Tentara Jepang merampas
setiap butir beras. Kalau bukan orang penting jangan diharap akan memperolehnya sekalipun satu kilo. Di
Bali orang mati karena kelaparan. Aku berhasil mengumpulkan sejumlah besar biji pepaya dan
membagikannya kepada setiap orang masing‐masing dua butir. Buah‐buahan yang enak ini kemudian
tumbuh di setiap penjuru pulau.
Untuk memerangi kelaparan, maka tentara Jepang membuat jaringan radio yang tetap dengan
menempatkan pengeras suara di setiap desa, sehingga setiap orang yang sebelum itu hanya mendengar
nama Sukarno sekarang dapat mendengar suara Sukarno. “Saudara‐saudara kaum wanita,” terdengar
suara Sukarno mendengung melalui tiap pengeras suara, “Dalam waktu saudara yang terluang,
kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh Ibu Inggit dan saya sendiri. Tanamlah jagung. Di halaman muka
saudara sendiri saudara dapat menanamnya cukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara.” Nah,
karena Sukarno yang mengatakan ini kepada mereka, mereka menanamnya. Dan di setiap halaman
bertunaslah buah jagung. Usaha ini ada ketolongannya.
Mau tidak mau aku harus membelokkan kebencian rakyat terhadap orang Jepang, karena kekurangan
makanan ini. Karena itu aku mengadakan pidato‐pidato seperti ini. “Agen‐agen musuh membisikkan di
telinga saudara, bahwa Dai Nippon yang menjadi sebab kesulitan kita. Itu tidak benar. Berbulan‐bulan
yang lalu dunia mengetahui, bahwa India diamuk oleh kelaparan. Negara‐negara Sekutupun menderita
kemelaratan dan setiap hari rakyat mereka berbaris untuk memperoleh sepotong roti. Jika mereka
mengatakan ‘Tidak’ itu adalah bohong besar. Dan kalau saudara‐saudara percaya kepada berita bohong
ini, maka saudara sama saja seperti katak di bawah tempurung.
Bertahun‐tahun yang lalu Winston Churchil sudah mengeluh tentang kekurangan bahan makanan di
Inggris. Jadi, saudara‐saudara, peperangan mengakibatkan kekurangan dimana‐mana.
“Dulu Belanda mengimpor beras dari Birma dan Muangthai. Akan tetapi kapal‐kapal pengangkut itu
sudah ditenggelamkan ke dasar laut. Kekurangan makanan adalah kejadian yang biasa dalam
peperangan. Akan tetapi siapakah yang bersalah, sehingga kita harus mengimpor beras selama ini?
Belanda. Bukan Dai Nippon Teikoku. Negeri Belanda dengan paksa merubah sawah‐sawah kita menjadi
kebun tebu, tembakau atau hasil lain uang bisa diekspor untuk menggendutkan dirinya sendiri. Maka dari
itu, sampai di hari kita berdiri sendiri bebas dari penghisapan imperialisme kita tergantung kepada impor
beras.”
Aku ditugaskan untuk menyerang Sekutu, memuji negara‐negara As ‐yaitu sekutu Jerman dan Jepang ‐
menimbulkan kebencian terhadap musuh‐musuh kita Inggris, Amerika dan Belanda, dan bantulah Dai
Nippon.” Akan tetapi, sekalipun pidato‐pidatoku diteliti terlebih dulu dengan kaca pembesar oleh Bagian
Propaganda, kalau dipeladjari sungguh‐sungguh ternyatalah bahwa 75% dari isi pidato itu semata‐mata
menanamkan kesadaran nasional.
Misalnya saja, sambil menunjuk kepada seorang prajurit Jepang yang sedang mengawal dengan senapan
dan sangkur, aku berkata, “Lihat, dia menjalankan tugasnya oleh karena dia cinta kepada tanah airnya.
Dia berperang untuk bangsanya. Dia bersedia mati demi kehormatan tanah airnya. Begitupun …. kita
……harus! Kemudian aku menanamkan kepada rakyat tentang kebesaran negeri kami sebelum
mengalami penjajahan. “Kerajaan Majapahit memperoleh kemenangan yang gilang‐gemilang setelah
digembleng dengan penderitaan dalam peperangan‐peperangan melawan Kublai Khan. Sultan Agung
Hanjokrokusumo membikin negara Mataram menjadi negara yang kuat setelah mengalami cobaancobaan
di dalam perang Senapati. Dan orang Islam di jaman. keemasannya barulah menjadi kuat setelah
mengalami Perang Salib. Tuhan Yang Maha Kuasa berfirman dalam Quran: “Ada masa‐masa dimana
kesukaranmu sangat berguna dan perlu.”
Aku pandai memilih kata‐kata sehingga orang‐asing, sekalipun bisa berbahasa Indonesia, tidak dapat
menangkap arti kiasan yang khas menurut daerah. Aku memetik cerita‐cerita dari Mahabharata, oleh
karena 80% dari bangsa Indonesia sudah biasa dengan cerita itu. Mereka tahu, bahwa Arjuna adalah
pahlawan dari Pandawa Lima, dimana kerajaan mereka telah direbut secara licik dalam suatu peperangan
besar. Pandawa Lima ini melambangkan kebaikan. Yang menaklukkan mereka adalah lambang
kejahatan.
Setiap nama mencerminkan watak manusia di dalam pikiran kami. Arjuna perlambang dari pengendalian
diri sendiri. Saudaranya, Werkudara, melambangkan seseorang yang kuat berpegang kepada kebenaran.
Sebutlah Gatutkaca, serta‐merta orang teringat kepada Sukarno. Mendengar Buta Cakil, orang tahu
bahwa itu raksasa yang jahat. Dalam pewayangan maka tokoh‐takoh yang baik selalu duduk di kanan,
yang jahat di sebelah kiri. Muka‐muka yang berwarna keemasan putih atau hitam menunjukkan orang
yang baik‐baik dan yang merah bandit‐banditnya. Dengan mudah sekali aku membawakan jalan
pikiranku dalam perumpamaan ini.
Cara yang lain ialah dengan perlambang hewan. Dari tulisan‐tulisanku yang dibuat sebelum perang rakyat
mengetahui, bahwa aku menganggap negeri Jepang sebagai imperialis modern di Asia. Jadi, dalam masa
inilah aku mencetak satu perumpamaan yang terkenal: “Di bawah Matahari Terbit, manakala Liong
Barongsai dari Tiongkok bekerjasama dengan Gajah Putih dari Muang Thai, dengan Karibu dari Filipina,
dengan Burung Merak dari Birma, dengan Lembu Mandi dari India, dengan Ular Hydra dari Vietnam, dan
sekarang, dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme akan hancur lebur dari permukaan benua
kita !”
Menurut cara berpikir orang Indonesia ini cukup jelas. Maksudnya ialah bahwa daerah‐daerah yang
diduduki bersatu dalam tekad untuk melenyapkan agressi. Aku tidak mengatakan kita bekerjasama
dengan Matahari Terbit. Aku mengatakan, kita bekerjasama DIBAWAH Matahari Terbit.
Imamura senang sekali dengan kepandaianku berpidato, yang dianggapnya semata‐mata sebagai alat
untuk dapat mempertahankan daerah takluknya. Ketika aku minta izin untuk “menulis dan berkeliling
guna meringankan kesulitan‐kesulitan di daerah yang tidak bisa didapai”, dia menyediakan surat‐surat
kabar dan pesawat terbang untuk itu. Dia mengizinkanku untuk mengadakan rapat‐rapat raksasa Aku
berpidato dihadapan 50.000 orang dalam suatu rapat, aku berpidato di hadapan 100.000 orang dalam
rapat yang lain. Tidak hanya nama Sukarno, melainkan juga wajah Sukarno telah menjalar ke seluruh
pelosok kepulauan Indonesia. Untuk ini aku harus berterima kasih kepada Jepang. Sekali lagi aku
menggelorakan hati rakyat. Aku membangkitkan semangat rakyat. Aku mengoyak‐oyak kesadaran
rakyat. Dan Dai Nippon semakin memerlukan bantuanku.
Sungguhpun demikian, janganlah orang mengira bahwa karena kedudukan itu keadaanku empuk dan
mewah selama peperangan. Tidak. Kalau rakyat lapar, Sukarnopun lapar. Kalau tidak ada makanan,
Sukarno juga tidak mempunyai makanan. Aku sendiri terpaksa mendari beras untuk memberi makan
keluargaku. Pemimpin dari suatu bangsa pergi ke kampung‐kampung untuk mengumpulkan lima kilo
beras, tak ubahnya dengan rakyat desa yang paling miskin.
Dan pada suatu kali aku tidak lekas memadamkan lampu pada waktu penggelapan. Secelah kecil cahaya
selama satu detik tampak bersinar dari luar yang gelap. Segera setelah aku mematikannya, terdengarlah
suara orang menggedor‐gedor pintu dengan keras. Dengan cepat Inggit menjawabnya dan ia berhadapan
dengan sekelompok Polisi Militer.
“Ada apa?” tanya Inggit gemetar. Kaptennya menggeram, “Siapa yang punya rumah ini?” ,,Saya,” jawab
Inggit. ,,Tidak,” teriaknya, “Kami maksud tuan rumah. Siapa suami nyonya?”
Aku sedang berada jauh di dalam, akan tetapi aku keluar juga Kapten itu membentak‐bentak kepadaku
karena cahaya lampu yang sedetik itu, kemudian tangannya melayang plang …. plang ….. plang ….plang,
kemplangannya dengan cepat melekat di mukaku. Melihat pemandangan itu Inggit berlutut dan menjerit,
“Aduh …. Aduh…. jangan tampar dia. Saya yang harus bertanggung jawab. Itu bukan salahnya. Oooo,
ma’afkanlah dia. Saya yang lalai …… !”
Orang‐orang itu tidak peduli. Mereka lebih mau menghukumku. Mukaku pecah‐pecah. Dari bibir dan
hidungku banyak mengalir darah. Akan tetapi tidaklah aku mengucapkan sepatah kata. Aku tidak
bertahan untuk diriku sendiri. Aku hanya menahankannya dengan tenang sambil berkata kepada diriku
sendiri, “Sukarno, kesakitan yang kaurasakan sekarang hanyalah merupakan kerikil di jalan raya menuju
kemerdekaan. Langkahilah dia. Kalau engkau jatuh karenanya, berdirilah engkau kembali dan terus
berjalan.”
Aku melaporkan kejadian ini kepada Kolonel Nakayama, Kepala Bagian Pemerintahan, dan tentu saja dia
minta maaf dan menyatakan, “Kapten itu tidak mengetahui siapa tuan” dan selanjutnya katanya, “segera
akan diambil tindakan terhadap orang itu”;, akan tetapi orang‐orang itu tetap mengawasiku setiap saat.
Pada suatu kesempatan Imamura berpidato di hadapan rakyat. Sambutan rakyat lembek. Aku
menterjemahkannya dengan semangat yang berkobar‐kobar dan dengan memberikan beberapa putar
balik kata‐kata gaya Sukarno. Rakyatku jadi gila karenanya. Pada setiap ucapan mereka bersorak dan
berteriak dan bertepuk. Hal ini membangkitkan kecurigaan Kenpeitai. Aku diiringkan ke markasnya,
dimana aku dibentak, disenggak dan diancam. Aku merasa yakin dalam diriku, bahwa aku akan
digantung. Tapi untunglah. Seorang juru bahasa yang mereka pakai dibawa masuk untuk menghadapiku.
Akan tetapi orang ini setia kepadaku dan dia menjamin ucapan‐ucapanku. Kemudian setelah mengalami
detik‐detik yang menakutkan selama berjam‐jam aku dibebaskan kembali.
Kemanapun aku pergi, aku diiringi oleh perwira‐perwira Jepang atau menelitiku secara diam‐diam.
Seringkali Kenpeitai datang di waktu yang tidak tertentu. Aku harus menjaga diriku setiap saat. Orang
Jepang tidaklah bodoh. Mereka tidak pernah mempercayaiku sepenuhnya. Kaki tangan kami dalam
gerakan bawah tanah mengabarkan, bahwa ada rencana Jepang untuk membunuh semua pemimpin
bangsa Indonesia. Pun orang mengatakan, bahwa Jepang masih memerlukan tenagaku guna mengambil
hati rakyat untuk kepentingan mereka. Akan tetapi di saat tugas ini selesai, gilirankupun akan datang
pula. Aku senantiasa dalam bahaya.
Berbahaya atau tidak, namun aku tetap mengadakan hubungan rahasia dengan gerakan bawah tanah.
Kadang kadang jauh tengah malam, pada waktu semua lampu sudah padam dan semua orang sudah
menutup pintunya, aku mengadakan pembicaraan di klinik Dr. Suharto. Adakalanya aku mengadakan
kontak dengan seorang penghubung di luar tempat terbuka secara beramah‐tamah, kelihatan tersenum
seolah‐olah kami berbicara dengan senang. Kemudian di hari berikutnya secara berbisik‐bisik tersebarlah
instruksi kepada anggota‐anggota bawah tanah, “Ini boleh kita kerjakan …. ini tidak.” Perintah‐perintah
ini datangnya dariku. Aku sendirilah yang memiliki fakta‐fakta tertentu. Aku merupakan saluran informasi
ke kedua jurusan. Akan tetapi Jepang mempunyai cara‐cara untuk melemahkan semangat seseorang.
Orang yang tertangkap karena memakai bahasa Belanda dipukuli. Perempuan‐perempuan ditarik dari
rumahnya dan diangkut dengan kapal, katanya ke “tempat pendidikan”, tapi kemudian mereka
dijerumuskan ke dalam rumah perzinaan. Laki‐laki dan perempuan yang tidak membungkukkan badan
pada waktu melewati seorang penjaga di jalanan mendapat tamparan. Dari cara hukuman yang demikian
karena kesalahan kecil‐kecil dapatlah orang membayangkan, bagaimana hukuman yang harus dihadapi
oleh orang‐orang yang kedapatan bergerak di bawah tanah. Dan kenyataan ini memaksa orang untuk
bertindak hati‐hati sekali.
Cucunguk ada di mana‐mana. Dengan menyamar sebagai tukang sate mereka berjalan sepanjang waktu,
sambil mendengar‐dengarkan suara titit ….. titit dari radio, yang berarti bahwa ada seseorang yang
sedang menerima ‘atau mengirim berita. Kemenakan Suharto ditangkap karena ketahuan mendengarkan
radio gelap. la dijatuhi hukuman mati. Dr. Suharto, seorang kawan seperjuanganku yang akrab dan kawan
sesungguhnya, tidak minta pertolonganku supaya berusaha melepaskannya, oleh karena dia
menganggap tuduhan itu terlalu berat dan jika aku turut membelanya dapat mendjerumuskan ku ke
dalam bahaya yang besar.
Akan tetapi aku mempunyai mata dan telinga dalam Kenpeitai. Mereka selalu mengetahui sebelumnya,
kalau ada kekeruhan tugas merekalah untuk menyalurkan berita itu kepadaku. Berita disampaikan secara
lisan. Tidak ada yang berani menyatakannya dengan tertulis. Berita itu diteruskannya kepada seorang
agen yang bekerja di Sendenbu, yang kemudian menghubungi pula seorang kawan di PUTERA.
Akhirnya sampailah kabar kepadaku, bahwa telah terjadi penggerebekan dan Dr. Darmasetyawan ini
ditahan dan disiksa. Aku mendengar, bahwa tanggal ia akan menjalani hukuman mati telah ditetapkan.
Dan pada suatu hari Suharto mendapati kemenakannya sudah kembali lagi dan sedang duduk di beranda
depan rumahnya. Semuanya terjadi dengan sangat cepat, tidak dengan ribut‐ribut.
Orang Indonesia mempunyai keluarga yang besar dan ratusan sanak saudara, sehingga berita dapat
berjalan dari desa ke desa ke seluruh pelosok pulau dalam waktu beberapa hari. Cara ini lebih baik
daripada telpon. Dengan cara berita dari mulut ke mulut ini datanglah pesan yang lain: “Pengacara Sujudi
ditahan. Sampaikan kepada Sukarno.” Sujudi telah mengorbankan reputasinya untukku. Di rumahnyalah
aku ditangkap dalam bulan Desember tahun 1929. Aku mengadakan hubungan dengan para pembesar
yang mengurus perkaranya, memberikan diriku sendiri sebagai jaminan untuk menyelamatkan Sujudi.
“Tidak mungkin dia mengadakan komplot menentang Dai Nippon,” aku mempertahankan. “Tuduhan ini
tentu keliru. Sujudi adalah nasionalis yang setia dan takkan mau melawan Dai Nippon yang kami hormati,
karena Nipponlah yang membantu kami untuk kemerdekaan.” Setelah itu ia bebas.
Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Sjarifuddin, salah seorang pemimpin kami dari gerakan
bawah tanah, selama berminggu‐minggu telah digantung oleh Kenpetai dengan kakinya ke atas. Dia
disuruh meminum air kencingnya sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan
pembebasannya dengan menegaskan kepada para pejabat yang bersangkutan, “Bebaskan dia atau kalau
tidak, jangan diharap lagi kerjasama dari saya.” Untuk dapat membuat pernyataan seperti itu, sungguhsungguh
diperlukan hati yang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Sjarifuddin
ketika Jepang mengeluarkannya, memerlukan kekuatan hati yang lebih besar lagi. Badannya kurus seperti
lidi. Orang tidak dapat percaja, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan
masih mungkin keluar daIam keadaan bernyawa.
Aku telah banyak menyelesaikan persoalan‐persoalan demikian ini. Sampai sekarang ia terkubur jauh di
dalam hatiku. Tidaklah kusorak‐sorakkan jasa yang telah kuberikan kepada orang lain dari atas atap
rumah, betapapun juga banyaknya. Selama hidupku aku telah menjalankan amal jariah kepada semua
manusia, apabila aku sanggup melakukannya. Aku tahu. Dan Tuhan pun tahu. Itulah yang penting bagiku.

PUTERA KU JANG PERTAMA
Bab XXI: Puteraku Jang Pertama
SEBENARNYA keadaanku tidak dapat dikatakan sehat ditahun 1943, baik jasmani maupun rohani.
Ketegangan‐ketegangan yang timbul telah mengorek‐ngorek jiwa dan ragaku dengan hebat. Sebagai
penderita malaria yang melarut aku dimasukkan ke rumah sakit selama berminggu‐minggu terusmenerus.
Pada suatu kali, oleh karena tidak ada tempat tidur yang kosong, aku dimasukkan ke Kamar
Bersalin. Perempuan cantik‐cantik dibawa masuk di sebelahku, akan tetapi keadaanku terlalu payah
untuk dapat memperhatikan mereka.
Tambahan lagi aku menderita penyakit ginjal. Kadang‐kadang aku meringkuk dengan kaki rapat ke
badan, oleh karena serangan‐serangan yang tidak tertahankan sakitnya. Adakalanya keluar keringat
dingin, bahkan kadang‐kadang aku tidak dapat berdiri tenang diatas podium. Bukan sekali dua kali terjadi,
bahwa setelah selesai berpidato aku harus merangkak dengan kaki dan tangan masuk kendaraan.
Kehidupan pribadipun tidaklah seperti yang diharapkan. Aku menghadapi persoalan‐persoalan yang
sungguh sungguh berat. Kehidupanku diselubungi oleh goncangan‐goncangan urat syaraf. Hubungan
Inggit denganku tidak baik. Di suatu malam, karena ingin mendapat kata‐kata yang menghibur hati dan
ketenangan pikiran, aku menemani seorang kawan ke sebuah Rumah Geisha. Sekembali di rumah, Inggit
mengamuk seperti orang gila. Dia berteriak‐teriak kepadaku. Barang‐barang beterbangan dan sebuah
cangkir mengenai pinggir kepalaku.
Rupanya persoalan Fatmawati masih mengapung‐apung di antara kami, sekalipun tidak ada kontak
antara Fatmawati denganku. Hubungan pos terputus dan memang ada aku mengirim surat sekali untuk
mengabarkan bahwa kami sudah selamat sampai di Jakarta. Hanya itu. Surat ini kupercayakan kepada
seorang suruhan yang dipercaya yang menitipkannya pula kepada tukang mas dalam perjalanan menuju
Sumatra.
Pada waktu itu kami sudah pindah, karena aku tidak senang tinggal di rumah bertingkat. Di rumah baru ini
anak kami dengan suaminya Asmara Hadi tinggal bersama‐sama dengan kami. Pada akhirnya merekapun
mengaku, bahwa perhubungan antara Inggit denganku tidak mungkin diteruskan lebih lama lagi. “Bu,”
Ratna Djuami menangis di hadapan Inggit pada suatu malam. “Bapak kelihatan sekarang sangat
pencemas dan penggugup. Pikirannya nampaknya kacau. Dan kesehatannya selalu terganggu.”
“Kami kira ini disebabkan kehidupan pribadinya,” sambung Asmara Hadi terus terang. “Kalau sekiranya
dia tidak dibinasakan dalam bidang kehidupan lain, tentu akan lain halnya. Akan tetapi perasaan tidak
bahagia ini yang ditumpukkan ke atas bebannya yang sudah cukup berat itu sangat melemahkan
kekuatannya.”
Aku meminta pengertian Inggit. “Aku sendiri, akan mencarikanmu rumah. Dan aku akan selalu
mengusahakan segala sesuatu yang kauperlukan. Kaupun tahu, diantara kita semakin sering terjadi
pertengkaran dan ini tentu tidak baik untukmu.”
“Ini jalan satu‐satunya, Bu,” Asmara Hadi mengeluh. “Negeri kita memerlukan bapak. Tidak hanya ibu,
ataupun saya maupun Ratna Djuami yang memerlukannya. Dia kepunyaan kita semua. Rakyat
memerlukan bapak sebagai pemimpinnya, tidak yang lain. Dan apa yang akan terjadi terhadap Indonesia,
kalau dia hancur?”
Setelah perceraian telah disepakati bahwa Inggit kembali ke kota kelahirannya. Di pagi itu ia harus pergi
ke dokter gigi dulu. Hatiku senantiasa dekat pada isteriku dan aku tidak akan membiarkannya pergi
seorang diri. Karena itu Inggit kutemani. Hari sudah tinggi ketika kami kembali dalam keadaan letih,
merasa badan kami tidak enak, dan sesampai di rumah kami mendapati serombongan wanita yang akan
bertamu kepada Inggit. Sejam lamanya mereka berkunjung, sekalipun tidak banyak yang dipercakapkan.
Kuingat di waktu itu aku merasakan kegelisahan yang amat sangat. Saat yang melelahkan sekali.
Kemudian aku mengiringkan Inggit ke Bandung, membongkar barang‐barangnya, meyakinkan diri kalaukalau
ada sesuatu yang kurang, lalu aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya ………
Bulan Juni 1943 Fatma dan aku kawin secara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnya beserta
orangtuanya ke Jawa urusannya terlalu berbelit‐belit dan panjang, pun aku tidak bisa segera
menjemputnya ke Sumatra, sedang aku tak mungkin rasanya menunggu leliih lama lagi. Mendadak
timbul keinginanku yang keras untuk kawin. Menurut hukum Islam perkawinan dapat dilangsungkan, asal
ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki‐laki. Aku mempunyai lebih daripada
sesuatu itu. Aku mempunyai seseorang. Kukirimlah telegram kepada seorang kawan yang akrab dan
memintanya untuk mewakiliku. la memperlihatkan telegram itu kepada orang tua Fatma dan usul ini
mendapat persetujuan. Pengantin dan wakilku pergi menghadap kadi dan sekalipun dia masih di
Bengkulu dan aku di Jakarta, dengan demikian kami sudah mengikat tali perkawinan.
Di tahun berikutnya Fatmawati melahirkan seorang putera. Aku tidak sanggup menggambarkan
kegembiraan yang diberikannya kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya Tuhan Yang Maha
Pengasih mengaruniai kami seorang anak.
Di saat mendengar bahwa Fatma dalam keadaan hamil, maka ibu, bapak dan kakakku perempuan datang
dengan segera dari Blitar. Mereka sangat gembira. Orang tua kami dari kedua belah pihak tinggal dengan
kami di pavilun dekat rumah hingga sang bayi lahir. Bapaklah yang mengawasi segala pekerjaan. Dialah
yang duduk setiap jam memberi petunjuk kepada Fatma, bagaimana ia harus mempersiapkan dirinya.
Selalu aku melihat mereka duduk bersama‐sama dan selalu aku dapat mendengar bapak mengatakan
sesuatu seperti, “Nah, jangan lupa mencatat bedak bayi, pisau kecil untuk pemotong tali pusarnya dan
emban untuk menahan perutmu sendiri.”
Di malam Fatma akan melahirkan kami menjamu tamu‐tamu penting ‐orang Jepang dan orang Indonesia.
Fatmawati sibuk melayani sebagai nyonja rumah, akan tetapi kemudian dia mulai merasa sakit. Aku
sendiri membimbingnya ke kamar dan memanggil dokter. Mulai dari saat itu aku tetap berada di sisinya,
pun tidak tidur barang satu kejap sampai ia memberikan kepadaku seorang putera yang tidak ternilai itu.
Kududuk di atas tempat tidur mendampinginya, memegang tangannya sementara ia melahirkan. Aku
bukanlah orang yang bisa tahan melihat darah, akan tetapi di saat dijadikannya seorang manusia
idamanku ini adalah saat yang paling nikmat dari seluruh hidupku. Jam lima waktu subuh, ketika
terdengar azan dari mesjid memanggil umat untuk menyembah Tuhannya, anakku yang pertama, Guntur
Sukarnoputra, lahirlah.
Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Bijaksana telah memanjangkan umur bapakku untuk dapat
melihat darah dagingku menginjak dunia ini. Setelah itu ia jatuh sakit. Fatma merawatnya berbulan‐bulan
dengan tekun dan setia hingga ia menghembuskan napas yang penghabisan.
Aku teringat akan “Si Tukang Kebun”, sebuah buku cerita yang kubaca pada waktu masih berumur 13
tahun. Waktu itu aku tidak mengerti maknanya yang lebih dalam. la menceritakan tentang bagaimana
daun‐daun kayu yang sudah coklat dan kering harus jatuh dan memberikan tempatnya kepada pucuk
yang hijau dan baru.
20 tahun kemudian barulah aku mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar